Suparta ARZ/EKSPEDISI INDONESIA BIRU

ARLOJI saya menunjukkan pukul 8:23 pagi. Tapi siraman matahari makin menyengat. Para petani tampak sibuk merawat padi di sawahnya yang mulai menghijau, di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah.

Ketika sedang asik mendokumentasikan kegiatan mereka, sebuah pesan WhatsApp dari Dandhy D Laksono (guru sekaligus mitra saya dalam Ekspedisi Indonesia Biru) masuk.

“Cok, ketemu di lapangan bola kita ya.”

Tanpa membalas, saya bergegas ke lapangan bola yang dimaksud. Di sana telah menunggu Gunretno, tokoh masyarakat Samin (Sedelur Sikep) Sukolilo, bersama istrinya.

Hari itu Sabtu (24/1), hari terakhir kami berada di sekitar pegunungan Kendeng, setelah lima hari menetap.

Dari malam kami sudah merencanakan, jika cuaca cerah, langit membiru, akan nge-drone (mendokumentasikan dari udara) kegiatan para petani, suasana perkampungan, juga pegunungan karts Kendeng.

Dandhy tiba beberapa menit setelah saya. Kami langsung menerbangkan drone, dan sukses merekam dari udara selama kurang lebih 15 menit.
Kemudian, Gunretno mengajak kami pergi ke suatu tempat. Dengan empat sepeda motor kami mengikutinya. Melintasi sawah, hutan jati, dan permukiman. Ia berhenti di tengah areal persawahan di Kecamatan Tambakromo, Pati, Jawa Tengah.

“Di area ini direncanakan bakal menjadi tapak pabrik semen (PT Indocement),” terang Gunretno.

Di permukiman terakhir sebelum tiba di tempat itu, saya melihat bambu runcing yang bagian atasnya dicat merah tertancap di sebagian halaman rumah warga. Beberapa poster ukuran besar dan kecil tepajang di persipangan jalan.

“Waspadalah! Antek-antek PT Indocement telah berkeliaran di desa kita dengan menawarkan berbagai bantuan. Usir Indocement,” begitu bunyi satu di antara poster-poster. Bahkan di pintu-pintu rumah warga tertempel kertas dengan tulisan kapital ‘tolak pabrik semen’

Dari tasnya, tiga pemuda Sukolilo yang ikut bersama kami mengeluarkan sehelai kain hitam. Mereka membentangkan, dan mulai menempel kertas bekas membentuk sebuah kata di kain sepanjang 20 meter itu.

Gunretno sibuk dengan telepon genggamnya. Sesaat kemudian ‘pengumuman’ terdengar dari kampung dengan pengeras suara. Namun saya tidak mengerti maksudnya, karena dalam bahasa Jawa.

Sejurus kemudian, yang di sawah menghentikan kegiatan. Mereka merapat ke arah kami. Dari jauh orang-orang berduyun-duyun mendatangi Gunretno, di antaranya membawa bambu runcing, mungkin jumlah mereka mencapai seribuan.

Setelah tulisan pada kain hitam dengan bacaan ‘Tolak Pabrik Semen di Pulau Jawa’ siap, mereka kemudian memboyong ke tengah persawahan. Semua warga berjejer di pematang, membentangkan kain hitam.

Gunretno meminta kami membantu mendokumentasikan dari udara, bahwa ribuan masyarakat Kecamatan Kayen dan Tambakromo, Pati, juga menolak kehadiran pabrik Semen di kampung mereka.

Gunretno sendiri telah berhasil ‘mengusir’ pabrik semen dari Sukolilo. Melalui proses perjuangan tanpa lelah, sampai tiga tahun.

Bermula pada tahun 2006, saat PT Semen Gresik (belakangan berubah nama jadi PT Semen Indonesia) mengincar wilayah yang ditempati 500 lebih keluarga Samin di Desa Batu Rejo, Kedumulyo, dan Sukolilo.

Sebelumnya mereka hidup damai dengan bertani di kaki pegunungan Kendeng. Pegunungan dengan luas mencapai 27 ribu hektare, membentang di beberapa kabupaten di Jawa Tengah, di antaranya Pati, Rembang, Grobogan, Blora, dan Kudus.

Pengunungan ini menyimpan miliaran kubik batu kapur untuk bahan baku semen, serta pupuk fosfat.

Selain material tersebut, di pengunungan ini terdapat seribuan mata mata air dan belasan sungai bawah tanah yang menjadi sumber air minum juga irigasi yang mengairi ribuan hektar sawah. Kendeng menyimpan belasan gua purba dan situs-situs bersejarah yang memiliki nilai historis terutama bagi kaum Samin.

Beragam penelitian menyimpulkan, gua-gua di Kendeng merupakan tempat hunian manusia masa lalu.

Para peneliti juga menyimpulkan, Kendeng masuk dalam kriteria karts nomor I, kerena memiliki air bawah tanah yang permanen. Sesuai aturan, perusahaan hanya diizinkan menambang di karst kelas III tidak di nomor I.
Keinginan PT Semen Gresik mendirikan perusahaan di Sukulilo ditentang habis-habisan oleh kaum Samin yang dikomandoi Gunretno.

Samin merupakan tokoh perlawanan terhadap penjajahan Belanda, dengan nama lahir Raden Surowijoyo (1859).

Setelah sempat ditangkap dan dibuang, dia mengubah namanya menjadi Ki Samin Surosantiko. Pada tahun 1890, Samin mengajak pengikutnya menolak membayar upeti tanah dan hasil bumi. Dia juga menolak mengikuti semua peraturan yang dibuat Belanda

Sama seperti ajaran Samin, pengikutnya sampai kini juga menolak mendidik anak-anaknya di sekolah formal. Mereka memilih belajar dari alam, mengikuti suara hati, dan memegang teguh kejujuran.

“Kalau perusahaan hadir, mereka akan merebut lahan kami, mengganggu air sumber kehidupan kami. Kami dari zaman nenek moyang bertani, dan tidak memperjualbelikan tanah,” ungkap Gunretno.

Debit air lebih 1.000 liter per detik dari Kendeng yang tak kenal musim, lebih dari cukup untuk sumber kehidupan dan memenuhi lahan pertanian lebih 8.000 kepala keluarga di Sukolilo.

Perjuangan Gunretno bersama kaum Samin lainnya saat itu tidak mudah. Selain perusahaan, mereka juga harus berhadapan dengan pemerintah Kabupaten Pati yang mewacanakan mengubah Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) pengunungan Kendeng menjadi areal pertambangan. Alasannya, kehadiran pabrik semen dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Belasan warga juga dimejahijaukan oleh perusahaan. Dituduh merusak dan membakar aset dan fasilitas perusahaan.

“Kami sampai 15 kali mengikuti sidang, namun pihak perusahaan tidak bisa membuktikan kesalahan kami.”

Karena tak bisa dibuktikan, belasan warga bebas dari jeratan hukum.
“Dari dulu sampai sekarang saya masih diteror, bahkan difitnah. Tapi saya tidak pernah mundur dari niat saya mempertahankan sumber kehidupan kami.”

Perjuangan tanpa lelah dari kaum Samin membuahkan hasil. Pada 2009 Semen Gresik angkat kaki dari Sukolilo setelah pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ditolak Mahkamah Agung. Sebelumnya, di proses kasasai, MA memenangkan gugatan warga terhadap Semen Gresik (Semen Indonesia).

Namun apakah generasi Samin akan sanggup mempertahankan tanahnya dari gempuran perusahaan?

Mengingat potensi yang disediakan alamnya, membuat ‘ngiler’ pemodal.
Setidaknya generasi Samin sekarang berhasil menghadang kapitalisme yang mencoba masuk ke halaman rumahnya. Kembali bisa bercocok tanam seraya mengembala dan menyekolahkan anaknya di alam terbuka, di pegunugan Kendeng. []

SUPARTA ARZ (@ucokparta) | EKSPEDISI INDONESIA BIRU

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.