Dua jurnalis petualang, Dandhy dan Suparta, berada di Toraja, Sulawesi Selatan. | FOTO: Ekspedisi Indonesia Biru

TORAJA — Zaman makin memanjakan para peziarah. Selama ada jalan aspal, aplikasi peta digital seperti Google Maps hampir selalu membantu.

Hampir?

Sebab tak sekali-dua kami “dijerumuskan”. Bahkan di kota besar. Di Denpasar, kami mencari toko perlengkapan outdoor dan diantarkan ke saluran irigasi. Di Toraja, ia membawa kami puluhan kilometer lebih jauh dari jalur umum. Meski ini berkah, sehingga bisa tahu daerah pedalaman.

Tapi ada kalanya “detour” seperti di Toraja tidak kami butuhkan. Di Ende, Flores, dalam kondisi gawat darurat karena harus mencari UGD jam 4 dini hari, ia membawa kami ke perkampungan yang 180 derajat berlawanan arah dari lokasi yang sebenarnya.

Padahal RSUD Ende ada dalam aplikasi peta digital itu. Dalam kondisi setengah panik dan kalut, petunjuk dari orang, kurang kami perhatikan.

Apalagi, Anda tahu sendiri, setiap daerah berbeda “bahasa arahnya”. Ada yang memakai mata angin, tak peduli Anda tahu atau tidak di mana utara-selatan.

“Ini lurus, nanti belok ke selatan, Mas”

Nah, di Ende, mereka pakai “atas-bawah” untuk menunjukkan arah. “Bawah” berarti arah pantai, “atas” arah gunung. Tak peduli ketinggian jalanan tampak sama bagi mata kami.

“Lampu merah, ambil bawah”

Jadi akhirnya, dini hari itu kami memakai Google Map. Tapi apa lacur.

Berdasarkan rangkaian pengalaman ini, kami akhirnya memperbesar porsi oplosan dengan metode analog: tanya orang dengan bahasa universal (kanan-kiri).

Tapi ada satu hal yang kami tak perlu bertanya ke Google Maps, yakni di mana tempat pipis. []

DANDHY | SUPARTA | EKSPEDISI INDONESIA BIRU

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.