Friday, April 26, 2024
spot_img

23 Juli 1999, Akhir Perjalanan Teungku Bantaqiyah

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Tanggal 23 Juli 1999. Ini merupakan Jumat kelabu, bukan hanya bagi masyarakat Desa Blang Meurandeh, Kemukiman Beutong Ateuh, Nagan Raya, tapi bagi seantero Aceh. Pada tanggal itu, Teungku Bantaqiyah tewas dibantai bersama 38 santrinya.

Pascapembantaian, 32 jasad ditemukan dikuburkan seadanya di dua liang dekat balai pengajian. Jasad kaku 20 lainnya ditemukan beberapa hari kemudian, dibuang ke dasar jurang di kilometer tujuh lintasan Beutong Ateuh-Aceh Tengah.

Horor di pegunungan Singgahmata itu menyisakan misteri, hingga kini. Pemerintah memang menyeret sejumlah anggota TNI ke Pengadilan Koneksitas yang digelar di Pengadilan Negeri Banda Aceh. Namun sang dalang, Pasie Intel Letkol Sujono, hingga kini tak tersentuh hukum.

Teungku Bantaqiyah merupakan ulama yang disegani di Aceh. Ia sempat heboh dengan gerakan jubah putih pada tahun 1987. Bersama puluhan pengikutnya, Bantaqiyah turun ke kota dan nyaris ditangkap. Ia dikenal sebagai ulama yang konsisten. Karenanya, banyak citra negatif diberikan untuk merusak nama baik sang Teungku.

Untuk mengucilkannya, isu Teungku Bantaqiyah mengajarkan aliran sesat pun dimunculkan. Namun, bak mutiara di dasar samudera, ia terus bersinar. Pengajian yang digelar Teungku Bantaqiyah tak pernah sepi. Gagal dengan isu aliran sesat, Bantaqiyah diterpa dengan legalisasi ganja. 

Pada 1993, aparat menangkap Teungku Bantaqiyah dengan alasan memiliki kebun ganja yang dengannya ia menyokong Gerakan Pengacau Keamanan, sebutan resmi pemerintah untuk Gerakan Aceh Merdeka. Soal ini, Nursiah, sang istri, membantahnya. Tuduhan yang tidak mendasar dan tanpa bukti.

Kasus ganja dan sokongan terhadap GPK ini yang mengantarkan Teungku Bantaqiyah dijebloskan ke dalam penjara Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan. Ia divonis 20 tahun penjara.

Gelombang reformasi yang terjadi di Indonesia membuat rezim Suharto dengan Orde Barunya rutuh oleh gerakan mahasiswa Mei 1998. Ini mengantarkan BJ Habibie ke puncak kekuasaan. Pada masa Habibie, tahanan politik dan narapidana politik diberikan amnesti. Bantaqiyah merupakan salah seorang narapidana politik yang diampuni Presiden Habibie.

Setelah bebas dari Tanjung Gusta, Bantaqiyah kembali ke perkampungannya yang tenang di pedalaman Nagan Raya. Ia hendak pensiun dari mengajar pengajian. Namun, warga terus mendesak agar pengajian dibuka lagi.

Menurut Aman Farisah, istri kedua Bantaqiyah, sejak kembali ke Beutong Ateuh pada 28 Mei 1999, suaminya tidak ingin mengajar ngaji lagi. Namun atas permintaan masyarakat Teungku akhirnya kembali membuka pengajian. Saban hari Jumat, warga mendatangi balai untuk belajar Al Quran dan kitab kuning –hingga Jumat kelabu menghentikan perjalanan Bantaqiyah untuk selamanya.

Petaka itu bermula sekira pukul 11.00 WIB, menjelang salat Jumat. Bantaqiyah dan puluhan muridnya sedang berada di balai pengajian ketika ratusan personel TNI mendatangi lokasi pengajian. Mereka berteriak memerintahkan semua orang berkumpul. Laporan media menyebutkan, di sela-sela perintah itu aparat melempari rumah penduduk dengan batu dan kayu. Mereka bertanya soal sosok Bantaqiyah.

Aman Farisah menyebutkan, sempat terjadi dialog antara Bantaqiyah dan aparat, namun tak diketahui isinya. Tiba-tiba, sejumlah tentara melepaskan tembakan. Teungku memberi aba-aba agar warga dan santrinya tiarap agar tehindar dari tembakan. 

Panik, tangisan, teriakan beradu di antara desingan peluru –saling berlomba-lomba menyerupai adegan perang yang disajikan film Hollywood. Bantaqiyah tersungkur di tembakan ketiga. Saksi mata menyebutkan bahwa tembakan peluru PSD 83 tak mempan merubuhkan sang Teungku yang diyakini memiliki ilmu kebal.

Jelang Jumat, kompleks balai pengajian Teungku Bantaqiyah berubah menjadi ladang pembunuhan.

***

17 TAHUN sudah tragedi Teungku Bantaqiyah berlalu. Sejumlah prajurit telah diajukan ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, sosok Letnan Kolonel Sujono, saat itu menjabat Pasie Intel Korem 011/Lilawangsa, masih misteri. Ia tak pernah dihadirkan ke pengadilan.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Hendra Saputra, melihat kasus ini sebagai sebuah ironi. “Ironi kita melihat negara tidak bisa menemukan pelakunya,” kata Hendra kepada acehkita.com, Sabtu (23/7/2016).

KontraS berharap kasus Teungku Bantaqiyah diselesaikan secara lebih bermartabat melalui pengadilan hak asasi manusia dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

“Untuk itu harapan kita supaya Komnas HAM bisa membawa kasus ini ke ranah hukum. Sebagai langkah awal, Komnas HAM bisa menggunakan hasil investigasi dan seluruh dokumen yang ada pada saat Pengadilan Koneksitas dilakukan serta mengkaji keputusan pengadilan koneksitas sebagai pintu masuk untuk menemukan unsur pelanggaran HAM,” kata dia.

Hendra juga menaruh harapan besar pada tujuh anggota KKR Aceh yang baru terpilih. “Harapan kita kepada Komisioner KKR Aceh yang terpilih, harus secepatnya membereskan urusan internal kelembagaan KKR, supaya para korban yang sudah sangat lama menunggu keadilan bisa menikmati keadilan dalam rangka perdamaian Aceh, termasuk korban tragedi Beutong Ateuh yang sudah 17 tahun menunggu,” ujarnya.

Ya, kita tidak ingin generasi Aceh hidup dalam dendam dan penuh curiga karena masa lalu yang kelam tak berkeadilan. []

@efmg

Fakhrurradzie Gade
Fakhrurradzie Gadehttp://www.efmg.blogspot.com
Reporter acehkita.com. Menekuni isu politik, teknologi, dan sosial. Bisa dihubungi melalui akun @efmg

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU