Saturday, April 27, 2024
spot_img

Berbagi Laba Jaga Alam

SABAN hari para janda berjibaku di Ujoeng Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Dalam pondok semi permanen yang dibangun Yayasan Lamjabat, di kemukiman Lam Pageu para korban perang dan gelombang raya itu, menyulap sampah menjadi uang.

Ragam sampah kering semisal kaleng sarden, botol, pipet, kulit pinang, tempurung kelapa, koran, pelepah pisang, kulit pete, bahkan daun kering diolah jadi souvenir. Agar irit, industri handicraft itu hanya mengunakan 10 persen bahan baku bukan sampah seperti lem, pernis atau plastik pembungkus.

“Bahan dasarnya memang sampah, jadi gak perlu modal. Untuk mengisi waktu luang, lumayan juga buat usaha,” ucap Fatimah, anggota kelompok kerajinan bungong jeumpa.

Ragam sampah berubah jadi aneka souvenir diantaranya kotak tisu, bingkai foto, bunga hias, lampu hias, kotak perhiasan, kotak pinsil dan album photo. Tak hanya itu, sedikit puluhan produk dihasilkan termasuk tas dan dompet.

Sederhana hana cara pembuatannya. Untuk membuat celengan misalnya, hanya membutuhkan penggulung sampul plastik, kaleng bekas, kulit pete tua dan daun kering. Sementara karton untuk penutupnya. Jelas lem batang dan gunting harus tersedia.

Hal yang pertama dilakukan, memotong ban karton menurut ukuran yang diperlukan, biasanya 5 – 15 centimeter, kedua ujungnya ditutup karton, bagian atas dilubangi sebesar ukuran koin.

Setelah berbentuk tabung, bagian luarnya ditempelkan kulit pete atau daun kering dengan tatanan seni yang unik. Sedikit semprotan pilox untuk mengkilat. Tempelan kecil dengan biji-biji rempah dan padi sebagai penghias. Langkah selanjutnya, bungkus dengan kertas parsel, agar terkesan mewah.

“Awalnya produk-produk ini di titipkan di toko sagoe kamoe, tapi sekarang tidak lagi karena sudah habis kotrak. Jadi produk souvenir ini kita titipkan di toko-toko souvenir dan budaya yang mau menampung,” jelas Ainal, koordinator kerajinan Yayasan Lamjabat.

Harga produk kerajinan bungong jeumpa berkisar Rp 5 ribu sampai Rp 300 ribu. “Bunga dan lampu hias yang sering dipesan,” ucap Fatimah, sambil memperlihat karya-karya unik miliknya.

Kelompok perempuan anti sampah bukan hanya bungong jeumpa. Masih di Ujoeng Pancu, sekelompok ibu bersekutu dalam rukon kamoe, bergerak disektor konveksi. Yayasan Lamjabat, membina sebagai kelompok jahit. Berbagai mode pakaian cantik dan ekslusif yang dihasilkan telah masuk pasar.

Walau hanya berbahan kain perca, kaum ibu bahkan remaja putri gemar koleksi tas, tutup kulkas, tutup dispenser, tamplak meja dan bantal produk rukon kamoe.

“Bahannya, ditanggung oleh yayasan. Mereka kita bina untuk bisa berkarya dan memanfaatkan barang-barang yang dianggap tidak penting selama ini,” kata Ainal, yang juga seorang guru keterampilan di sebuah sekolah menengah negeri di Banda Aceh. “ Saat ini sedang mempersiapkan produk-produk baru, untuk ikuti pameran Agustus mendatang.”
***
GERAKAN peduli lingkungan Yayasan Lamjabat juga melibat remaja dan anak-anak. Pada anak putus sekolah, selain kreatifitas juga diajarkan bahasa Inggris dan komputer secara gratis. Sementara remaja, diajarkan sablon dan berkesenian.

“Kami bergerak dibidang lingkungan hidup. Saat ini juga sedang mencoba pengembangan sekolah lingkungan bagi anak-anak korban tsunami dan masyarakat yang berada di sekitar kawasan Ujoeng Pancu,” ucap Sulaiman salah seorang fasilitator yayasan.

Di sekolah alam ini, siswa mendapatkan materi tentang pendidikan lingkungan alam yang meliputi pelestarian hutan, hewan, laut, kesehatan lingkungan dan kreatifitas daur ulang hasil alam. Sebelum hadir sekolah alam ini, warga gemar merusak lingkungan dengan memburu hewan di hutan, merusak terumbu karang dengan bom untuk mendapatkan ikan.

”Program pendidikan alam bertujuan mendidik anak-anak pentingnya alam bagi kehidupan,” ungkap Yahdi Isten’s, Direktur Yayasan Lamjabat.

Usia siswa yang mengikuti sekolah alam ini dari Taman Kanak-kanak sampai sekolah menengah. Waktu belajarnya dimulai dari pukul 15.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB. Di atas hamparan pasir, berdinding akar-akar kayu dan dipayungi dedaunan. Tempat belajarnya di alam terbuka.

”Suasana belajar yang bebas di alam terbuka, membuka cakrawala pemikiran siswa lebih respek terhadap lingkungan.” ucap Mimi, pembina dan guru di sekolah alam Yayasan Lamjabat.

Untuk usia remaja, pendidikan alamnya lebih difokuskan pada training center alam. Salah satunya obserfasi langsung ke habitat terumbu karang di dasar laut pada hari sabtu dan minggu, untuk belajar secara langsung bagaimana pelestarian terumbu karang. Biaya pendidikan sampai perlengkapan berupa buku panduan tentang lingkungan ditanggung yayasan.

”Saat ini, sebanyak 34 orang siswa yang telah terlatih dan tetap dibina, untuk menjadi penerus dan pengawas lingkungan Ujoeng Panju, baik di laut maupun di hutan. Nantinya mereka akan tetap menjaga kelestarian kawasan ini,” tambah Yahdi.
***
DIANTARA gundukkan kotoran sapi seluas lapangan voli, setinggi satu meter. Sulaiman sibuk dengan cangkul di tangannya. Tenda biru ukuran dibentangkan ke atas tumpukan kotoran. “Setelah ini, langsung jadi pupuk organik.” Jelasnya.

Tidak hanya mendaur ulang sampah-sampah anorganik, menjadi kreasi-kreasi unik. Segala sampah terurai juga dimanfaatkan. Yayasan Lamjabat, mengajarkan warga memanfaatkan sisa makanan, sayuran, tumbuh-tumbuhan, kotoran hewan dan bahan-bahan lain.

“Pada dasarnya semua jenis sampah berguna dan bermanfaat bagi ummat manusia.
Baik sampah kering maupun sampah basah, dapat diolah menurut kegunaan masing-masing. Kalau sampah basah dapat diolah menjadi pupuk,” jelas Sulaiman, pembina pertanian.

Untuk pupuk yang satu ini, bahan yang diperlukan sampah segar atau basah, potongan tananman hijau, kotoran ternak. Bisa juga memakai sampah kering seperti serbuk gergaji, daun-daun kering, jerami kering, abu dapur dan sekam padi.

Pupuk organik yang terbuat dari sisa –sisa sayuran, kulit buah-buahan, sisa bahan dapur, potongan sisa makanan seperti daun-daunan, ranting, batang yang dimasukan ke tempat pembuatan agar membusuk.

Yayasan Lamjabat membina 23 kelompok pertanian organik, setiap kelompok rata-rata tujuh orang, semuanya laki-laki. Tujuh kelompok diantaranya sudah mandiri dan telah mengembangkan ilmunya pada masyarakat.

“Mereka sudah mahir dalam mengolah pupuk organik, kadang kala mereka membantu fasilitator dalam penyaluhan pupuk organik ke daerah-daerah lain,” tambah Sulaiman.

Petani Ujoeng Pancu, membudidayakan cabai, selada, semangka, kacang, serta sayuran. Dengan sistem pertanian organik, kini kotoran hewan, bukan lagi sampah.

“Ya selain murah, pupuk organik lebih sehat. Kalau kita mau olah, bahkan tanpa biaya,” jelas Dedy, petani palawija di pesisir pantai Ujong Pancu. “Untuk satu kali panen, tiap sore. Rata-rata Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu.” tambah Dedy.

Menurut Dedy, masyarakat sekarang lebih menyukai sayuran berpupuk organik; bebas racun. Sahrul, salah seorang pedagang sayuran di pasar Peunayong, sepakat dengan pernyataan Dedy. Sebagai pedagang, ia tahu benar yang mana sayur organik. “Liat saja akarnya lebih pendek, di belakang daunnya tidak putih-putih. Kalau bolong-bolong itu biasa, tandanya bebas kimia,” ujar langanan sayur Ujoeng Pancu ini.

Selain pupuk organik, warga juga diberi penyaluhan membuat anti hama dan penyakit tanpa bahan kimia. Sulaiman punya ramuan mujarab, untuk obat semprot biasanya campuran rempah-rempah seperti jahe, tembakau, kencur dan daun sersak.

Program cinta lingkungan yang diprakarsai Yayasan Lamjabat, bermula dari itikad memotivasi korban tsunami kembali mandiri. Ruang lingkup kerja awalnya di Kecamatan Meuraxa, yang terdiri dari 16 desa. Mulai beroperasi sejak akhir 2005.

Program sayang lingkungan, Yayasan Lamjabat mulai menunjukkan hasil. Tak hanya ekonomi warga meningkat, tapi juga fasilitator yang mulai naik daun. Sulaiman menjadi ‘pakar pertanian’ organik, acap kali diundang keluar kota untuk menurunkan ilmunya.

“Masyarakat tidak akan mengerti kalau dengan teori saja. Kita perlu tahap ke tahap dengan praktek sampai mampu dan bisa,” tambah Sulaiman.[]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU