Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz bersama warga suku Baduy Dalam di depan kios Aman dan Ema.| Ekspedisi Indonesia Biru

KAMI menghela motor dari Jakarta menuju Rangkasbitung, 1 Januari 2015. Hujan datang dan pergi sepanjang perjalanan. Tujuan pertama menyambangi kampung Baduy Dalam, di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Ini adalah titik persinggahan pertama, sebelum menyisir jalur selatan Jawa hingga Bali, Nusa Tenggara, Timor, Papua, dan seterusnya. Mengelilingi lingkar luar Indonesia melawan arah jarum jam.

Untuk mencapai perkampungan Baduy, salah satu akses utamanya melalui terminal Ciboleger yang berjarak sekira 120 kilometer dari Jakarta. Seorang kawan fotografer berpesan agar sedapat mungkin tak berurusan dengan orang-orang di terminal Ciboleger. Ia pun memberikan nama warga Baduy Luar yang telah dikenalnya.

“Kalau pakai jasa orang di terminal untuk mengantar masuk, sering diminta uang dalam jumlah besar,” katanya berpesan.

Tapi saat kami tiba di sana, sudah jam setengah enam sore. Hari mulai gelap. Juga gerimis yang tak mereda. Kami pesimistis bisa dengan mudah menemukan nama warga Baduy Luar yang diberikan, tanpa berinteraksi dengan orang-orang di terminal.  Sebab kami memang tak kenal siapa pun. Apalagi barang bawaan menuntut kami harus segera menemukan tempat transit.

Beruntung sebelum tiba di terminal, kami bertanya kepada Aman, seorang pemuda pemilik warung kelontong dan penjual bensin eceran. Bersama istrinya, Ema, mereka menyarankan agar kami beristirahat dulu di rumahnya, sebelum melanjutkan perjalanan memasuki perkampungan Baduy.

“Mau ziarah atau jalan-jalan?” tanya Ema sembari menyorongkan segelas kopi panas.

Ziarah yang dimaksud bukan mengunjungi makam keramat di perkampungan Baduy. Melainkan mendatangi tetua adat Baduy Dalam yang disebut Pu’un untuk membantu menyelesaikan berbagai keperluan.

“Banyak pejabat, pedagang, bahkan artis yang datang ke Pu’un,” tambah Ema. Ia lalu menunjukkan bungkusan kain putih yang biasa digunakan untuk kafan. Isinya antara lain kemenyan dan sebilah pisau yang masih baru. Ia menjual barang itu di warungnya karena banyak permintaan. Demand menciptakan supply.

Menurutnya, para peziarah harus membawa bungkusan itu sebagai syarat sebelum menyampaikan permintaan tertentu kepada Pu’un.

“Kemarin ada Bu Haji cerita habis lima juta rupiah.”

Pu’un mematok tarif sebesar itu?” tanya kami. Bayangan tentang kearifan budaya Baduy mulai goyah.

“Bukan. Pu’un mah tidak pernah meminta. Terserah yang ngasih saja. Seikhlasnya. Tergantung kebutuhannya. Tapi Bu Haji itu bayar ke perantara,” terang mereka.

Ingatan langsung kembali ke wejangan kawan fotografer agar tak berurusan dengan orang-orang di terminal Ciboleger.

“Kalau kami harus minta pesugihan dan bayar lima juta, mending uangnya buat modal,” celetuk kami setengah berseloroh, diikuti anggukan dan suara setuju dari Ema dan Aman yang mengeluh kekurangan modal dan harus bersaing dengan Alfamart, 100 meter dari warungnya.

Sepanjang perjalan dari Jakarta hingga ke Ciboleger, kami melintasi banyak daerah pedalaman Banten di mana warung kelontong kini telah bersaing ketat dengan ritel waralaba seperti Alfamart atau Indomaret. Usaha ekonomi rakyat di pedalaman yang belum disaingi korporasi tampaknya hanya tersisa satu: kios bensin eceran.

Karena merasa cocok dengan Aman, kami memutuskan tak lagi mencari nama warga Baduy Luar yang kami kantongi dari Jakarta. Kami akan masuk ke Baduy melalui kenalan Aman, seorang warga Baduy Dalam.

Gerimis tak juga berhenti. Malam makin pekat. Beberapa warga Baduy Dalam dan Luar melintas di depan warung kelontong tempat kami duduk-duduk. Mereka menuju ke arah perkampungan, hendak pulang.

Aman menghubungi seseorang lewat telepon selularnya. Yang dihubungi bernama Aldi, pemuda Baduy Dalam yang akan mengantar kami masuk. Tentu saja warga Baduy Dalam memiliki banyak aturan adat yang masih ketat, seperti larangan menggunakan barang elektronik hingga menghisap rokok.

Handphone orang Baduy Dalam dititipkan di Baduy Luar. Kalau sudah keluar wilayah, mereka memakai handphone atau menonton televisi,” terang Aman. Yang tetap dilarang adalah memakai alas kaki atau naik kendaraan meski sudah berada di luar wilayah.

Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya datang bersama seorang anak lelaki usia delapan tahunan. Dari baju dan ikat kepalanya yang putih dan tanpa alas kaki, kami segera mengetahui bahwa mereka Baduy Dalam.

Namanya Sapri, 49 tahun. Ia ayah Aldi yang dihubungi Aman melalui telepon. Selama beberapa hari ke depan, kami akan tinggal dan hidup bersama keluarga itu. Tidur bersama dan makan apa yang sehari-hari mereka makan. Anak yang dibawanya bernama Komong, keenam dari delapan.

Tulang rahang Sapri menonjol. Sorot matanya tajam, tapi ramah.  Saat ia membetulkan ikat kepala, rambutnya yang basah karena gerimis, terurai menyapu bahu. Bahasa Indonesianya kurang lancar dan bercampur Sunda-Banten.

Keluarga Sapri sedang turun kampung yang berjarak 12 kilometer untuk menghadiri acara maulid. Karenanya, keluarga itu mudah dihubungi dan segera menjemput kami. Namun karena telah larut, kami semua menginap di rumah Aman.

Warga Baduy Dalam kerap terlihat bertelanjang kaki beriringan di jalanan Jakarta. Butuh tiga sampai empat hari berjalan kaki dari kampungnya di Desa Kanekes ke Jakarta, menempuh jarak 130 kilometer dengan membawa madu atau hasil kerajinan. Sepanjang jalan, mereka akan menginap di tempat kenalan yang juga pernah mereka temani bila berkunjung ke Baduy. Aldi menyimpan buku alamat dan nomor telepon yang ditulis tangan. Tulisannya sedikit lebih bagus dari tulisan dokter pada resep obat.

Mereka berjalan kaki ke Jakarta, Bogor, bahkan Bandung bila musim berladang telah usai dan tinggal menanti masa panen. Perjalanan ini dilakukan bila pesanan madu telah mencapai minimal 15 botol. Satu botol kecil ukuran saos tomat dijual 50 ribu rupiah, sedangkan botol besar ukuran sirup, dijual 100 ribu rupiah. Berbagai barang kerajinan seperti gelang dari kulit kayu atau ikat kepala, mereka bawa serta.

Perdagangan ala Baduy dengan omzet tak lebih dari dua juta rupiah dan menempuh total perjalan kaki pulang pergi selama delapan hari ini dilakukan dengan riang.

“Biasanya kami sambil main ke rumah-rumah kenalan. Cuma, orang Jakarta sering takut kalau melihat kami jalan malam-malam. Dikira gelandangan atau orang gila,” kenang Sapri sambil tertawa.

Bahkan tak jarang Sapri menginap di apartemen, naik lift, dan menonton bioskop. Semua aktivitas di kota metropolitan itu dilakukannya dengan berjalan dan bertelanjang kaki. Hampir semua nama tempat di Jakarta, Bogor, dan Bekasi, fasih disebutnya.

“Kalau ke bioskop atau Ancol, kenalan yang mengantar naik mobil dan menunggu di setiap persimpangan jalan, menunjukkan jalan. Sedangkan kami tetap berjalan.”

“Apakah pernah terlintas untuk diam-diam melanggar aturan adat dan naik mobil saja?” tanya kami.

“Mungkin orang lain tidak melihat. Tapi nanti akan ada musibah,” jawab Sapri serius.

Maka dunia bagi orang Baduy Dalam, adalah sejauh jangkauan perjalanan kakinya.

Sedangkan warga Baduy Luar lebih longgar dalam aturan adat. Mereka punya sepeda motor, mobil, toko, bahkan peternakan ayam yang mempekerjakan warga non-Baduy.

Di balai-balai warung kelontong milik Aman dan Ema, kami terus mengobrol hingga tengah malam.

Tak disangka, di malam pertama ekspedisi ini, kami sudah tidur satu tikar dengan warga Baduy Dalam. Besok pagi, kami akan menempuh perjalanan memasuki wilayah di mana kamera adalah barang terlarang. Ekspedisi dokumentasi yang justru tak boleh mendokumentasi. [bersambung]
 
 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.