Wednesday, April 17, 2024
spot_img

“Punk’s Not Dead…!” [1]

WAJAHNYA tertunduk di antara barisan remaja berpakaian polisi di Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar. Baju berwarna coklat yang dikenakannya, terbilang longgar untuk ukuran tubuh mungilnya. Begitu pula dengan celana coklat pekat. Topi rimba yang dikenakan seolah menenggelamkan kepalanya.

Chaideer Mahyuddin/ACEHKITA.COM
Aris Munandar nama remaja itu. Usianya baru 15 tahun. Masih kelas satu di sebuah SMA di Medan, Sumatera Utara. Di barisan itu, remaja yang lebih senang disapa Ayi terlihat paling muda. Tubuhnya juga paling mungil. Makanya, seragam polisi yang dikenakan agak kebesaran di tubuhnya. Dia tak banyak omong. Jika ditanya, hanya menjawab singkat.

Remaja tanggung ini “masuk” SPN Seulawah bukan lantaran sedang mengikuti pelatihan untuk menjadi seorang anggota Polisi Republik Indonesia (Polri). Sejak Selasa (13/12) lalu, Ayi “dipaksa menetap” di sini selama sepuluh hari, setelah polisi menangkap 65 anak punk saat menggelar konser musik di Banda Aceh, Sabtu malam pekan silam. Ayi termasuk seorang di antara anak punk yang “terjaring”.

Gara-gara “dihukum” menjalani pembinaan di SPN, Ayi tak bisa bersekolah. Sudah sepekan, dia meninggalkan bangku sekolah setelah memutuskan untuk memenuhi undangan komunitas punk Aceh dalam acara penggalangan dana buat panti asuhan dan anak yatim melalui konser musik. Ya, malam itu, saat ditangkap, Ayi dan teman-temannya tengah berada di konser musik rock bertajuk “Aceh for Punk” di Taman Budaya, Banda Aceh.

Ayi bersama 64 punkers lain sempat mendekam di balik jeruji besi Markas Polisi Resort Kota (Mapolresta) Banda Aceh. Di sana, mereka ditempatkan dalam bui-bui kecil, berdesak-desakan. Baru pada Selasa (13/12), mereka diboyong ke SPN Seulawah, 62 kilometer arah timur Kota Banda Aceh.

Berada di sekolah polisi, perasaan Ayi campur-aduk. “Antara senang dan sedih,” katanya saat dijumpai siang itu, di antara barisan berseragam coklat. “Senang karena ada ilmu. Sedih karena saya tidak bisa bersekolah.”

Sebenarnya, Ayi datang ke Banda Aceh telah mendapat izin dari orangtuanya di Medan. Tetapi sejak ditangkap, dia tak bisa berkirim kabar kepada orangtuanya. Inilah yang membuat Ayi makin sedih. Apalagi, sejak alat komunikasi miliknya disita polisi (untuk sementara waktu).

“Saya tidak tahu bagaimana reaksi orangtua kalau tahu saya dibawa ke sini,” kata Ayi. Raut wajahnya seperti menyimpan kegelisahan mendalam. “Saya mau menghubungi orangtua, tapi bagaimana caranya?”

Selama berada di sekolah untuk mencetak polisi, Ayi mengaku mendapat ilmu baris-berbaris dan tatakrama. Saban hari mereka diwajibkan mengikuti “pendidikan” instan mengenai dua hal ini. Inilah yang membuat Ayi merasa senang berada di sini.

Namun, selepas 10 hari “menimba” ilmu di SPN tak lantas membuat Ayi melupakan jalur kehidupan yang diambil sebelum ditangkap polisi. Dia tetap akan menjadi seorang punker.

“Saya senang menjadi punker,” ujar remaja ini. “Jadi saya tetap seorang punker.”

Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, yang selama ini sering ikut operasi razia terhadap pelanggar syariat Islam, menyebutkan keberadaan komunitas punk telah “meresahkan masyarakat.” Dia juga mengaku pihaknya akan terus memburu sisa-sisa anak punk yang berhasil lolos saat penyergapan Sabtu (10/12) malam lalu.

Chaideer Mahyuddin/ACEHKITA.COM
“Keberadaan komunitas punk telah sangat meresahkan dan mengganggu kehidupan masyarakat Banda Aceh,” katanya. “Ini adalah penyakit sosial baru di Banda Aceh. Jika terus dibiarkan, pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih banyak lagi untuk menangani mereka.”

Menurut politisi Partai Persatuan Pembangunan itu, tempat-tempat publik di Banda Aceh seperti Taman Sari, Museum Tsunami dan lokasi lain yang sering dijadikan tempat kumpul-kumpul komunitas punk menjadi jorok karena “anak-anak remaja tersebut tak mandi berhari-hari dan pakaian mereka kumal.”

“Moral mereka juga hancur. Laki-laki dan perempuan bergabung bersama dan itu bertentangan dengan syariat Islam,” tutur Illiza, yang juga ikut dalam operasi penangkapan anak-anak punk saat menggelar konser musik di Taman Budaya.

Selain komunitas punk tidak diterima Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh, menurut Illiza, alasan penggerebekan konser musik itu karena panitia konser memanipulasi izin. Dalam surat yang diajukan ke Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), disebutkan bahwa penyelenggara kegiatan berasal Komunitas Anak Aceh.

Ketika digerebek, kata Illiza, polisi menemukan ganja kering dan minuman keras. “Kasian anak-anak kita hancur moralnya. Makanya, kita tidak boleh membiarkan komunitas punk tumbuh di Banda Aceh,” katanya. “Masyarakat Banda Aceh sangat mendukung langkah yang kita lakukan untuk membina anak punk di SPN Seulawah.”

Illiza menambahkan, pihaknya terus melancarkan razia untuk memburu anak punk yang berkeliaran di ibukota Banda Aceh. Selanjutnya, dibina di SPN Seulawah. Jumlah mereka diperkirakan mencapai 200 orang.

“Kita tetap lakukan razia. Kalau ada yang tertangkap akan dibawa ke SPN, karena dengan pembinaan di sana diharapkan mereka bisa berubah,” katanya.

Illiza mengaku waktu 10 hari tak cukup untuk membina anak punk. Tapi, untuk tahap pertama anak punk dari luar Aceh dibina 10 tahun dan setelah itu akan dikembalikan ke daerahnya masing-masing.

“Bergabung dengan komunitas punk jelas-jelas merusak mental dan akhlak mereka. Selain itu, juga tidak sesuai dengan syariat Islam yang diberlakukan di Aceh,” katanya.

“Aceh ini, daerah syariat. Jadi, siapa pun harus ikut aturan yang berlaku di Aceh. Komunitas punk melanggar syariat Islam.” [Bersambung…]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU