Saturday, April 20, 2024
spot_img

[3] Mengapa Saya Menolak Todung Jadi Jaksa Agung?

Mengapa Saya Menolak Todung Jadi Jaksa Agung? (2)

Sampai di sini, dari kacamata kami (SePAK), para board Yayasan Acehkita dengan sadar telah melakukan dua kesalahan: Pertama menggunakan dana kemanusiaan untuk membuka usaha rental mobil, dan kedua untuk membiayai usaha koran.

PT MDD dan Koran Acehkita
Menjelang MoU Helsinki dan segera disusul pemilu lokal (pilkada), misalnya, para board Yayasan Acehkita menyorongkan ide agar membuat koran khusus tentang itu. Maklum, ada kue potensial dari para funding di sana. Tema darurat militer sudah tak laku dijual. Harus ada improvisasi. Tapi ruang redaksi menolak sebab dianggap agak menyimpang dari khitah medianya. Bukannya kaku dan tak mau berimprovisasi, tapi visi redaksi adalah mentransformasi media berbasis funding (LSM), menjadi media berbasis kemandirian (baca: pendapatan utama dari iklan). Kami tak mau jadi media semusim yang hanya terbit karena ada peluang meraup donasi. Sebab, selain kurang mendidik, media yang berbasis funding, selalu rentan dituding membawa serta agenda tertentu bersama setiap rupiah yang datang. Sudah capek-capek liputan di lapangan, masih dianggap antek-asing hanya karena sebagian pendapatannya disokong lembaga-lembaga internasional. Padahal, pemerintah yang hutang luar negerinya menumpuk, juga sering tersinggung kalau dikata-katain antek-asing atau agen neolib.

Nah, membuat koran hanya karena momen politik musiman, sama dengan project oriented. Ronde pendek. Khas logika (maaf) LSM. Tapi kami harus kompromi. Akhirnya disepakati bahwa nama koran itu akan dibuat lain agar tak mengganggu ‘brand positioning’ media yang sudah ada dan dikenal publik. “Koran ini akan jadi mesin uang yang akan membiayai situs dan majalah,” janji para board ke awak redaksi ketika itu.

Wartawan pun manggut-manggut saja. Kompromi dicapai. Isinya pilkada; merk korannya lain; payung institusinya sama: yayasan. Deal!

Tapi rupanya ada yang menggunting dalam liputan. Gerilya untuk menerbitkan koran dengan nama Acehkita (tapi dengan isi untuk menyambut pilkada), terus dilakukan para board Yayasan Acehkita dengan mencoba membujuk beberapa awak redaksi. Upaya ini sedikit berhasil hingga pada awal Agustus 2005, terbitlah koran yang diluncurkan bertepatan dengan penandatanganan MoU RI-GAM, 15 Agustus 2005. Ketika dibaca di boks susunan redaksi, ternyata koran ini diterbitkan oleh PT MDD. Ajaibnya, koran ini menggunakan nama “Acehkita”, meskipun tidak ada sangkut pautnya dengan Yayasan Acehkita. Hanya karena Smita Notosusanto duduk sebagai board yayasan dan punya saham di PT MDD. Pada edisi pertama (15/8), Koran Acehkita tidak mencantumkan susunan redaksi secara jelas. Istilah-istilah yang dipakai dalam boks redaksi sangat tidak umum, misalnya: Koordinator Redaksi yang dijabat oleh Otto Syamsudin Ishak (salah satu board yayasan).

Sekaitan ini, saya selaku Pemimpin Redaksi acehkita.com dan majalah Acehkita, lantas mengumumkan ke publik bahwa redaksi situs dan majalah tidak bertanggungjawab atas materi dan substansi yang diturunkan koran Acehkita, sekalipun menggunakan merk yang sama. Maklum, kondisi Aceh masih rentan dan sensitif. Senjata belum lagi dikumpulkan dan dipotong-potong menjadi dua atau tiga bagian. Sulit bagi saya membayangkan para wartawan di lapangan harus menghadapi risiko akibat pemberitaan dari sebuah media—dengan nama yang sama—tapi kami sama sekali tak tahu menahu isinya.

Produksi Koran Acehkita oleh PT MDD sejak edisi pertama telah menggunakan sumber daya yayasan. Dari produksi, pracetak, sampai berbentuk eksemplar siap jual, dilakukan di kantor yayasan di Jalan Bojonegoro 16, Menteng, Jakarta Pusat. Pengepakan sebelum Koran Acehkita diterbangkan ke Aceh juga memakai tenaga dan staf kantor yayasan. Bagian keuangan juga mengkonfirmasi bahwa uang untuk membiayai koran juga diambilkan dari dana yayasan. Dana yayasan dari kantong yang mana? Tentu saja dari pembukuan dana kemanusiaan. Sebab untuk situs dan media, kami tak punya uang lebih.

Sampai di sini, dari kacamata kami (SePAK), para board Yayasan Acehkita dengan sadar telah melakukan dua kesalahan: Pertama menggunakan dana kemanusiaan untuk membuka usaha rental mobil, dan kedua untuk membiayai usaha koran. Dan kedua unit usaha itu, hebatnya, diatasnamakan sebuah perseroan terbatas bernama PT Mandiri Daya Dinamika. Bukan di bawah atap Yayasan Acehkita.

Risman A Rahman (Direktur Yayasan) yang namanya dipasang sebagai Pemimin Umum Koran Acehkita, merasa keberatan bila penerbit koran itu adalah PT MDD (di mana Risman juga tercatat sebagai pemegang sahamnya). Risman menghendaki koran tersebut dikelola di bawah yayasan karena menggunakan nama Acehkita dan menggunakan semua sumber daya dan sumber dana yayasan. Tapi keberatan ini diabaikan Smita Notosusanto, sehingga belakangan, Risman bergabung dengan SePAK ikut menandatangani petisi meminta Smita dipecat.

Dugaan adanya ketidakberesan keuangan semakin kental ketika ada upaya untuk memotong kewenangan saya sebagai salah seorang penandatangan cek, setelah saya beberapa kali menolak menandatangani cek untuk kepentingan membayar cicilan mobil PT MDD yang jatuh tempo.

Tapi hal ini dipelintir oleh pihak board yayasan sebagai sebuah tindakan pribadi saya yang berupaya menyabotase penerbitan koran; anti-kebebasan pers; bentuk kecemburuan, dan aneka tuduhan lainnya. Perlu dicatat, dari lima orang board Yayasan Acehkita (Todung Mulya, Smita, Debra Yatim, Otto Syamsuddin Ishak, Binny Buchori), hanya Binny Buchori-lah yang namanya tidak tercantum dalam boks redaksi koran milik PT MDD.

Upaya mengganti tanda tangan cek ini semula gagal, karena Bank Mandiri cabang Mampang Prapatan meminta persetujuan dari saya sebagai penandatangan pertama. Apalagi, Risman dan Yan Aryanto (Manager IT) pun belakangan menolak menandatangani cek untuk kepentingan PT MDD, kecuali pembayaran gaji karyawannya dengan alasan kemanusiaan. Namun dengan segala upaya, akhirnya para board berhasil membujuk bank untuk mencoret ketiga nama tersebut sebagai penandatangan cek. Yan Aryanto bahkan disodori surat pernyataan bahwa dirinya sudah tidak ada hubungan lagi dengan Yayasan Acehkita dan menyerahkan wewenang penandatangan cek kepada Smita, Otto, dan Debra.

Petisi Dikirim
Dipicu peristiwa inilah, bagian keuangan, redaksi situs dan majalah, relawan Rumohkita, dan tiga orang jajaran pengurus Koran Acehkita melayangkan petisi ke board untuk mempertanyakan tranparansi pengelolaan dana. Petisi tersebut kami serahkan ke mereka pada 29 Agustus 2005. Kami menamakan diri sebagai Serikat Pekerja Acehkita (SePAK).

Para penandatangan petisi juga mendesak kepada jajaran board untuk memberhentikan Smita Notosutanto dan mengakhiri segala keterlibatannya dalam Yayasan Acehkita. Smita diduga telah menyalahgunakan posisi Dewan Pengurus dengan menggunakan nama Acehkita untuk menerbitkan media di bawah PT MDD—yang tidak ada sangkuta pautnya dengan Yayasan Acehkita—tanpa melalui pembicaraan dan pemufakatan bersama, serta menggunakan dana milik yayasan untuk mendirikan usaha rental mobil di bawah payung perusahaan komersial.

Bukannya kami tak paham logika dunia LSM yang memerlukan adanya kegiatan komersial-produktif untuk membiayai kegiatan-kegiatan selanjutnya secara mandiri. Tapi yang kami sesalkan, mengapa dana itu diambil dari sumbangan para donatur yang jelas-jelas diberikan di masa tanggap darurat untuk para korban tsunami. Sejumlah funding yang belakangan melakukan korespondensi dengan saya juga mengaku tak tahu menahu karena dalam kontrak pengucuran dana, jelas tak ada disebut-sebut klausul untuk membuka usaha rental atau menerbitkan koran, apalagi di bawah sebuah perusahaan komersial bernama PT MDD. (bersambung)

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU