Thursday, March 28, 2024
spot_img

…And Justice for Aceh…

Tahun 1993 grup musik cadas Metallica mampir dan menggelar konser perdana di Indonesia. Saat itu grup band dari Amerika Serikat itu sedang berada di puncak kejayaannya. Musik rock atau metal saat itu masih dianggap sebagai karya seni “sesat,” musik dengan mengandalkan raungan gitar bernada kasar diiringi melodi super cepat sempat dianggap sebagai musik penghancur tata berkesenian yang lembut dan bertatakrama. Penggemar aliran musik ini dianggap “pemberontak” terhadap tatanan, nilai yang berlaku di masyarakat. Metallica adalah ikon dan simbol pemersatu bagi para pemberontak tersebut. Industri musik juga mulai menghargai karya anak metal. Grup ini menjadi penampil metal terbaik pertama dalam sejarah ajang bergengsi Grammy Award.

Ketakutan publik terhadap berkumpulnya para “pemberontak” dalam suatu even bernama konser musik rock terjadi. Konser yang dihelat di Stadion Lebak Bulus, Jakarta, tersebut rusuh. Sekelompok penonton yang tidak berhasil masuk ke arena stadion melakukan aksi brutal, melahirkan chaos. Konser metal yang berlangsung sejak 10 dan 11 April 1993 tersebut meninggalkan catatan kelam bagi penggemar musik yang identik dengan warna hitam ini. Diperkirakan tahun seratusan ribu massa hadir saat itu, puluhan mobil dibakar, puluhan orang luka-luka. Setiawan Djodi, promotor cum musisi yang mendatangkan Metallica harus menanggung kerugian rumah-rumah yang dirusak massa. Menurut cerita, ia bahkan ia sempat dipanggil dan ditanyai penguasa orde baru, Presiden Soeharto.

Saya dan Cek Pan tak lupa kerusuhan itu. Sambil mengenang headline pada majalah musik anak muda saat itu, “Metallica Membakar Jakarta,” saya mengaduk sanger panas yang baru saja dihidangkan oleh salah seorang karyawan Warkop Cek Pan.

Diskursus tentang Metallica ternyata tidak hanya menjadi domain para penggemar musik rock. Pada tahun 2007 William Irwin, seorang profesor filsafat menerbitkan buku bertajuk Metallica and Philosophy: A Crash Course In Brain Surgery. Menurutnya, beberapa lirik lagu Metallica mampu menyentuh berbagai aspek kehidupan. Beberapa liriknya menyuarakan tentang kemerdekaan, kebenaran, identitas, pertanyaan tentang hidup dan mati, moralitas hingga keadilan. Bahkan Irwin mengambil beberapa lirik pada album-album Metallica sebagai bahan diskusi kajian filsafat serta menghubungkannya dengan pemikiran Aristoteles, Nietzche, Kierkeegard, hingga Marx.

Dua puluh tahun kemudian, tepatnya 25 Agustus 2013, James Hethfield, dkk kembali ke Indonesia. Kembalinya Metallica kali kedua jauh berbeda dengan dua puluh tahun lalu. Konser kali ini boleh dikatakan sangat sukses, aman, dan jauh dari kata rusuh. Puluhan ribu penonton di stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, dimanjakan lagu-lagu metal yang sempat berjaya di tahun 80-an dan 90-an. Penonton puas. Bahkan salah satu majalah musik top mengangkat judul “Metallica, Pesta Kolosal Rakyat Metal Indonesia.”

Jamaah pencinta musik Indonesia patut berbangga dengan “kembalinya” Metallica, empat tahun lalu. Namun, bagi saya hal yang menarik adalah kehadiran mantan gubernur Aceh, Irwandi Yusuf di arena konser. Uniknya lagi, Irwandi bukan satu-satunya pemimpin yang hadir. Gubernur DKI Jakarta saat itu, Jokowi, juga ikut di tengah penonton menikmati sayatan gitar Kirk Hammet. Bukan rahasia lagi, Joko Widodo presiden Indonesia saat ini termasuk penggemar musik bergenre cadas seperti ini.

Tidak hanya Metallica, Irwandi juga kembali untuk yang kedua kali. Beberapa hari lagi Aceh akan memiliki pemimpin baru, gubernur baru walaupun dengan wajah lama. Iya, Irwandi sempat memimpin Aceh pada tahun 2007 hingga 2012. Ia adalah gubernur pertama Aceh yang dipilih secara langsung dan pemimpin pertama Aceh pasca-konflik bersenjata antara pemerintah RI dan GAM. Irwandi, dosen yang sempat menimba ilmu di Amerika Serikat, termasuk pemberontak yang sempat mendekam di penjara Aceh. Ia dikenal sebagai seorang ahli propaganda GAM. Perjanjian damai yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia membalikkan semua. Mantan anggota GAM kini mulai menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan, mulai dari anggota parlemen, bupati hingga gubernur.

Irwandi sempat memimpin Aceh selama lima tahun. Pilkada berikutnya ia tak mampu mengalahkan pesaing yang dulunya teman seperjuangan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf. Tahun 2012 sampai 2017 menjadi milik Zaini, dkk. Lima tahun bersama Zaini program yang telah diinisiasi dan digarap oleh Irwandi mengalami dekonstruksi. Salah satu program fenomenal di era Irwandi adalah “Aceh Green” yang tak terdengar lagi gaungnya.

“Ya, lon tingat watee nyan.” Ada anekdot saat itu, asal bukan program Irwandi. Pemerintahan Zaini seakan-akan alergi terhadap hal-hal yang berbau Irwandi.”

Kita juga tidak lupa usai pelantikan Zikir. Saat itu Irwandi Yusuf sebagai mantan gubernur disoraki ribuan massa dan dipukul oleh salah seorang di antara keramaian orang.

Dalam hitungan hari Irwandi akan dilantik lagi untuk menjadi “dirijen” pembangunan Aceh lima tahun ke depan. Cek Pan mencoba memaparkan analisisnya.

“Menurut lon, kembalinya Irwandi ke singgasana pemimpin tertinggi Aceh adalah representasi dari kekecewaan publik atas pemimpin sebelumnya yang dianggap tidak mampu membawa perubahan positif, kesejahteraan, dan keadilan.”

Saya tidak mau kalah dengan pengusaha warkop ini. Menurut saya, Irwandi bisa kembali karena ekspektasi yang sangat tinggi dari rakyat Aceh agar provinsi ini mampu dikelola oleh orang yang punya pengalaman dan pendidikan yang baik.

Analisis Cek Pan makin “liar,” ia mengkaitkan pemimpin baru Aceh dengan Metallica.

Watee ka dilantik, Irwandi harus memainkan irama lagu Motorbreath. Gubernur dan wakilnya harus mampu bekerja keras, kencang, dan taktis dalam menyelesaikan masalah-masalah masyarakat, seperti kemiskinan dan kesenjangan sosial.”

“Tapi bek tuwoe, jangan lupa lagu Nothing Else Matter. Pemimpin Aceh harus ‘open mind for a different view,’ harus mendengar berbagai pendapat walaupun dari golongan atau kelompok yang berbeda.”

Wah, makin kacau nih diskusi kami. Akhirnya Cek Pan menutup dengan kalimat asik.

“Pemimpin yang harus bisa menciptakan keadilan, bukan hanya untuk golongannya sendiri tapi juga keadilan bagi seluruh rakyat. And justice for all…”

Saya mengangguk-angguk setuju. Bagi saya Metallica tidak hanya sekadar grup band biasa, berbanding lurus dengan Irwandi Yusuf yang bukan hanya sekadar gubernur biasa.

Cek Pan bangun dari tempat duduknya menuju ke seperangkat alat audio di sudut warung kopi, lalu memutar lagu lama,…And Justice for All..

…Justice Is Lost,
….Justice Is Raped,
…Justice Is Gone…

Fahmi Yunus adalah pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry, peneliti pada ICAIOS dan CENTRIEFP, Banda Aceh. E-mail: [email protected]

Fahmi Yunus
Fahmi Yunushttp://ACEHKITA.com
Fahmi Yunus adalah periset komunikasi massa dan studi pembangunan.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU