KUALA LUMPUR | ACEHKITA.COM – Sekretaris Jenderal Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF) Juanda Djamal menyatakan bahwa masyarakat Aceh lebih lama hidup dalam konflik daripada situasi damai.

Hal itu disampaikannya ketika berbicara pada workshop Konferensi Masyarakat Sipil Asean di UTM Malaysia, Jumat (24/4/2015). Tema workshop itu ialah “Reflection on on Peace Talks in Myanmar (Burma), Patani (Thailand), Aceh (Indonesia), and Bangsa Moro (Philippine).”

Dalam pernyataan pers yang diterima acehkita.com, Selasa (28/4/2015), disebutkan bahwa Juanda memaparkan proses transformasi konflik di Aceh. Dia menguraikan konflik bersenjata di Aceh, upaya penyelesaian konflik, dan tranformasi konflik Aceh pasca-penandatanganan MoU Helsinki 15 Agustus 2005 di Finlandia.

“Siklus konflik Aceh-Indonesia memberikan pembelajaran penting, karena rentang konflik dan damai cenderung reda dan muncul kembali. Bahkan masyarakat Aceh hidup lebih lama dalam konflik jika dibandingkan situasi damai,” katanya.

“Dapat dibayangkan setelah bergabung dengan RI, rakyat Aceh harus hidup dalam keadaan konflik selama 40 tahun, dan hanya 15 tahun saja memperoleh kedamaian. Namun itu pun tidaklah dapat melakukan pembangunan semestinya.”

Menurut dia, kehancuran struktur sosial Aceh sangat mengakar. Butuh usaha yang mengakar pula untuk memulihkannya dan perlu formula yang tepat mengubah perilaku konflik ke damai. “Tantangannya sekarang adalah bagaimana menjaga perdamaian dan konflik tak lagi terulang,“ ujar Juanda.

Dia menegaskan damai Aceh tidak terlepas dari terjadinya perubahan geopolitik di Indonesia. “Benar bahwa tumbangnya Orde Baru yang otoriter dan reformasi 1998, telah menciptakan suasana demokrasi di bawah Presiden Habibie, dimana beliau mengubah paradigma Jakarta dalam melihat persoalan konflik Aceh,” katanya.

Penandatanganan perjanjian damai 15 Agustus 2005 merupakan capaian atas usaha yang sudah berproses sebelumnya. Gempa dan tsunami menjadi daya pendorong terhadap tercapainya kesepakatan, katanya.

Direktur People Empowerment Foundation (PEF) Chalida Tajaroensuk saat membuka  workshop menyatakan konflik yang sebelumnya terjadi antar-negara hingga berakhir Perang Dunia II dan Perang Dingin, bergeser menjadi konflik dalam negara. Hampir semua konflik internal negara karena tidak selesainya konsensus politik dan pengalihan wilayah oleh pihak kolonial.

Chalida menuturkan, masyarakat sipil punya peran sangat penting dalam mendorong penyelesaian konflik bersenjata. “Penyelesaian konflik bukan hanya dimainkan aktor-aktor negara, tapi juga organisasi masyarakat sipil,” katanya.[]

RILIS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.