Pertarungan Parnas dan Parlok [3]

KAMARUDDIN Abubakar, Ketua Komite Pemenangan PA, mengaku tak ada perintah dari pimpinan partai bentuk mantan kombatan GAM itu untuk melakukan kekerasan. Dia mempersilakan polisi mengusut tuntas semua kasus kekerasan di Aceh.

“Selama ini jika terjadi kekerasan di Aceh selalu dituding kader PA atau mantan GAM padahal kami juga menjadi korban kekerasan. Seperti penembakan di Bireuen Senin malam, dua orang kader PA menjadi korban,” katanya saat diwawancara, Rabu petang.

“Kami meminta polisi memproses hukum siapapun yang melakukan kekerasan. Kalau ada kader PA terlibat, silakan tangkap dan proses sesuai hukum yang berlaku.”

Kamaruddin yang sering disapa Abu Razak menyebutkan, PA menargetkan 60 persen suara pemilih dengan perolehan 52 kursi DPRA. Wakil Ketua Dewan Pimpinan Aceh PA itu mengaku optimis akan mencapai target karena struktur partai bekerja hingga ke pelosok desa.

Terkait dua partai lokal yang bertarung, Abu Razak tidak memperhitungkan karena PNA dan PDA tak punya basis hingga ke pedesaan. Malah, kata dia, wilayah tengah Aceh yang sebelumnya kurang pendukung, masyarakat setempat kini mulai memberi dukungan kepada PA karena partai itu terbuka untuk seluruh etnis di Aceh.

“Memang benar PNA juga dibentuk oleh mantan kombatan GAM, tetapi mereka tak punya gigi. Mereka boleh mengklaim punya 14 mantan panglima (wilayah) GAM, tapi tidak ada pasukan. Mereka tak didukung anak buahnya karena kebanyakan mantan kombatan GAM tetap setia pada PA,” katanya, seraya menambahkan saingan terberat PA adalah Partai Golkar.

Saifuddin Bantasyam menilai target PA cukup masuk akal karena basis kekuatan Parlok itu masih cukup solid dan terstruktur, terutama di kawasan pantai timur dan utara Aceh, yang merupakan basis utama GAM ketika Aceh masih didera konflik, serta sebagian pantai barat selatan.

“Saya yakin PA akan tetap dominan dan menang mayoritas. Parnas tak cukup punya daya dan kemampuan melawan PA yang punya struktur hingga ke desa, sementara Parnas hanya ada di level kabupaten dan terlambat melakukan komunikasi dengan masyarakat,” katanya.

“Parnas terlalu lama membiarkan PA berada di tengah masyarakat. Malah beberapa isu yang mencuat di Aceh (dalam setahun terakhir), Parnas yang punya kursi di DPRA memilih diam. Saya pikir sikap diam partai nasional adalah strategi politik yang keliru.”

Namun bukan berarti Parnas tak mendapat kursi DPRA. Partai-partai “besar” seperti Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tetap akan meraih kursi DPRA, tapi jumlahnya tak signifikan. Partai NasDem selaku pendatang baru kemungkinan besar juga akan memperoleh kursi DPRA.

Saifuddin meyakini Partai Golkar kemungkinan besar akan mendapat posisi kedua. Meski tidak melakukan kampanye terbuka, tapi para caleg Golkar untuk DPRA telah bekerja dan berada di tengah masyarakat sejak beberapa bulan lalu. Yang agak aneh adalah Partai Demokrat seperti kehilangan roh padahal partai besutan Presiden SBY itu pemenang kedua di Aceh dalam pemilu 2009.

Ghufran Zainal Abidin, Ketua PKS Aceh menyatakan, mereka menargetkan tiga besar dengan perolehan 16 kursi DPRA. Dia mengaku PKS memiliki basis di perkotaan dan telah bekerja di tengah masyarakat sejak lama. Selain itu, PKS Aceh juga mulai masuk ke kalangan petani, nelayan dan buruh.

Terkait kekerasan, Ghufran mengaku tidak ada laporan kader PKS diintimidasi karena mereka menggalang dukungan secara santun dan menjalin hubungan dengan semua pihak. Begitupun, katanya, PKS Aceh sangat menyayangkan kekerasan terjadi jelang pemilu.

Sejumlah pimpinan Parnas yang dihubungi memilih tidak mengangkat telepon. Ketua Golkar Aceh, Sulaiman Abda sempat mengangkat telepon. Setelah berbicara sejenak, dia menutup sambungan telepon dengan alasan sedang ada rapat dan berjanji akan menghubungi kembali. Tetapi, ketika beberapa jam kemudian dihubungi, dia tidak menjawab telepon. SMS yang dikirim juga tak dibalasnya. Telepon seluler Ketua PAN Aceh, Anwar Ahmad, yang dihubungi nada sambungnya sibuk.

Sekretaris Jenderal PDA, Khaidir Rizal menyebutkan, pihaknya menargetkan 10 kursi DPRA karena partai lokal ini memiliki basis dari kalangan santri pesantren tradisional.

“Saya yakin PDA banyak yang pilih karena ini faksi ulama, tetapi bisa jadi suara hilang karena ada intimidasi,” katanya, yang menambahkan pihaknya akan berusaha sekuat tenaga mengawal proses penghitungan.

Menurut Khaidir, kader-kader PDA dapat menjalin komunikasi dengan semua lapisan masyarakat karena latar belakang mereka sebagai santri. “Bukan berarti kader kami tidak diancam. Ancaman dan intimidasi tetap ada, tetapi belum sampai menjurus ke fisik,” katanya.

Saifuddin memprediksikan PDA akan stagnan karena kurang tersosialisasi di masyarakat. Padahal, PDA punya basis dari kalangan santri dayah. PDA mungkin akan mendapat dua atau tiga kursi DPRA karena pemilih dari kalangan santri melihat ketokohan caleg berlatar belakang ulama.

Terkait PNA, Saifuddin, menilai Parlok itu masih harus berjuang keras untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Apalagi partai yang dibentuk mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bersama tim suksesnya dalam Pilkada 2012 lalu setelah kalah meraih kemenangan untuk periode kedua, dari segi logistik lemah dan belum solid secara internal.

“Masyarakat masih bertanya-tanya ada apa dengan bekas kombatan GAM sehingga harus ada dua partai lokal yang mereka bentuk. Kalau sampai terpikir hanya untuk mendapat kursi dewan dan tak terakomudir dalam struktur PA, tentu ini sangat merugikan PNA,” katanya.

Namun demikian, PNA diyakini akan mendapat kursi DPRA karena ketokohan Irwandi masih ada. Tapi, kursi PNA tidak begitu signifikan untuk mengimbangi dominasi PA. Apalagi Irwandi tak gencar melakukan pendekatan ke masyarakat setelah partai itu dibentuk pada 2012.

Irwansyah, Ketua Umum PNA, mengaku pihaknya tak menetapkan target perolehan kursi parlemen karena “kalau sudah memasang target, maka partai itu akan bekerja menghalalkan segala cara untuk mencapai target, tanpa peduli jika tindakan mereka melanggar hukum atau tidak.” Ia mempersilakan rakyat Aceh untuk memilih sesuai keinginan mereka.

“Kami berharap aparat keamanan agar lebih tegas lagi dan meningkatkan kinerjanya untuk mempersempit ruang gerak kelompok preman politik yang bergentayangan di Aceh karena ancaman tembak, intimidasi dan teror masih terus terjadi,” kata bekas jurubicara GAM wilayah Aceh Rayeuk, yang dikenal dengan sapaan Mukhsalmina.

“Saya sendiri beberapa kali diancam melalui SMS. Tetapi, saya tantang balik di mana kalian tunggu, saya siap datang. Ketika ditantang begitu, mereka tidak berani datang untuk bertemu langsung.”

Bagi Irwansyah, Taufik, Muslim, dan Khaidir maju sebagai caleg DPRA adalah pilihan untuk meningkatkan pengawasan kinerja Pemerintah Aceh dan sekaligus penyeimbang di parlemen dari dominasi PA. Mereka mengaku siap tidak terpilih, tapi berharap proses demokrasi di Aceh tidak mesti harus selalu diwarnai kekerasan. [tamat]

Baca Juga:
Pertarungan Parnas dan Parlok [1]
Pertarungan Parnas dan Parlok [2]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.