Salah satu scene Film Belakang Hotel. | WatchdoC

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Rumah produksi WatchdoC merilis film dokumenter terbaru yang berjudul “Belakang Hotel”. Film ini bercerita tentang sumur warga yang mengering akibat masifnya pembangunan hotel di Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Belakang Hotel” diproduksi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Sutradara Belakang Hotel, Dandhy Dwi Laksono, menyebutkan, dokumenter tersebut digarap pada November 2014. “Prinsip produksi atau liputannya harus sederhana dan cepat,” kata Dandhy kepada acehkita.com, Ahad (8/2/2015).

Film berdurasi 39 menit 42 detik tersebut bercerita mengenai sumur-sumur warga di kawasan Gowongan, Malioboro, Miliran, Penumping, dan Kotagede yang mengering pada musim kemarau 2014 lalu.

Belakang Hotel dibuka dengan scene warga menimba air dalam sumur yang dalam nyaris kering dan narasi mengenai jumlah kamar hotel di Yogya. Pada 2003, Yogya memiliki 7.237 kamar hotel. Angka ini meningkat drastis pada 2013 menjadi 10.303 kamar. Bayangkan, satu kamar hotel membutuhkan 380 liter air per hari. Sedangkan satu rumah tangga hanya butuh 300 liter air per hari.

Adegan lain memperlihatkan aksi teatrikal warga mandi dengan debu di depan sebuah hotel pada Agustus 2014. Ini sebagai bentuk protes warga terhadap sumur mereka yang mengering.

Bertambahnya jumlah hotel di Yogya menyebabkan sumber air tanah berkurang. Akibatnya, sumur warga menjadi semakin dalam dan mengalami kekeringan pada musim kemarau.

Kekeringan yang melanda sumur warga tersebut terbilang langka. Pasalnya, ini merupakan kekeringan pertama dan terburuk dalam sejarah Yogyakarta. “Baru tahun ini keringnya merata, padahal kemarau-kemarau sebelumnya nggak seperti ini,” sebut Dandhy.

Hal senada diungkapkan seorang warga Miliran yang melancarkan aksi protes di depan hotel. “Saya lahir tahun 1977, jadi sudah 37 tahun sumur warga belum pernah mengalami kekeringan. Kalau pun kemarau panjang, masih ada air,” ujarnya.

Pegiat sosial dan jurnalis di Yogyakarta menyikapi serius persoalan ini. Mereka membentuk gerakan Jogja Asat (Yogya Kekeringan). Kekeringan itu diyakini akibat tataruang dan pembangunan hotel serta apartemen yang tidak memperhatikan dampak lingkungan, terutama air tanah bagi warga.

“Kawan-kawan Yogya terinspirasi video Onde Mandeh yang juga diproduksi WatchdoC tentang Pulau Cubadak di Sumatera Barat, yang mengabaikan ruang-ruang publik untuk kepentingan privat,” sebut Dandhy yang saat ini tengah melakukan perjalanan jurnalistik keliling Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru. “Itulah yang menjadi ide awal pembuatan Belakang Hotel.”

WatchdoC dan jurnalis di Yogya menggarap liputan Belakang Hotel dalam kurun waktu selama seminggu. Untuk editing membutuhkan waktu dua bulan. Namun, perilisan dokumenter ini molor karena kesibukan yang dialami kru. “Film ini memang tidak ada sponsor,” ujar Dandhy.

Apa yang diharapkan dari Belakang Hotel? Dandhy berharap, Belakang Hotel membuka mata para pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan tata ruang dan dampak lingkungan dalam memberikan izin pembangunan hotel, perumahan, mal, dan apartemen di Yogyakarta.

“Kita berharap ada perubahan kebijakan terkait tata ruang dan perizinan pembangunan yang berdampak pada warga,” ujar Dandhy.

Dampak lain yang diharapkan adalah semakin terbukanya akses informasi dan pemahaman bagi warga bahwa pembangunan di lingkungan mereka membawa konsekuensi yang tidak kecil. “Karena itu warga harus dilibatkan atau terlibat aktif memantau,” sebut Dandhy. []

[vc_video link=”https://www.youtube.com/watch?feature=player_detailpage&v=mGwS78pMPmU”]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.