Riko Anggara (tengah) bersama Tarmizi dan Suryani bertemu di RCTI, Mei 2008. | FOTO: Nurdin Hasan/Dok ACEHKINI

FOTO pose Rahmat Yani dan abangnya, Rizki, dipajang rapi di dinding rumah sederhana itu. Foto ini menjadi ajang melepas kangen ketika rindu membuncah. “Saya sering melihat-lihat foto ini kalau lagi rindu sama Rahmat,” kata Tarmizi Abdurrahman saat dijumpai di rumahnya di atas pebukitan Desa Neuheuen, pekan lalu.

Inilah satu-satunya foto yang menampilkan kenangan Rahmat, anak pasangan Tarmizi dan Suryani, yang menjadi korban keganasan tsunami, satu dekade lalu.

Tarmizi dan Suryani sama sekali belum bisa menghilangkan kenangan terhadap anaknya itu. Bahkan, mereka meyakini Rahmat masih hidup dan tinggal di suatu tempat, entah di mana.

“Lihatlah, aura Rahmat masih segar. Tidak seperti anak yang sudah meninggal,” ujar Tarmizi. “Berbeda dengan foto keponakan saya, yang memang sudah meninggal. Auranya sudah berbeda.”

***

Tarmizi dan Suryani kehilangan sang buah hati saat berusaha menyelamatkan diri dari gelombang smong yang mengganas, Ahad pagi 10 tahun silam.

Saat gempa 8,9 pada skala Richter menggoyang Aceh pagi Ahad, 26 Desember 2004, mereka masih di rumahnya di kawasan Dusun Mon Singet, Desa Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar.

Usai gempa, Tarmizi membawa dagangannya ke Pasar Aceh, sekitar 10 kilometer dari rumah. Rahmat, anak kedua pasangan ini, meminta ikut sang ayah. Namun permintaan itu ditolak Tarmizi. Dia meminta Rahmat menyusul dengan ibunya, Suryani.

Bersama Rahmat, Suryani menggendong Fitrah—saat itu berusia sembilan bulan—menyusul sang ayah dengan menumpang angkutan kota. Beranjak satu kilometer, ia dikejutkan gelombang warga berlarian dengan wajah ketakutan ke arah berlawanan. Ia masih bingung apa yang terjadi.

“Air laut naik,” Suryani heran mendengar teriakan warga. Jalanan berubah menjadi lautan manusia. Turun dari labi-labi, ia berlari menghindar air bah. Sial, bajunya tersangkut kawat. Berkali-kali dia berusaha menarik bajunya, tapi gagal. Rahmat, anaknya, telah di depan. Namun melihat ibu dan adiknya tersangkut, dia berusaha membantu menarik baju ibunya. Berhasil.

Bebas dari kawat duri, tak berarti Suryani terbebas dari ancaman air. Saat berlarian, Suryani kembali terjatuh—bersama bayi mungilnya. Lagi-lagi, Rahmat berusaha menolong ibu dan adik kecilnya. “Padahal, saya suruh Rahmat lari menyelamatkan diri. Tapi dia tidak mau dan membantu saya,” ujar perempuan kelahiran Singkil itu.

Entah bagaimana, Suryani terpisah dengan buah hatinya. Ia sendiri sempat digulung gelombang air laut yang murka. Setelah air surut, Suryani memutuskan mencari anak-anaknya. Tiga anaknya berhasil ditemukan. Tapi Rahmat, hilang.

Sehari setelah tsunami, Suryani dan Tarmizi kembali ke kampung. Berhari-hari mereka mencari jejak Rahmat. Semua jenazah yang dijumpainya diperhatikan seksama. Tak ada jasad kaku Rahmat. Malah, pencarian dilakukan sampai ke Sumatera Utara. Lelah mencari, mereka mengikhlaskan kepergian Rahmat, kendati tidak yakin tsunami telah merenggut anaknya.

Hari-hari dijalani pasangan ini mencoba berdamai dengan keadaan, bahwa anaknya sudah direnggut gelombang. Namun keadaan ini berubah ketika pada suatu hari di tahun 2008, Suryani secara tidak sengaja menonton pentas Idola Cilik di RCTI.

Mata Suryani terpacak memelototi layar televisi. Ia bukan sedang menikmati lagu yang didendangkan Riko Anggara, salah satu kontestan. Namun, perempuan 36 tahun ini tak lekang memperhatikan wajah Riko yang sedang mengolah vokal.

“Bang, itu anak kita,” serunya kepada sang suami.

Tarmizi pun ikut melihat Riko, yang diakui memang memiliki kemiripan dengan Rahmat, anak mereka. Para tetangga juga yakin bahwa itu adalah Rahmat. Sejak itu, Suryani dan Tarmizi memendam tekad untuk bertemu Riko.

Beragam cara ditempuh pasangan ini untuk bisa berjumpa dengan Riko Anggara. Ia berkunjung ke Pemancar RCTI di Mata Ie, hingga ke komunitas wartawan di Sekber, kawasan kota.

Akhirnya, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias memfasilitasi Tarmizi dan Suryani terbang ke Jakarta dan bertemu Riko. Mereka bertemu di studio RCTI di Kebon Jerok, Jakarta Barat, Mei 2008.

Begitu pertama kali melihat Riko, Suryani langsung berseru histeris: “Anakku,” sembari mendekap erat Riko Anggara. Bulir air mata seketika membahasahi Suryani.

“Kamu mirip sekali dengan anak saya,” ujarnya, sembari terus menciumi Riko. Suryani seakan tak mau berpisah dengan Riko yang mengaku asal Palembang, Sumatera Selatan.

Saat bertemu itu, Suryani dan Tarmizi mencari tanda-tanda Rahmat pada Riko. Mereka terkejut, karena tanda Rahmat ditemukan pada sejumlah tubuh Riko. Sebut saja misalnya, luka di atas kening, di paha, dan lutut.

Seketika, Tarmizi bertanya mengenai luka di atas kening Riko. “Kena kawat waktu jatuh dari sepeda,” jawab Riko.

Jawaban Riko membuat Tarmizi dan Suryani terhenyak.Tapi mereka berusaha menguasai diri. Tarmizi berusaha tersenyum. “Kok bisa sama ya. Rahmat juga punya bekas luka di atas kening,” kata dia.

Kesempatan ini benar-benar dipergunakan Tarmizi dan Suryani untuk menelisik kemiripan Rahmat dengan Riko. Tiga luka di tubuh Rahmat dimiliki Riko. Anehnya, luka-luka itu berada pada bagian tubuh yang sama, seperti luka di betis, paha, dan di atas kening. Hanya saja, tahi lalat yang ada di kepala Rahmat, tidak ditemukan pada diri Riko. “Tahi lalat di kepala anak saya kecil,” kata Suryani usai menyibak rambut lurus Riko.

Tiga bulan setelah pertemuan itu, Tarmizi, Suryani, dan Riko Anggara menjalani uji genetik (DNA). Hasilnya: Tarmizi dan Suryani bukan orangtua biologis Riko Anggara. Secara genetik mereka tidak sama.

***

Meski uji DNA jelas-jelas menyebutkan bahwa Riko bukan anak biologis mereka, namun Tarmizi tetap meyakini itu anak mereka. “Saya tetap yakin itu Rahmat, anak saya,” kata Tarmizi pekan lalu.

Keyakinan senada dikemukakan Suryani. Malah, Suryani masih menjalin komunikasi dengan Riko Anggara, yang saat ini sudah duduk di bangku kelas dua SMA.

Lebaran Idul Fitri lalu, Suryani dan Riko berhubungan via telepon seluler. Mereka saling bertukar kabar. “Saya tanya, Riko segede mana sudah,” kata Suryani. “Dia jawab, sudah sebesar ayah. Saya tanya lagi, ayah yang mana. Riko jawab, ayah yang di Aceh.”

Jawaban Riko tentu saja membuat Suryani bertambah yakin bahwa itu anaknya. “Saya dan Riko seperti memiliki kontak batin,” lanjut Tarmizi. “Saya mau kalau bisa tes DNA ulang.”

“Kapan ya, kami bisa berkumpul kembali dengan anak kami, seperti keluarga Ibu Jamaliah di Meulaboh,” Suryani menimpali. (Baca: Setelah 10 Tahun Terpisah]

Mata Suryani berkaca-kaca, menatap suaminya penuh harap. “Saya tidak yakin anak saya meninggal dalam tsunami. Apalagi setelah tsunami saya sempat mimpi bertemu dengan Rahmat. Dia bilang dibawa orang dan minta dijemput. Tapi saya tidak tahu di mana dia,” ujar Suryani. “Saya selalu berdoa, semoga suatu saat Allah kembali mempertemukan kami dan bisa kembali berkumpul bersama.”

***

Suryani dan Tarmizi merupakan salah satu keluarga yang masih mengharapkan sang buah hati selamat dari gelombang gergasi dan kembali bersama mereka. Dinas Sosial Aceh bersama Unicef mencatat, terdapat 2.850 anak terpisah dari orangtua mereka. Dari jumlah itu, 1.517 yang berhasil direunifikasi.

Psikolog Aceh Nur Janah Nitura menyebutkan, orangtua yang masih berharap sang buah hati kembali dikarenakan tidak bisa melalui fase penolakan yang ada pada diri mereka.

“Mereka akan mengalami fase penolakan, bahwa orang yang dicintainya tidak hilang. Fase penolakan ini relatif memang, bisa sebulan, berbulan-bulan, dan bahkan bertahun-tahun,” kata Nur Janah. “Apalagi sudah tes DNA. Itu berarti dia belum bisa menerima.” []

RADZIE (@efmg)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.