Thursday, April 25, 2024
spot_img

PENDAPAT
Kartini dan Tengkulak Nasionalisme

Biasanya pemerintah cenderung mempahlawankan tentara atau laskar seperti Diponegoro, Hasanuddin, Imam Bonjol, Pattimura, Sudirman, atau Bung Tomo. Lantas mengapa giliran perempuan, yang muncul adalah sastrawan Jawa dan bukan Cut Nyak Dien atau Christina Martha Tiahahu?

RADEN Ajeng Kartini di Jepara jangan-jangan tak mengenal Cut Nyak Dien sebaik dia mengenal Booij-Boissevain, Van Zeggelen, atau Estelle Zeehandellar; sahabat pena tempatnya bercerita tentang diskriminasi yang dialami perempuan Jawa.

Andaipun Kartini berkirim surat kepada Cut Nyak Dien, pastilah sulit berbalas. Sebab, saat putri ningrat ini baru menikmati dihapusnya tradisi pingit (1900) atas perintah Ratu Wilhemina, Cut Nyak Dien sudah menggantikan Teuku Umar, suaminya, memimpin gerilya di belantara Aceh. Dia bahkan sudah dua kali menjanda, jauh sebelum Kartini dipaksa kawin dengan Bupati Rembang.

Entah apa yang membuat Kartini tak menulis surat ke perempuan-perempuan pejuang di tanah air seperti halnya kepada nonik-nonik Belanda terdidik. Padahal, Pati Unus yang sama-sama asal Jepara pernah bertempur bersama kerajaan nusantara lain, menghadang Portugis di Malaka (1513).

Tapi sejarah Indonesia terlanjur mencatat surat-surat Kartini sebagai tonggak perjuangan emansipasi perempuan. Sejarah yang dibuat Jakarta, sepertinya enggan menoleh terlalu ke belakang, saat Laksamana Malahayati memimpin 2.000 pasukan Inong Balee mengacaukan barisan Frederic Houtman pada 1599 di pesisir Banda Aceh. Peristiwa ini terjadi 300 tahun sebelum Kartini berkeluh kesah tentang tertindasnya perempuan di Jawa.

Lalu di masa Indonesia ‘modern’ tahun 1999, (lagi-lagi di Jawa) orang meributkan boleh tidaknya seorang perempuan menjadi presiden, hanya karena ingin mengganjal Megawati Soekarnoputri. Sementara di Aceh abad ke-17, Sri Ratu Safiatuddin sudah memerintah disusul Ratu Naqiatuddin Nur Alam, Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah, dan Sri Ratu Kamalat Syah.

Itu belum termasuk 16 perempuan dari 73 orang yang duduk di Majelis Mahkamah Rakyat (parlemen) antara tahun 1641-1675, jauh sebelum para aktivis LSM di Jakarta menuntut kuota 30 persen keterwakilan perempuan di DPR dengan rujukan gerakan emansipasi yang ‘diimpor’ dan bukannya dari ‘produk lokal’.

Pemunculan ikon Kartini dan kampanye emansipasi di awal abad ke-20 sejatinya adalah buah dari strategi politik penyelamatan muka pemerintah Belanda kepada dunia internasional. Belanda yang sudah ratusan tahun mengkoloni nusantara, tak kunjung melahirkan perubahan dan modernitas.

Bandingkan dengan Inggris yang juga menjajah India namun sudah melahirkan tokoh-tokoh perempuan lokal seperti Pandita Ramabai yang go internasional. Maka selamatlah wajah politik kolonial Inggris dari tudingan penghisapan dan pembodohan negeri jajahan. Sementara reputasi Belanda di Indonesia hanya sebatas tengkulak pala, lada, kopi, dan gula.

Dan tak ketinggalan: budaya pergundikan atau nyai.

Karena itu tak heran jika JH Abendanon, mantan Direktur Departemen Pengajaran dari kubu liberal di Nederland, berinisiatif menerbitkan surat-surat Kartini pada 1911 dalam sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht, yang diterjemahkan secara literal menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Ikon Kartini lalu dirangkai dengan kebijakan Politik Etis (balas budi) dari Nederland kepada jajahannya, Hindia Belanda.

Tentu saja Kartini yang bergerak di bidang sastra, bukan pepesan kosong. Meski tak melakukan gerakan ‘konkret’ seperti Dewi Sartika yang membuka sekolah rakyat di Jawa Barat, pemikiran Kartini telah menjadi inspirasi gerakan perempuan di zamannya, hingga momentum Kongres Perempuan I, 22 Desember 1928. Dari situlah tanggal Hari Ibu ditetapkan, bukan adopsi dari perayaan Mother’s Day hasil impor.

Yang patut disayangkan, mengapa pemerintah hanya menggembar-gemborkan Hari Kartini setiap tanggal 21 April yang notabene diambil dari tanggal lahir satu tokoh pahlawan saja. Departemen Pendidikan dan para menterinya di masa Orde Baru tentu harus menjelaskan sebelum orang berpikir bahwa ini cuma politik Jawa-centris –atau orang sudah berpikir demikian?— di masa Soeharto berkuasa.

Politik yang memodifikasi strategi kolonial Belanda di awal abad 20.

Padahal, biasanya pemerintah cenderung mempahlawankan mereka yang berjuang secara fisik, seperti Diponegoro, Hasanuddin, Imam Bonjol, Pattimura, Sudirman, Oerip Soemohardjo, atau Bung Tomo, dibandingkan misalnya Tirto Adhi Suryo (perintis pers).

Lantas mengapa ikon untuk pahlawan perempuan bukan laskar juga seperti Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, atau Christina Martha Tiahahu?

Mengapa saat menyebut pahlawan perempuan, justru yang dimajukan adalah seorang sastrawan. Bukan seorang petarung di mandala.

Institusi TNI sendiri tak pernah memberi nama Kodam-Kodam-nya dengan nama pahlawan perempuan, betapapun heroisme mereka mengalahkan kaum pria di masanya.

Alam berpikir patriarki tanpa kita sadar tumbuh membiak dalam benak kita.

Nasionalisme & Militerisme
Hal itu biasanya terjadi karena kita sering merancukan antara nasionalisme, patriotisme, dan kemiliteran. Tafsir atas nasionalisme selama Orde Baru memang dimonopoli militer dan diarahkan ke simbol-simbol aktivitas militer.

Rezim Soeharto, misalnya, tetap dianggap nasionalis karena menumpas separatisme di Aceh, Papua, dan Timor Timur demi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), meski memberikan banyak sumur minyak dan konsesi pertambangan kepada perusahaan-perusahaan asing.

Begitu juga dengan pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang ‘teruji’ ke-NKRI-annya karena memberlakukan Darurat Militer di Aceh untuk menumpas GAM, meski di saat yang sama, pemerintahannya melego Indosat, LNG Tangguh, atau mengekspor gas Arun ke luar negeri, di saat industri dalam negeri sedang kesulitan pasokan.

Nasionalisme Indonesia memang penuh paradoks. Dalam aspek sejarah saja, pemerintah menyembunyikan fakta bahwa sepanjang masa penjajahan, banyak anak bangsa yang justru mendukung Belanda. Di dinding Kerkhof di Kota Banda Aceh, tertulis 2.200 nama serdadu Belanda yang tewas di medan laga. Tapi bila diperhatikan secara seksama, nama-nama itu tak hanya milik orang-orang bermata biru dan berambut jagung, seperti Wiederholt atau Wetering. Tapi juga nama-nama Jawa seperti Soewadi, Raden Nembi, Kartopawiso, atau Lalawi.

Tentara KNIL (het Koninklijke Nederlandsche Indische Leger) yang dibawa Mayjen Kohler dari Batavia ke Aceh pada 1873 sejatinya memang terdiri atas orang-orang Jawa, Maluku, dan Sunda. Tapi di buku-buku pelajaran sekolah versi Depdibud atau Depdiknas, tak ada penerbit yang menyebut bahwa 82 persen tentara KNIL adalah bangsa kita sendiri yang sebagian besar bergabung karena motivasi ekonomi.

Demikian juga halnya dengan Divisi Marsosse (Marechaussee) yang terkenal kejam. Tak ada kurikulum pemerintah yang mengajarkan kepada murid SD bahwa gagasan pembentukan Marsose justru dari seorang pribumi bernama Muhammad Arif, putra Minang berprofesi jaksa yang bertugas di Aceh.

Kejujuran memang menyakitkan dan memalukan. Apalagi bila generasi muda kita tahu bahwa pada tahun 1929, serdadu KNIL yang mencapai 37.000 orang itu ternyata 45 persennya adalah orang Jawa. Disusul orang Belanda sendiri (18 persen), lalu Manado (15 persen) dan orang Ambon (12 persen).

Ketika untuk pertamakalinya KNIL dikirim ke Aceh pada 1873, Kohler membawa 15.100 prajurit pribumi, sedangkan prajurit Eropa hanya 11.500.

Itu semua tak ada di kurikulum sejarah versi pemerintah.

Namun bila ada buku pelajaran sejarah yang tak mencantumkan PKI sebagai dalang peristiwa 65, maka Kejaksaan Agung melarangnya, atau masyarakat dari kelompok tetentu, membakarnya.

Orang Indonesia sepertinya lebih malu disebut komunis, daripada disebut antek kolonial. Padahal, manuver kaum komunis, terjadi hanya dua kali saja: 1948 dan 1965. Dan mereka sudah membayarnya dengan mahal, termasuk anak cucu yang tak berdosa. Sementara Belanda telah membuat kesengsaraan selama 350 tahun dari Merauke hingga Sabang. Tapi tak ada keturunan KNIL yang KTP-nya diberi tanda: EK (eks KNIL).

Mantan KNIL bahkan menjadi presiden kita selama 32 tahun.

Premis-premis di atas tentu hanya simplikasi dari kompleksnya realitas dan provokasi logika berpikir belaka. Tapi dari permainan logika diaduk fakta ini, kita bisa bercermin bahwa bangsa ini memang tidak konsisten dan kerap memperdagangkan jargon-jargon nasionalisme.

Padahal, di Jakarta sendiri nasionalisme sudah lama bangkrut dan tinggal jadi komoditi politik belaka.

Sejak menjadi presiden pada 1967, hingga turun tahta pada Mei 1998, sudah 30 kali Soeharto memimpin upacara kenegaraan 17 Agustus. Tapi setelah lengser, upacara 17 Agustus 1998 pun tak dihadirinya. Padahal, Sekretaris Negara selalu mengundang mantan presiden dan keluarganya.

Begitu pula dengan Presiden Gus Dur. Setelah turun tahta, Juli 2001, alih-alih datang ke Istana, pada 17 Agustus tahun itu, Gus Dur malah menggelar upacara tandingan di kediamannya di Ciganjur dan di sanalah lagu Garuda Pancasila dipelesetkan. Padahal, aktivis KontraS, Ori Rahman, pernah digebuki anggota Pemuda Panca Marga karena dianggap gagal ‘tes nasionalisme’ gara-gara tak hafal lagu Indonesia Raya.

BJ Habibie juga sama saja. Alih-alih ikut upacara 17 Agustus di jajaran bangku bekas presiden, sejak dipecat MPR pada 1999, dia bahkan tak tinggal di negaranya sendiri dan memilih hidup di Eropa dengan berbagai alasan.

Megawati juga setali tiga uang. Barangkali karena yang menjadi inspektur upacara (presiden) adalah bekas anak buahnya, ketua umum partai nasionalis itu tak pernah sekali pun menghadiri upacara 17 Agustus, baik tahun 2005, 2007, 2008, dan hampir pasti 2009 (kecuali barangkali menang pilpres).

Kita akan lihat, apakah setelah tak menjabat menjadi presiden, Susilo Bambang Yudhoyono masih akan ikut upacara 17 Agustus dan duduk di bangku undangan.

Tentu jawaban para bekas presiden dan pendukungnya bisa seperti ini: “Ah, nasionalisme kan tidak hanya diukur dari upacara bendera saja.”

Di masa pemberlakuan Darurat Militer di Aceh (2003-2005), orang bisa celaka hanya gara-gara tidak ikut upacara bendera karena dianggap tidak “merah-putih”. Harga yang mahal harus mereka bayar untuk merayakan ‘nasionalisme’ simbol ala Jakarta ini.

Ada juga calon presiden yang menolak hasil amandemen UUD 1945 dengan alasan nasionalisme, sementara ketika konstitusi itu sedang dibahas antara 1999-2004, dia sedang sibuk berbisnis dan hidup di Timur Tengah (mungkin karena khawatir terimbas gerakan reformasi yang menuntut agar kasus HAM masa lalunya diusut). Kini dia kembali dan banyak menjejali publik dengan iklan kemandirian bangsa dan sentimen anti-asing.

Belajar dari catatan-catatan di atas, pemilih dalam pilpres nanti agaknya perlu jeli terhadap barang dagangan para tengkulak nasionalisme, yang hanya menjadikan gagasan luhur itu sebagai komoditi politik untuk meraih suara, sembari mendiskreditkan pihak lain dengan stigma sektarianisme.

Nasionalisme bukan monopoli jenderal (apalagi pensiunan) atau politisi sipil. Dan bukan pula monopoli jenis kelamin tertentu.

Selamat Hari Kartini (bagi yang merayakan). []

* Penulis mantan Pemimpin Redaksi acehkita.com.

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU