Suparta Arz/EKSPEDISI INDONESIA BIRU

PAGI-PAGI kami mulai menapak jalan memasuki perkampungan Baduy dari Terminal Ciboleger, Kecamatan Leuweidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Secara administrasi, perkampungan mereka berada di wilayah Desa Kanekes. Di masa pemilu, tak ada Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Baduy Dalam.

“Bawa saja kameranya. Nanti kami beri tahu di mana batas wilayahnya kalau sudah tidak boleh mengambil gambar,” kata Sapri.

Wajah kami sumringah.

Ada tiga perkampungan Baduy Dalam: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Yang akan kami tuju adalah Cibeo, perkampungan terpadat dengan 96 rumah yang dihuni sekitar 140 keluarga atau sekitar 500 jiwa. Di tempat ini pula para pendatang, peziarah, atau tamu boleh menginap, meski hanya semalam. Inilah salah satu aturan adat di antara 1001 pantangan seperti larangan mengoperasikan kamera.

Untuk mencapai Baduy Dalam, kami melintasi tiga perkampungan Baduy Luar: Keduketug, Campaka, dan Keduketer. Nama pertama sudah mirip kampung turis. Aneka suvenir, jasa wisata, dan warung berjajar menyambut para tamu. Adapun kampung kedua adalah permukiman yang baru dibuka empat tahun lalu dan hanya terdapat 10 rumah.

Sapri dan Komong berjalan di depan. Tapi iramanya mengikuti langgam kaki kami yang lambat sembari mengambil gambar. Juga karena jalanan mulai menanjak. Ucok lebih lincah dari saya yang berbobot lebih dari100 kilogram.

Di tengah jalan, kami berpapasan dengan Asep, anak ketiga Sapri yang segera membantu membawa barang. Hari itu, kami hanya membawa sebagian kecil perlengkapan. Yang lain, ditinggal di rumah pasangan Aman dan Ema. Tak lama kemudian, Aldi sang sulung juga bergabung dan menggenapi rombangan kami menjadi enam orang.

Sulit menandingi orang Baduy Dalam berjalan kaki. Jarak 12 kilometer dengan tanjakan yang kadang mencapai 45 derajat, mereka libas dalam tempo 1,5 jam saja.

“Rata-rata tamu berjalan 4-5 jam. Kalau santai, bisa enam jam. Tidak terjatuh saja sudah bagus,” ujar Sapri setelah melihat sandal gunung saya tandas dibetot jalanan berlumpur. Mereka tak jarang harus menandu para peziarah yang tak sanggup lagi berjalan. Tandunya terbuat dari sarung yang diikat di dua bilah kayu.

Akhirnya saya melanjutkan dengan kaki telanjang, menyamai Sapri dan ketiga anaknya. Dampaknya lebih parah. Tanpa alas, telapak kaki selalu meluncur di atas tanah berlumpur. Suatu malam nanti, kami diizinkan meraba telapak kaki Sapri dan Aldi. Telapak kaki yang membawa mereka berjalan kaki ratusan kilometer di atas aspal panas menuju Jakarta, Bogor, atau Bekasi. Telapak kaki yang telah ber-evolusi menghadapi batu, tanah, lumpur, lumut, dan duri tanaman atau ijuk.

Di sepanjang jalan, kami menemui huma yang ditumbuhi padi berseling pohon durian, kelapa, atau aren.  Di Baduy Luar, aren boleh diambil airnya untuk diolah menjadi gula merah. Seorang pemuda bernama Mursid (21) yang kami temui di kampung Campaka, sudah empat tahun meninggalkan Baduy Dalam agar dapat memproduksi gula aren. Jenis pekerjaan ini memang dilarang di Baduy Dalam. Seperti halnya larangan menanam kopi, cengkeh, coklat, bahkan singkong.

Tak hanya itu, berbagai aturan adat diterapkan dalam menanam padi yang hanya boleh setahun sekali.

Baca: Bertani di Negeri 1001 Tabu http://geotimes.co.id/kebijakan/lingkungan/13371-bertani-di-negeri-1001-tabu.html

Zona Tanpa Kamera

“Ini batasnya. Di sebelah sana, sudah tidak boleh mengambil gambar,” kata Aldi sopan. Batas yang dimaksud adalah dua batang pohon besar seperti pintu gerbang, meski tak sejajar. Bersamaan dengan itu, ada jalan menurun seperti hendak memasuki dunia lain.

Kami langsung mengemas perlengkapan untuk menghormati aturan adat. Tak terlintas sedikit pun untuk mencuri-curi gambar dengan kamera tersembunyi. Bukan itu tujuan ekspedisi ini. Setidaknya tidak di sini: di Baduy.

Entah terbawa suasana karena tak lagi sibuk dengan kamera, memasuki wilayah Baduy Dalam seperti melihat lanskap yang berbeda. Pohon-pohonnya lebih besar dan rindang. Dedaunan yang gugur di sepanjang jalan,terasa lebih tebal diinjak kaki. Menghitam, basah, dan lembab.

Angin terjebak di antara lubang-lubang bambu yang sengaja dipasang di tepi ladang, sehingga menimbulkan bunyi asing yang nyaring.

NgungNgung…”

Bambu itu seperti seruling raksasa. Potongan utuh yang diberi lubang dengan jarak teratur sehingga menimbulkan bunyi yang terdengar hingga jarak ratusan meter. Mereka menyebutnya calintu.

“Dewi Sri menyukai bunyi itu,” terang Sapri.

Jelas yang dimaksud bukan Sri Mulyani atau Sri Adiningsih, ekonom lulusan kampus ternama. Melainkan dewi padi yang dipercaya banyak masyarakat di Nusantara, kendati dengan nama yang berbeda.

Entah berkaitan atau kebetulan, teknik budidaya padi modern juga diberi nama SRI (System of Rice Intensification) yang disebut-sebut sukses dikembangkan di 36 negara. Bedanya, Sri versi Baduy tidak mengizinkan membajak sawah atau menggunakan pupuk kimia. Sedangkan SRI di ladang modern, justru harus dibajak hingga kedalaman 25-30 cm dan menggunakan pupuk Urea atau ZA.

SRI dilakukan agar dapat memanen sesering mungkin, sedangkan Sri hanya memberi izin setahun sekali selama enam bulan. Enam bulan sisanya, adalah hak tanah untuk beristirahat guna mengembalikan unsur hara (top soil). Inilah konsep pertanian berkelanjutan yang dibungkus sistem kepercayaan adat.

SRI mengharapkan naiknya nilai tukar petani, sedangkan Sri justru melarang orang Baduy menjual beras hasil ladang sendiri.

Melihat calintu, kami seperti refleks hendak mencabut kamera. Tapi ini sudah masuk zona larangan. Padahal sebagai videografer dan fotografer, kami hampir tak meyakini lagi kekuatan penulisan deskriptif. Tunjukkan saja dengan gambar, maka pembaca akan mendapatkan apa yang kita maksud.

Tapi ternyata perjalanan di rute pertama ini, justru seperti cibiran setelah siap dengan aneka jenis kamera. Pada akhirnya, di tanah ini, jurnalisme dipaksa kembali pada bentuknya yang tertua: teks.

Selama di Baduy Dalam, kami mencatat berbagai hal di atas kertas rokok atau kertas bekas, pemberian keluarga Sapri. Pena pun meminjam. Kami benar-benar melewatkan satu bagian penting dalam jurnalisme: pena dan kertas.

Kehidupan modern yang nir-kertas alias paperless telah membuat kami lalai membawa benda paling esensial dalam pengumpulan informasi. Dari lima tas yang kami bawa, dengan setidaknya 15 peralatan yang harus di-charge baterainya, hanya ada satu pena yang terselip. Itu pun tanpa buku catatan. Dan pena itu tidak termasuk peralatan yang kami bawa masuk ke Baduy Dalam.

Perjalanan pertama ini benar-benar memberi pelajaran penting dan membuka mata.

Sudah tengah hari, ketika kami semakin jauh memasuki wilayah Baduy Dalam. Karena ada larangan bagi tamu menginap lebih dari satu malam, kami berencana menginap di ladang atau huma milik keluarga Sapri.

Saniah, sang istri, berikut kelima anaknya yang lain, sudah menunggu di ladang. Mereka menyambut perbekalan yang kami bawa: beras, mi instan, dan ikan asin. Inilah tiga bahan pangan pokok bagi warga Baduy Dalam.

Bila pemerintah menaikkan harga BBM, harga ketiganya sontak ikut melonjak. Padahal mereka tak punya motor.

“Lebih baik tidak ada BLT, tapi harga barang tidak naik,” kata Sapri yang mengeluhkan naiknya harga pangan selepas pemerintah menaikkan harga bensin, November 2014. Padahal ia tak lagi menerima BLT sejak tahun 2005.

Saniah tak terlalu bisa bahasa Indonesia. Bahasa Sunda kami pun sangat ‘priangan’. Bukan Sunda-Banten. Ketiga anak perempuannya: Arni, Jenah, dan Jawi, lebih sibuk di dapur. Dua yang lain, Jema dan Maang, masih kecil-kecil. Alhasil, kami lebih banyak berkomunikasi dengan Sapri, Aldi, Asep, dan Komong yang kerap menonton televisi di Baduy Luar.

Nama kedelapan anak ini bukan karangan Sapri dan Saniah.

Pu’un yang memberi nama mereka semua. Kami ikut saja.”

Kami mengobrol di depan tungku di serambi rumah, sembari mengusir dingin di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Apalagi hujan yang tak kunjung reda. Keluarga Baduy memang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ladang daripada rumah utama di perkampungan.

Di dekat tungku, ada dua karung plastik: yang satu berisi sampah organik, yang lain sampah plastik.

“Plastik merusak tanaman, karena tidak bisa hancur. Makanya kami kumpulkan sendiri, lalu nanti kami bakar. Sedangkan yang daun-daun dan sampah dapur, nanti dikembalikan ke bumi dalam bentuk pupuk.”

Kami lagi-lagi tercekat. Keluarga Baduy yang tinggal di pedalaman telah memisahkan sampah sejak di rumah tangga. Hal yang tak dilakukan oleh kami yang tinggal di Jakarta dengan produksi 6.500 ton sampah per hari.

Adapun karung plastik bekas beras, didaur ulang menjadi sarung bantal. Ini yang membuat kami lebih merasa nyaman tidur, karena pasti lebih mudah dibersihkan daripada sarung bantal kain di mana deterjen adalah benda terlarang di Baduy Dalam. Konsep zero waste diterapkan di Baduy Dalam tanpa perlu menyimak kuliah-kuliah Gunter Pauli lewat youtube.

Ditemani kopi bergula aren, kami mengamati bagaimana keluarga ini beraktivitas di rumah ladangnya yang sejuk dan tenang. Melihat ini semua terjadi di depan mata, rasanya seperti dipaksa puasa. Puasa kamera yang jauh lebih berat daripada puasa ramadan.

Apalagi besok pagi, Sapri akan menunjukkan bagaimana orang Baduy mandi, gosok gigi, dan mencuci tanpa menggunakan deterjen atau produk toiletries yang harga sahamnya tetap tinggi meski berkali-kali di-stocksplit.

Lagi-lagi, semua itu hanya dapat kami gambarkan lewat tulisan di atas kertas aluminium bungkus rokok. [bersambung]

DANDHY D. LAKSONO [@dandhy_laksono] | EKSPEDISI INDONESIA BIRU

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.