Friday, March 29, 2024
spot_img

Ahokisme: Kepemimpinan & Ketertiban

Ahokisme: Kepemimpinan & Ketertiban

Saiful Mahdi*

Ada pandangan bahwa karakter sebuah bangsa bisa dilihat dari keadaan lalu-lintas di jalan-jalan umumnya. Mulai dari bagaimana pejalan kaki dan pesepeda dihargai oleh pengguna jalan lainnya, terutama pengendara kenderaan bermotor, hingga bagaimana jumlah dan kualitas layanan transportasi publik nya.

Negara yang pejalan kakinya didahulukan sehingga bisa berjalan dengan aman pada trotoar yang luas, bebas hambatan, dan bersih, dianggap bangsanya lebih maju dan beradab. Para pejalan kaki sangat dihormati di jalan-jalan. Mereka bisa melenggang tenang di jalur penyebrangan, zebra cross, saat menyebrang jalan, tanpa khawatir diserempet kenderaan bermotor.

Bahkan ada kota-kota yang dianggap lebih berbudaya karena sebagian besar wilayah kotanya telah menjadi plaza-plaza untuk pejalan kaki, jalur-jalur  yang bebas mobil (car free) dan bebas kenderaan bermotor lainnya. Kota-kota yang maju ditandai dengan lalu-lalang transportasi publik yang teratur dan makin sedikitnya pengguna kenderaan pribadi.

Sejumlah negara kesejahteraan di Skandinavia dan Eropah Barat bahkan sudah mulai menerapkan gagasan kota tanpa mobil, dan target menjadikan kematian di jalan raya nihil dengan perencanaan keselamatan lalu-lintas yang terus diperbaiki. Berbanding terbalik dengan kita yang justru sedang bangga-bangganya (akan) punya jalan tol, fly-over, dan under-pass walaupun terbukti jalan raya kita memakan korban jiwa dan benda makin banyak dan kita dihinakan kemacetan yang bisa berjam-jam.

Kalau tertib-lalu lintas adalah cerminan karakter, apakah Indonesia termasuk yang paling buruk karakter manusianya? Bisa jadi ya, karena Jakarta adalah kota paling macet sedunia. Jumlah kecelakaan lalu-lintas dan korban jiwa dan benda karenanya sangat tinggi. Medan setali tiga uang, dianggap kota dengan lalu-lintas terburuk.

Bahkan hampir semua kota di Indonesia, termasuk Yogya dan Banda Aceh, makin memburuk keadaan lalu-lintasnya. Hanya tinggal berlomba menjadi yang tidak paling buruk dari yang buruk-buruk saja. Yogya yang pernah sangat ramah pesepeda dan pejalan kaki, Miliboro-nya telah menjadi neraka untuk selain sepeda motor. Setiap minggu ada 5-7 orang meninggal karena laka-lantas di Kota Banda Aceh.

Banyak penelitian, kajian, dan diskusi tentang tertib lalu-lintas dan tata-kelola transportasi publik, khususnya untuk wilayah urban telah dibuat. Tapi kelihatannya masalah kita demikian besar dan rumit. Sangking besar dan rumitnya masalah ini, kita bingung mau memulai usaha perbaikan dari mana untuk kota yang sudah jadi monster seperti Jakarta dan Medan, atau bagaimana agar kota lainnya, khususnya kota-kota kecil dan menengah tidak perlu bernasib sama seperti Yogyakarta.

Kepempimpinan Tegas & Visioner

Melihat kasus-kasus yang ada, lagi-lagi kita harus mengakui bahwa kepemimpinan adalah kunci. Punca semua masalah tata-kota, termasuk jalan, jembatan, trotoar, dan lalu-lintas, ada pada kepemimpinan yang lemah dan tidak visioner. Karena itu, solusinya besar kemungkinan ada pada kepemimpinan yang tegas dan visioner.

Dan kepemimpinan visioner dan hebat tidak selalu dari “negara Barat”. Dia bisa datang dari Timur dan Barat, Utara dan Selatan. Dari mana saja.

Contohnya, ada bekas walikota Bogota, Kolombia, Enrique Penalosa yang terkenal dengan pernyataannya: “Sebuah negara maju bukanlah tempat dimana rakyat miskin mempunyai mobil, tapi dimana orang kaya menggunakan transportasi publik.”  Jadi, kita tak perlu bangga dengan rakyat kita yang justru terenagah-engah untuk bisa membeli sepeda motor dan kredit mobil. Itu bukan bukti daya beli dan bagusnya ekonomi. Itu bukti konsumerisme dan gagalnya negara dalam menjamin mobilitas penduduknya!

Lemahnya kepemimpinan dan keteladanan orang tua, guru, sampai para oknum aparat di kepolisian adalah penyebab sebagian pengguna kenderaan bermotor di Indonesia belum mampu mengendarai kenderaan bermotor dengan baik dan benar. Karena itu mereka sebenarnya belum berhak berkendaraan, bahkan illegal dan berdosa jika melakukannya.

Anak-anak dan remaja di bawah umur 17 tahun, menurut hukum kita, jelas tidak berhak mengenderai kenderaan bermontor karena mereka belum berhak mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM). Tapi kenapa orang tua membiarkan dan aparat hukum, khususnya polisi  lalu lintas tidak menindak?  Bukankah itu artinya kita membenarkan dan melegalkan sesuatu yang salah dan melanggar hukum.

Tapi toh ada pemimpin yang tegas melarang ini. Sejak 2013, “Pemerintah Kota (Pemkot) Solo melarang siswa membawa kendaraan bermotor ke sekolah. Larangan tersebut berlaku bagi pelajar SMP, SMA, dan SMK, yang berusia di bawah 17 tahun dan tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).” Bagaimana dengan Walikota Kota Madani nan Gemilang di Banda Aceh?

Mereka yang sudah mempunyai SIM pun ternyata banyak yang bodong alias “SIM Tembak”. Nembaknya bisa lewat oknum polisi atau lebih sering lewat kursus mengemudi yang kadangkala tak peduli sekali dengan apakah murid belajar mengemudinya sudah benar-benar paham aturan lalu-lintas atau tidak.

Tidak seperti di negara yang tata-kelola pemerintahannya sudah baik, hampir semua orang di Indonesia membuat SIM tanpa mengikuti tes pengetahuan dan ketrampilan mengemudi yang sebenarnya.  Pernah penulis mau minta tes yang sebenarnya, malah ditertawakan banyak orang.

Tapi sudah ada usaha dan peraturan yang jelas sejak 2013 juga bahwa untuk membuat SIM baru dan memperpanjang SIM yang akan kadaluarsa, pemohon wajib mengikuti ujian teori dan praktek. Tapi khabarnya masih banyak satuan kepolisian yang gagal melaksanakan ini. Menurut berita, Poltabes Surabaya termasuk yang cukup tegas menerapkan ini.

Dan perlu kualitas kaliber Walikota Risma di Surabaya dan Kang Emil Ridwan Kamil di Bandung untuk memastikan taman dan fasilitas pejalan kaki cukup banyak dan terjaga baik di kota terbesar kedua dan keempat di Indonesia itu.

Jadi trotoar lebar dan bersih untuk pejalan kaki bukan hanya ada di “negara maju” loh. Kedua Walikota di Surabaya dan Bandung itu telah berhasil menghadirkan banyak trotoar untuk pejalan kaki yang lebar, nyaman, dan bersih. Sejumlah bangku yang serasi ditempatkan pada jarak tertentu di trotoar itu sehingga pejalan kaki bisa beristirahat atau sekedar santai sambil duduk.  Jangan kaget, trotoar itu dipel, diguyur air, disikat setiap minggu oleh para petugas kota, dan seringkali diikuti warga Surabaya dan Bandung.

Contoh lain, ada Ahok yang telah cukup berhasil menertibkan lalu-lintas di ibukota. Kopaja dan Metromini yang ugal-ugalan dijinakkan Ahok dengan peremajaan dan pengalihan. Ahok mengembangkan TransJakarta yang rutenya hampir mencapai seluruh pelosok Jakarta. Bersama Jokowi, Ahok ikut memastikan proyek mass rapid transportation Jakarta yang terhubung ke beragam moda mulai digerakkan. Proyek monorail kabarnya sudah diwacanakan sejak beberapa kepemimpinan sebelumnya, tapi butuh pemimpin kaliber Ahok dan Jokowi untuk memecahkan telor kebuntuan yang sudah sangat busuk itu.

Opppssss….Ahok tak terpilih lagi di Pilkada Jakarta yang sampai dua putaran itu. Semoga Anies-Sandi bisa melanjutkan pembenahan kota monster bernama Jakarta itu. Suka tidak suka, Ahok-Djarot dilepas dengan 70% tingkat kepuasan warga atas kinerja mereka. Sungguh sebuah standar tinggi yang menantang buat Anies-Sandi mempertahankan apalagi melampauinya. Kalau Ahok dikatakan hanya “mampu” tapi tidak cukup “baik” karena “mulut embernya”, semoga kepemimpinan baru di Jakarta dan di tempat lain akan membawa bukan hanya pemimpin yang mampu, tapi juga baik, santun dan lemah lembut.   

Untuk Banda Aceh? Semoga pemimpin Kota Gemilang bisa lebih tegas dan visioner dalam memajukan transportasi publik dan fasilitas pejalan kaki serta pesepada di Kota Madani ini. Contoh-contoh di atas menunjukkan, tak ada pemimpin yang dilawan rakyatnya saat mereka tegas seperti Ahok, keras dan cerewet seperti Risma, berani dan cerdas seperti FX Hadi Rudyatmo dan Ridwan Kamil. Kenapa? Karena mereka semua visioner dalam melihat dan membela kepentingan rakyat banyak.

Tapi Ahok kalah? Mungkin kita tak suka Ahok yang “bermulut kotor”. Tapi bahkan yang paling benci dengan Ahok mengakui adanya Ahokisme yang layak dilanjutkan? Walaupun Ahok dianggap tidak cukup “baik” sehingga kalah dalam Pilkada Jakarta, sekitar 70% rakyat Jakarta senang dengan “kemampuan” alias kinerja Ahok. Kinerja kepemimpinan yang berani dan tegas. Kinerja kepemimpinan ala Ahok, alias Ahokisme.

*Saiful Mahdi adalah Ko-Pendiri dan Peneliti di Aceh Institute.

Menulis “Kolom Fakhrurradzie Gade” di AcehKita.com setiap Kamis. Isi tulisan adalah pandangan pribadi Email: [email protected]   

 

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU