Thursday, April 25, 2024
spot_img

[4] Mengapa Saya Menolak Todung Jadi Jaksa Agung?

Mengapa Saya Menolak Todung Jadi Jaksa Agung? (3)

Acehkita adalah milik publik. Uang yang dikelola Yayasan Acehkita bukan uang para board. Uang tersebut adalah amanah dari para donatur. Karena itu, sudah selayaknya publik dan para stakeholder Acehkita mengetahui apa yang terjadi di dalam.

—-

Tanggapan Board dan Reaksi Todung
Menanggapi petisi itu, Todung Mulya Lubis sebagai Ketua Dewan Pendiri Yayasan Acehkita melayangkan surat pemberitahuan kepada karyawan bahwa board akan rapat pada 7 September 2005 untuk membahas masalah tersebut. Tapi sampai dua hari lewat, board belum mengeluarkan keputusan apapun soal isi petisi. Yang ada justru panggilan kepada saya sebagai Pemimpin Redaksi untuk menghadap mereka di kantor Todung Mulya Lubis. Di sana telah berkumpul empat orang lainnya, yaitu Smita Notosusanto, Debra Yatim, Otto Syamsuddin Ishak, serta Binny Buchori. Saya duduk di seberang meja, menghadap kelima senior LSM yang saya hormati dan kagumi dari berita-berita di media massa saat saya masih mahasiswa. Di ruangan itu, tiba-tiba saja saya diminta mundur atau diancam akan diberhentikan dari jabatan sebagai Pemimpin Redaksi. Saya dianggap memimpin pemberontakan dan pembangkangan.

Sama sekali tidak ada dialog dalam pertemuan itu, dan saya tidak diberi kesempatan membela diri dengan alasan kasusnya sudah jelas. Mereka pikir, saya yang pernah dipecat SCTV pasti akan memilih opsi pengunduran diri untuk menyelematkan reputasi saya. Mereka pikir saya akan malu bila dipecat di media mainstream lalu dipecat juga di media alternatif. Mereka pikir masa depan karir saya akan suram sehingga saya memilih tunduk dengan opsi yang mereka tawarkan.

Keputusan itu juga tidak disampaikan secara tertulis, melainkan hanya dibacakan secara lisan. Ketika kawan-kawan SePAK meminta secara tertulis, Todung menolaknya. Berikut poin-poin keputusan sidang board yang dibacakan Todung di hadapan saya. Saya mencatatnya. Dan semakin saya catat, intonasi suara Todung semakin cepat membacakannya:

1. Penerbitan Koran Acehkita adalah inisiatif semua board, dan telah disetujui oleh semua. Jadi bukan inisiatif perorangan (baca: Smita Notosusanto).

2. Vehicle (kendaraan) untuk penerbitan koran adalah PT Mandiri Daya Dinamika, di mana Yayasan Acehkita memiliki 50 persen saham di PT tersebut.

3. Board akan melakukan audit independen pada keuangan yayasan. Auditor independen dari akuntan publik akan ditunjuk oleh board.

4. Penggantian Smita Notosusanto sebagai Ketua Dewan Pengurus (sebagaimana diminta dalam petisi karyawan) tidak bisa dilakukan. Board tidak akan mengambil keputusan hanya berdasarkan petisi dari para pekerja. Namun bila hasil audit ditemukan adanya deviasi (penyimpangan), board baru akan membicarakannya. Jadi, Smita Notosusanto tetap menjadi Ketua Dewan Pengurus dan berfungsi seperti biasa.

5. Board menerima pengunduran diri Sdr Risman A Rahman sebagai Direktur Eksekutif dan akan meminta pertanggungjawaban baik tertulis atau naratif.

6. Board menilai ada beberapa tindakan yang tidak bisa diterima, seperti melakukan aksi mengirim petisi, kendati petisi adalah hak sebagai karyawan. Tapi board menyayangkan mengapa masalah ini dibawa ke luar dan muncul di milis. Ini sama dengan membuka isi perut yayasan dan merusak nama baik yayasan melalui milis.

7. Ada ketidaksesuaian visi dan misi tentang majalah dan situs antara pihak Yayasan Acehkita dengan Sdr Dandhy Dwi Laksono sebagai Pemimpin Redaksi. Pengelolaan majalah acehkita dengan menampilkan pemberitaan dan gambar-gambar yang mencerminkan kekerasan, dianggap cukup mengganggu. Cara redaksi yang dipimpin Sdr Dandhy dalam melakukan praktik jurnalisme, tidak seperti apa yang kita inginkan sebelumnya. Pemimpin Redaksi tidak menerapkan jurnalisme damai.

8. Bagi semua staf yang ikut menandatangani petisi, board tidak mengingkari hak tersebut. Karena tidak semua tanda tangan dilakukan dengan kesadaran penuh. Board mencium upaya provokasi dan hasutan terhadap mereka untuk melakukan ini.

9. Karena itu, board akan menawarkan pada karyawan acehkita, apakah akan terus bergabung dengan Yayasan atau mengundurkan diri.

10. Dengan hal-hal di atas, maka board menyatakan tidak bisa lagi bekerja sama dengan Pemimpin Redaksi, dan meminta Sdr. Dandhy mengundurkan diri. Bila tidak bersedia, maka board akan memberikan surat pemberhentian sebagai Pemimpin Redaksi situs dan majalah Acehkita.

Saya tatap lekat-lekat satu per satu wajah para bos LSM itu. Saya katakan bahwa saya menolak mengundurkan diri dan saya tunggu surat pemberhentiannya. Saya bawa pulang catatan itu dan saya tunjukkan ke kawan-kawan SePAK.

Menjawab butir-butir keputusan board tersebut, SePAK menanggapi secara resmi sebagai berikut:

1. Tidak benar Koran Acehkita diterbitkan atas inisiatif bersama. Nama Todung Mulya Lubis, misalnya, baru dicantumkan sebagai pendiri dalam boks redaksi koran di edisi III, setelah SePAK dan redaksi situs/majalah mempersoalkan transparansi sumber pendanannya. Di mana, patut diduga, sumber pendanaan koran berasal dari alokasi dana kemanusiaan yang dipercayakan kepada Yayasan Acehkita.

2. Tidak benar saham PT Mandiri Daya Dinamika dimiliki oleh Yayasan Acehkita. Nama PT ini tidak pernah kami kenal sebelumnya. Sdr Dandhy Dwi Laksono sebagai salah satu pendiri, tidak pernah dilibatkan dalam pembicaraan apapun mengenai keberadaan PT ini. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Acehkita, Risman A Rahman, PT ini mula-mula dibentuk oleh Smita Notosusanto dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Nama Sdr Risman, bahkan dimasukkan dalam akte pendirian PT tersebut.

Menurut keterangan Sdr Risman kepada SePAK, dimasukkannya yayasan sebagai pemegang saham (50 persen) baru dilakukan justru setelah Sdr Dandhy mempersoalkan keberadaan PT tersebut yang tiba-tiba menggunakan nama penerbitan yang sama.

PT Mandiri Daya Dinamika sendiri didirikan tanpa modal yang jelas. Perusahaan ini juga tak memiliki core-business yang jelas. Terdapat bukti peminjaman uang dari dana kemanusiaan Yayasan Acehkita (unit Rumohkita) untuk membeli 5 unit mobil guna membuka usaha rental di Banda Aceh. Itu artinya, dengan dana kemanusiaan, para pengelola PT ini sengaja membuat unit usaha komersial.

PT ini juga menggunakan aset dan infrastruktur milik Yayasan Acehkita. Termasuk di dalamnya menerbitkan koran dengan nama yang sama. Namun anehnya, keempat orang board lainnya (Todung Mulya, Otto Syamsuddin, Debra Yatim, dan Binny Buchori) mendiamkan saja hal ini terjadi. Sdr Risman A Rahman, kendati pernah terlibat dalam pembentukan PT, setelah terjadinya ketidaktransparanan, memilih mengundurkan diri. Risman juga tidak setuju dan terkejut, karena tiba-tiba Koran Acehkita tidak diterbitkan di bawah payung yayasan (karena dananya berasal dari yayasan) tetapi justru di bawah PT Mandiri Daya Dinamika.

3. Proses auditing ini sesungguhnya kami anggap sebagai akal-akalan belaka. Sebab, semua dokumen keuangan telah berada di bawah kendali kelima orang board dan bukan di tangan bagian keuangan lagi. Apalagi, board secara sepihak juga telah menutup akses rekening bank yang selama ini memerlukan tanda tangan dari tiga orang pengelola situs dan majalah (Risman, Dandhy, Yan Aryanto). Pemblokiran hak pencairan cek ini dilakukan setelah ketiganya menolak mengucurkan dana untuk kepentingan PT Mandiri Daya Dinamika.

4. Keputusan ini merupakan arogansi yang ditunjukkan kelima orang board acehkita secara telanjang. Fakta menunjukkan bahwa tak kurang dari 50 karyawan acehkita (hampir 80 persen) menandatangani petisi agar Smita diberhentikan dari posisinya. Para penandatangan petisi tak hanya para karyawan acehkita yang berada di Jakarta, tetapi juga para relawan Rumohkita yang berada di Banda Aceh, dan bahkan para jurnalis yang terlibat dalam penerbitan Koran Acehkita.

Melakukan audit sambil tetap mempertahankan posisi Smita sebagai Ketua Dewan Pengurus sama halnya dengan mengurangi kadar independensi dan akurasi dari hasil audit tersebut. Bila baord benar-benar akan melakukan audit secara independen, maka seharusnya Smita dinon-aktifkan dan kontrol atas dokumen keuangan dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan karyawan, bukannya justru dikuasai sendiri.

Membiarkan Smita masih dalam posisinya, dengan alasan menunggu hasil audit di satu sisi, sembari memberhentikan Sdr Dandhy Dwi Laksono di sisi lain, adalah bentuk keganjilan logika berpikir para board. Bila hasil audit memang akan digunakan sebagai rujukan mengambil kebijakan, maka seharusnya segala sesuatu dibiarkan dalam posisi status quo, dan tidak malah menyingkirkan pihak lain yang berbeda pandangan dan kebijakan.

5. Sdr Risman telah mengundurkan diri sejak 19 Juli 2005 bersamaan dengan dua tahun media acehkita. Pengunduran diri tersebut memiliki latar belakang dan alasan yang komplek yang salah satunya berkaitan dengan transparansi pengelolaan dana yayasan. Namun, surat pengunduran diri tersebut tidak pernah ditanggapi oleh kelima orang board. Karena itu, Sdr Risman pun tetap menjalankan tugas sehari-hari. Baru setelah Sdr Risman juga ikut menandatangani petisi, maka board memanfaatkan surat pengunduran diri itu sebagai senjata politik.

6. Menyatakan “tidak bisa menerima tindakan mengirim petisi” sembari menambahkan bahwa “mengakui petisi sebagai hak karyawan” adalah sikap basa-basi yang tidak perlu. Dengan menyatakan tidak bisa menerima petisi, maka board sedang menunjukkan wajah kekuasaannya. Namun, dengan menambahkan frase “mengakui petisi sebagai hak karyawan”, kelima orang board tetap ingin dianggap sebagai pejuang-pejuang demokrasi sejati (baca: tokoh-tokoh LSM).

Acehkita adalah milik publik. Uang yang dikelola Yayasan Acehkita bukan uang para board. Uang tersebut adalah amanah dari para donatur. Karena itu, sudah selayaknya publik dan para stakeholder Acehkita mengetahui apa yang terjadi di dalam. Sebab, di dalam lembaga sendiri, ternyata tidak ada mekanisme internal yang memungkinkan terjadinya check and balance system. Semua keputusan diambil secara sepihak dan sentralistik. Karena itu, tak ada hak moral dari para board untuk mengecam munculnya masalah ini ke permukaan.

Terlepas dari prinsip tersebut, secara faktual, adalah tidak benar, pihak karyawan membuka masalah ini di milis terlebih dahulu. Pengumuman yang disampaikan Pemimpin Redaksi bahwa redaksi situs dan majalah tidak bertanggungjawab atas isi dan kebijakan pemberitaan Koran Acehkita, adalah pengumuman yang wajar karena koran tersebut menggunakan nama yang sama. Sebagai pemimpin redaksi yang secara hukum bertanggungjawab atas segala pemberitaan acehkita, Sdr Dandhy justru wajib mengumumkan sejak dini agar terbebas dari semua konsekuensi hukum yang ditimbulkan dari pemberitaan yang tidak berada di bawah otoritasnya, terutama sejak koran tersebut menggunakan nama yang sama.

Lagipula, dalam dua edisi pertama Koran Acehkita, di dalam boks redaksi, para pengelola koran secara malu-malu tidak mengumumkan siapa pemimpin redaksinya. Karena itu, Sdr Dandhy harus menyatakan hal itu di milis. Setelah itu, isi milis tersebut justru berisi ucapan selamat dan doa, semoga Koran Acehkita bermanfaat bagi publik Aceh. Bila posting di milis ini dianggap sebagai itikad buruk untuk membuka borok yayasan, maka jelas tuduhan tersebut merupakan fitnah dan pemilintiran fakta dengan tujuan-tujuan manipulatif.

Sebaliknya, ratusan saksi warga milis justru melihat, Sdr Otto Syamsuddin Ishak lah yang pertama membuka masalah ini ke publik dan tidak ditanggapi oleh para karyawan acehkita. Sdr Otto, karena keterlambatan terbit korannya, telah mencari kambing hitam dengan menyebut ada gerakan gerilya yang menyebabkan koran terlambat terbit. Setelah posting itu, para karyawan tidak memberikan tanggapan apapun, hingga akhirnya Sdr Otto memposting sesuatu yang telah menyingunggung ke-etnisan Sdr Dandhy. Sehingga, dengan panjang lebar, Sdr Dandhy pun terpaksa melayani debat terbuka yang disulut oleh Sdr Otto melalui milis.

7. SePAK mengecam keras digunakannya alasan ini untuk menutupi dan membelokkan persoalan sesungguhnya di dalam tubuh manajemen Acehkita. Apakah soal keredaksian akan dipersoalkan oleh board bila Sdr Dandhy tidak memprotes masalah ketidaktransparanan manajemen?

Acehkita sudah berusia dua tahun. Dan selama itu pula, tak pernah ada keluhan resmi yang disampaikan oleh board, selain keluhan-keluhan pribadi yang disampaikan oleh Smita menjelang penerbitan korannya sendiri. Hal ini kami duga sebagai alasan yang dicar-cari untuk membenarkan rencananya menerbitkan media baru.

Tuduhan bahwa jurnalisme acehkita yang dikembangkan Sdr Dandhy tidak sesuai dengan visi dan misi awal pembentukan media ini, adalah dagelan yang luar biasa. Sebab, seingat kami (para karyawan dan jurnalis), justru Sdr Dandhy lah yang mendirikan dan mendesain konsep acehkita. Jadi, bagaimana mungkin para board yang datang belakangan atas undangan para wartawan untuk dipasang sebagai simbol formal lembaga yayasan, justru menghakimi konsep pemberitaan acehkita.

Kelima orang board tidak memiliki kompetensi profesional untuk menghakimi kebijakan redaksi acehkita sebab, secara jurnalistik, acehkita diawasi oleh para stakeholder seperti organisasi-organisasi kewartawanan, media watch, dan bahkan acehkita memiliki media ombdusman yang bekerja untuk melakukan hal-hal tersebut. Tudingan sepihak tentang kebijakan pemberitaan, tanpa disertai penilaian dari sisi profesionalisme kewartawanan, kami anggap hanyalah manuver politik murahan.

Fakta menunjukkan bahwa pengakses situs meningkat dan sirkulasi majalah meningkat. Artinya, jurnalisme acehkita bisa diterima audience. Sdr Otto Syamsuddin Ishak sebagai tim riset kasus-kasus kemanusiaan di Imparsial, dalam setiap edisi Huridoc-nya, justru 80 persen mengutip data-data yang dipublikasikan acehkita!

Para board, bahkan merayakan pesta ulang tahun acehkita yang kedua dengan mewah disertai konser para artis pada tanggal 26 Juli 2005. Bila benar produk jurnalistik acehkita begitu memalukannya di mata board, karena tidak sesuai dengan selera mereka, lalu untuk apa semua pesta itu digelar? Tidakkah board malu merayakan ulang tahun sebuah media yang bahkan kebijakan redaksinya sendiri tak berkenan di hati mereka?

Tentang konsep jurnalisme damai yang dipersoalkan para board, SePAK memutuskan untuk tidak akan menanggapi karena khawatir, bahkan para board sendiri tak mengetahui konsep jurnalisme damai.

8. Tudingan baru sudah dibuka. Kali ini kami dianggap hanya ikut-ikutan dan menjadi korban provokasi. Korban provokasi siapa? Banyaknya tanda tangan yang masuk dalam petisi harusnya disikapi sebagai realitas moral para karyawan yang menginginkan adanya perubahan, dan bukannya dipelintir dengan asumsi-asumsi murahan. Faktanya: bahkan para jurnalis koran milik PT MDD dan para relawan kemanusiaan pun terlibat menandatangani petisi.

9. Menanggapi tawaran ini, SePAK memilih opsi ketiga, yaitu mogok kerja.

10. Sepak telah meminta kepada Sdr Dandhy untuk tidak mengundurkan diri. Sebab, bukan Sdr Dandhy yang terkena petisi. Apalagi, secara historis, board tidak berhak mengusir yang bersangkutan. Kelima nama board dipasang sebagai legalitas kelembagaan media acehkita. Bila hari ini kelima nama itu justru bertindak sebagai penguasa yang arogan, maka publik akan memiliki penilaian sendiri terhadap para board. Dan, bila board memecat Sdr Dandhy sebagai Pemimpin Redaksi, maka kami menunggu surat pemecatan itu secara tertulis disertai alasan-alasan, persis sebagaimana hasil rapat board. (bersambung)

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU