Saturday, April 20, 2024
spot_img

ESAI | Saya Azhari, Saya Punker: Apa Ada Masalah Besar?

PENGANTAR REDAKSI — Tulisan ini ditulis pada 13 Februari 2011, kala Pemerintah Kota dan Wilayatul Hisbah menangkap dan mencukur rambut punkers di Banda Aceh. Redaksi menurunkan kembali tulisan yang dipublikasikan Azhari di note Facebooknya. Selamat membaca!

HALO para Tukang Garuk! Saya Azhari Aiyub, dan saya seorang punker! Apa ada masalah dengan pilihan politik saya? Tampaknya iya, karena kalian para politisi telah menggaruk orang-orang punk yang ada di kota Banda Aceh. Saya telah menjadi punker sejak sebelum Jenderal Soeharto jatuh. Saya tidak memiliki catatan pernah melakukan tindak kriminal; saya memusuhi pengguna narkoba dan pedofilia; membenci korupsi layaknya seorang politisi membenci pesaing politiknya; membayar pajak setiap tahun; dan kadang-kadang saya berderma.
 
Agar tidak salah paham, perlu saya perjelas, punk adalah sebuah ideologi politik. Dalam hal ini, punkers tidak ada beda dengan para pemuja aliran sosial-demokrat, sama halnya dengan fanatikus liberal sayap kanan, ataupun para anarkis yang terpengaruh ide-ide Mikhail Bakunin (tentu sejauh para anarkis ini tidak merampok bank atau menyerang kantor polisi maka mereka tidak perlu ditangkap), serta orang-orang yang menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai afiliasi politik mereka.
 
Kalian telah menangkap orang-orang punk di jalan, dan itu melanggar konstitusi di dalam sebuah negara yang melindungi hak-hak warga negaranya. Mestinya dalam menangkap seorang atau sekelompok warga negara kalian membutuhkan lebih daripada selembar kertas dan itu haruslah mengandung penjelasan kenapa seseorang ditangkap dan atas kejahatan apa mereka diduga bersalah. Kaum politisi yang hina, bertahun-tahun lalu, kalian telah membuat sebuah Undang-Undang yang memberikan hak atas kalian untuk menangkap lembu-lembu yang berkeliaran di dalam kota. Tapi, bahkan terhadap binatang sekalipun, kalian tetap membutuhkan selembar surat penangkapan. Orang-orang yang kalian tangkap dan cukur rambutnya itu, mungkin mereka tidak berdaya. Tapi saya merupakan dari jenis punker yang sangat berbisa dan berbahaya, terutama terhadap politisi yang panik melihat rambut mohawk dan jaket berduri, sementara pada saat yang sama membiarkan para pencuri uang rakyat berkeliaran di jalanan!
 
Baiklah ini adalah saat yang tepat untuk menjelaskan kepada kalian, bahwa  punkers mempunyai kesadaran politik sebagaimana layaknya kaum politisi. Bagaimanpun kesadaran politik ini membuat kita hampir sama sebagai manusia, sekaligus kesadaran ini pula yang membuat kita berbeda dalam banyak hal, terutama menyangkut definisi tentang moralitas.
 
Hasrat kaum politisi untuk mengurus moralitas warga bukanlah tema baru. Ide seperti ini telah muncul sejak pertama sekali gagasan tentang demokrasi diperkenalkan pada zaman Yunani kuno. Perlu sedikit menyinggung tentang demokrasi, sistem politik yang membosankan tersebut, sebab model itulah yang dianut para politisi sekuler yang menggaruk orang-orang punk di Banda Aceh. Namun demikian, sistem politik yang telah melahirkan parlemen dan partai politik ini, tidak pernah dapat mempertahankan gagasannya untuk membina moralitas warganya. Apabila keinginan seperti itu masih ada, maka untuk ukuran zaman sekarang, hal itu tampak seperti ambisi yang menyedihkan. Kecuali, para politisi yang menggaruk orang-orang punk, menyerahkan kekuasaannya kepada kaum teolog.  Kebajikan menyerahkan kekuasaan hampir tidak pernah dikenal dalam tempurung politisi sekuler, sebaliknya yang sering kita lihat adalah memperalat para teolog untuk mencuci kekotoran yang pernah atau sedang kalian lakukan.  Jadi, kalian, kaum politisi yang hina, bukanlah pihak yang tepat untuk tugas yang suci ini.
 
Tentu kita dapat berdebat tentang perlu atau tidaknya sebuah kekuasaan politik sekuler mengarahkan moralitas warganya sesuai cita-cita, katakanlah, seperti yang diinginkan oleh nilai-nilai agama. Tetapi sebelum kita mencapai pembicaraan sejauh itu, kalian, kaum politisi, telah mengawalinya dengan sejumlah kekotoran, yang mencederai azas moralitas itu sendiri.
 
Dalam mencapai dan kemudian mempertahankan kekuasaan kalian para politisi hampir tidak bisa disebut bersih. Kalian tidak perlu mengingkari suatu kenyataan pahit (sekaligus menjadi penyakit di dalam tata pemerintahan  yang bersih) bahwa untuk menduduki posisi pemuncak di dalam sebuah sistem politik di Indonesia tidak semudah memungut sampah di jalanan seperti yang biasa kami, punkers, lakukan sehari-hari dengan penuh kesadaran, kalian setidaknya membutuhkan biaya politik  yang sangat besar.  Tidak ada urusan dengan uang kalian yang banyak serta bagaimana cara kalian mengeruknya. Tapi tidak mesti menjadi orang yang terlalu cerdas untuk mengetahui politik uang seperti apa yang berlangsung di dalam sistem pemerintahan Indonesia yang membusuk.
 
TIDAK cukup hanya itu, untuk mencapai tujuan tersebut kalian kaum politisi lazim meniru cara memangsa antar sesama jenis kalian yang tidak  akan menimbulkan rasa mual apabila diucapkan dari sudut pandang ilmu zoologi.  Ini adalah waktunya untuk menyebut kembali sebuah ungkapan kuno: Politik itu tidak bermoral, sebab yang ada hanyalah moral politik. Moral politik adalah kecurangan tiada tara antara lain untuk menyingkirkan musuh-musuh politik atau mempertahankan kekuasaan, dan kalian, kaum politisi yang hina, sedapat mungkin melakukan ketrampilan tersebut agar tidak mendekati skandal. Tapi kalian tidak pernah bisa menutupi skandal-skandal busuk kalian. Kalian adalah pihak di balik penggelapan pajak, kejahatan perbankan, pembunuhan-pembunuhan atas lawan-lawan politik kalian, membiarkan bayi-bayi atau kanak-kanak mati sebelum waktunya karena dimangsa gizi buruk, mengatur keputusan akhir yang jahat di dalam banyak pengadilan, dan seterusnya.  Jadi lupakan bahwa kekuasaan politik sekuler yang kalian anut itu dapat mengurus moralitas warga negara. Dengan kata lain, orang yang paling dungu pun tahu mustahil menyerahkan urusan kebersihan kandang ayam mereka kepada segerombol rubah yang lapar. 
 
Sementara itu, kami, kaum punk sedunia, berdiri di atas reruntuhan moralitas yang kalian, kaum politisi, ciptakan. Kalian, kaum politisi yang hina, telah membuat dunia ini demikian kotor. Dari kekotoran itulah, seperti mikroorganisme, seperti kuman, kami lahir hampir tiga dekade yang lalu dan kemudian menyebar ke seluruh dunia. Di mana kalian ciptakan kekotoran, di situlah kami menumpang hidup di dalam selimut keculasan yang kalian tenun. Lantas, kalian ingin membunuh punkers, anak haram yang lahir akibat dosa-dosa politik kalian? Tidak semudah yang kalian bayangkan tentu saja. Seperti jentik penyebab wabah demam berdarah, kami tidaklah mudah untuk dihancurkan. Kecuali oleh satu syarat, kalian pertama-tama harus bersih terlebih dahulu, maka kami pun dengan sendirinya akan lenyap. Tapi, kaum politisi yang hina, untuk menjadi bersih tidak mudah bukan? Jadi, bila demikian kenyataannya, kenapa kita tidak bisa berbagi untuk hidup di sela-sela kian luasnya ruang-ruang kotor di dunia ini, di Banda Aceh yang jorok ini? Kami tetap akan hidup di tanggul-tanggul yang berbau bacin, sementara kalian di dalam kekotoran parlemen, dan kebusukan birokrasi negara.      
Di samping bahwa kita sama dalam hal kekotoran, kami juga punya moralitas politik untuk bersama-sama kalian, mungkin, menyelamatkan dunia ini menjadi lebih baik serta tahu akibat-akibat apa saja yang sedang ditanggung oleh umat manusia dewasa ini.  Kami tidak perlu menjadi seorang komunis, untuk bisa memahami apa itu kuasa modal yang telah mengisap rakyat miskin di Dunia Ketiga. Lagi pula bagi kami cara-cara yang ditempuh partai kiri untuk meraih kekuasaan lebih sering tampak menyebalkan ketimbang mempesona secara politik. Tapi siapakan yang dapat melarang kalau kami murka dengan perang yang menghancurkan Afghanistan, menenggelamkan kota Bagdag yang suci, dan pembantaian oleh serdadu Israel atas orang-orang Palestina yang tidak berdosa, serta, yang paling dekat, pembunuhan politik terhadap orang-orang di Aceh pada beberapa tahun silam?  Punkers adalah pihak pertama yang menentang apabila dunia di jerumuskan ke dalam neraka seperti itu. Sebab, dalam ukuran moralitas seperti itulah kami hidup. Kami mesti melalui tahapan moralitas seperti itu terlebih dahulu untuk dapat disebut  sebagai seorang punker. Tidak semudah menjadi seorang politisi bukan? Persoalan jaket berduri atau cara kami memotong rambut itu adalah soal gaya, sebagaimana kalian yang ingin memilih menggunakan jas atau celana pendek ketika kalian sedang mengatur pemerintahan.
 
Kalian, kaum politisi, dapat dikatakan baru satu dekade ini memasukan isu anti-korupsi sebagai standar moralitas yang harus (pura-pura) kalian bela. Sementara, sudah sejak awal sekali konsep politik kami cetuskan untuk menelanjangi kebusukan pemerintahan yang korup. Untuk menentang korupsi kami memakai jaket berduri, sehingga oleh pakaian serupa landak itulah kami tampak aneh di hadapan warga negara yang lain. Andai saja warga negara yang resah oleh cara berpakaian kami tahu bahwa duri itu adalah senjata untuk menusuk topeng kemunafikan kalian, politisi yang hina, serta semacam alusi untuk memperingatkan para pembayar pajak yang taat bahwa uang mereka telah lama dilucuti di dalam laci-laci kekuasaan, ataupun dirampok pada saat sidang-sidang parlemen ketika pembahasan anggaran tahunan berlangsung. Lihatlah, kaum politisi yang hina, betapa kalian terbelakang puluhan tahun dibandingkan kami dalam mengadopsi sebuah standar moral paling tinggi baik di dalam praktik demokrasi modern maupun hal yang paling dasar di dalam ajaran agama manapun. 
 
Jauh sebelum Al Gore dan para selebritas dunia berbicara tentang isu pemanasan global dan membuka mata kalian untuk berbicara hal yang sama, mungkin agar tampak terpelajar dan keren, kami punkers telah puluhan tahun yang lalu berdiri bersama aktivis hijau demi melawan korporasi-korporasi penyebar emisi gas karbon. Sementara sebaliknya, kami telah lama mendengar bahwa ada di antara politisi dan anggota parlemen yang memiliki saham dan menerima gratifikasi dari pabrik yang menyebabkan pencemaran. Dan yang perlu diingat, jaket berduri, celana skini, dan rambut mohawk, tidak akan pernah menyebabkan pemanasan global dan kemiskinan, sebab dampak buruk seperti ini hanya mungkin tercipta oleh persekutuan di antara para pemilik modal yang serakah dan para penyelenggara negara yang tidak mengerti bagaimana aturan ekonomi pasar bebas bekerja sehingga sering menempatkan rakyat dalam matarantai politik yang paling tidak terlindungi.        
 
Moralitas kaum punk mencegah kami untuk berbicara tentang pertolongan yang telah kami berikan kepada orang lain yang sedang ditimpa bencana. Di antara relawan yang datang ke Aceh, dengan rendah hati kami katakan, termasuk di antaranya beberapa orang punk. Kami tidak membutuhkan organisasi yang terpusat, seperti partai politik atau ormas kepemudaan, yang biasa kalian gunakan sebagai corong untuk mengagitasi bahwa kalain telah menolong orang-orang yang sengsara, serta menghitung berapa jumlah mayat yang telah kalian angkat. Bagi moral kami, cara-cara seperti itu mendekatkan kami pada ketakaburan yang sesungguhnya sangat dibenci oleh agama. 
 
Kalian tidak mengerti apa itu punk, tapi itu bukan berarti kalian punya hak untuk menggaruk sembarang manusia di jalan apalagi kalian tidak sedang berada di bawah perlindungan Undang-undang untuk melakukan tindakan tersebut. Sebelum menangkap kami lebih banyak lantas mengkarantina kami di pusat pendidikan militer, kalian setidaknya masih punya kesempatan untuk menetapkan Undang-undang terlebih dahulu sebagaimana yang kalian terapkan atas lembu-lembu yang berkeliaran di jalanan (tapi bahkan sampai detik ini kalian tidak berdaya menghadapi lembut-lembu yang telah menodai kota yang kotor ini, bukan?). Jika kalian kesulitan untuk membuat Undang-undang untuk membasmi  kami, kalian bisa membayar para intelektual yang konsultan untuk menyusun semacam naskah akademis, tempat selama ini di mana wawasan kalian yang serba terbatas itu kalian gantungkan.
 
Awal-awal ingin saya katakan, bahwa niat baik kalian untuk membuat kota Banda Aceh tampak indah untuk menyokong Visit Banda Aceh 2011, akan menjadi sia-sia jika yang ingin kalian sasar adalah orang-orang yang berpakaian di luar pemahaman kalian tentang fashion. Fashion yang saya maksud tidak ada hubungannya dengan sudut pandang kaum teolog tentang berpakaian yang sopan, yang sesuai dengan agama. Tapi maksud saya jelas kepada politik turisme yang sedang kalian promosikan. Kalian politisi kota Banda Aceh mungkin menganggap kami, sama dengan pengemis atau gelandangan yang akan menodai keindahan kota sehingga dapat menghalangi turis asing datang berkunjung. Saya baca brosur wisata kalian yang dicetak dengan sangat buruk itu, dan kalian mengandalkan dua hal, pertama keindahan alam. Untuk paket yang pertama, kalian tidak akan pernah bisa meyakinkan kaum teolog sejati bahwa model seperti itu tidak akan membendung anak-anak muda yang manis terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan. Turisme di manapun akan membuka pintu untuk hal-hal seperti itu. Kalian tidak dapat mencegahnya, apalagi dengan slogan yang kedengaran sama membosankan dengan cara kalian menyusun kata-kata di dalam brosur promosi wisata. Karena akibat seperti ini memang hampir-hampir tidak bisa dihalangi. Kecuali, kalian menyusun Undang-undang lagi untuk menutup bandar udara, pelabuhan dan terminal, membuat kehidupan yang terlindungi layaknya sebuah negara komunis. Saya heran, kenapa kaum teolog sejati tidak menentang politik turisme kalian! Sementara kami, punkers, mungkin dapat dibereskan dalam tempo satu hari kalau memang kaum teolog berniat seperti itu, seperti yang telah saya sampaikan, kami akan lenyap dengan sendirinya di lingkungan yang benar-benar bersih. Kedua, dan yang paling memilukan, menjual paket wisata kematian tsunami demi menarik minat wisatawan asing. Demi tujuan ini kalian telah menyebabkan, misalnya, kuburan massal berubah fungsi dari tempat di mana orang-orang bisa mempelajari arti tentang bencana dan kematian, sebagaimana harapan kaum teolog,  menjadi situs untuk dinikmati seperti layaknya menonton tarian telanjang. Di mana pun dan dalam keadaan apapun, para turis sedikit sekali datang untuk tujuan mempelajari, tapi mereka jelas datang dan membuang uang mereka untuk menikmati segala hal. Menikmati adalah konsep paling dasar untuk tujuan turisme ditinjau dari sisi manapun dan seluruh kreativitas untuk memasarkannya ditopang oleh gagasan tersebut.  Memang tipis sekali perbedaan antara menikmati dan pada saat yang sama juga mempelajari. Tapi untuk membuat kedua hal ini  lebur, kalian telah bertindak sangat jauh untuk tidak mengatakan kurang bermoral. Kalian tidak perlu ingkar karena saya akan menunjukkan sebuah contoh. Pada vidoe promosi Visit Banda Aceh 2011, kalian mempertunjukkan bagaimana sebuah mayat yang hancur dan membusuk diangkat oleh sebuah eskavator. Pesan apa yang ingin disampaikan di balik ketololan menunjuan pemandangan seperti itu? Tentu saja  horor ini untuk mengundang sejumlah turis. Di negara-negara Barat, tempat seluruh kebudayaan asing dituduh bertanggung jawab atas kerusakan moral generasi muda serta sangat dibenci oleh kaum bigot, otoritas politik mereka memperlakukan bencana dan kematian dengan cara yang sama sekali berbeda. Dalam brosur-brosur kota mereka yang pernah saya baca, mereka tidak pernah menempatkan bencana dari sudut pandang untuk dinikmati, apalagi ditempatkan sebagai hal yang paling penting untuk dijual. Bencana dalam konsep seperti itu dipersempit hanya menjadi sebuah memori hitam yang pahit, dan para turis asing silahkan datang kalau mereka ingin merenung.  
 
Dengan demikian, agar para turis mau datang ke Aceh kalian harus lebih kreatif dan berpikir lebih keras, menyesuiakan diri dengan selera pasar turisme modern yang sedang menjadi trend dunia saat ini!  Di antara kalian yang mencintai keindahan, kaum politisi yang hina, pasti pernah pergi ke Inggris, tapi saya tidak yakin kalian tahu tentang Banksy. Banksy seorang generasi Punk pertama dan dia telah mengotori aristokrasi kota-kota di Inggris dengan grafiti-grafiti yang ia semprotkan.  Seperti kawan-kawan Punk saya yang dikejar-kejar oleh polisi hari ini, Banksy pun pernah mengalami nasib yang sama karena dianggap mengotori kota. Akan tetapi, otoritas turis kota London atau Bristol hari ini, mestilah berterima kasih kepada sang boronan, sebab grafiti-grafiti yang dibuatnya di dinding-dinding kota  telah menjadi legenda serta menjadi salah satu daya tarik para pelancong seluruh dunia untuk datang ke kota-kota di sana. Setidaknya dalam hal ini, seorang Punk yang baik telah menyumbang untuk keindahan kotanya, meskipun bukan dalam takrif keindahan para politisi yang berselera buruk. Kepada para bigot yang menentang pendudukan Israel atas negara Palestina yang suci, mestinya juga harus berterima kasih kepada Banksy, karena sejak pendudukan itu berlangsung dia telah menjadi salah seorang pembela bangsa tertindas tersebut dengan grafiti-grafitinya dan untuk ukuran ini dia telah membuka mata publik di Barat yang dipengaruhi proganda Israel tentang kebenaran di balik pendudukan tersebut.    
 
Kaum politisi yang hina, mestinya kalau kalian tahu apa itu punk, maka kalian akan sedikit berhat-hati untuk tidak memberikan definisi yang menyesatkan tentang kami sehingga tidak akan membuat kalian tampak seperti komedian. Memang kami berpakaian aneh. Tapi hukum yang memiliki nalar tidak mendefinisikan kejahatan berdasarkan pakaian yang dipakai sebuah kelompok, apalagi berdasarkan afiliasi politik yang rupanya tidak sungguh-sungguh kalian pahami. Kalian kaum politisi memang telah lama mengacaukan tata bahasa, mengaburkan definisi-definisi umum di dalam masyarakat, serta mereproduksi jargon yang sering kalian salah artikan sebagai retorika — seni berbahasa. 
 
Kalian sangat berambisi menjadikan Banda Aceh sebagai sebuah kota modern yang beradab. Apakah hanya karena gaya arsitektur balaikota Banda Aceh seperti sekarang ini dapat mewakili visi modernisme sebuah kota, sementara pada saat yang sama kalian mengusir kami agar tidak menjadi bagian dari modernisme yang kalian impikan? Kalian telah berlaku sangat curang dalam hal ini. Hal itu tampak jelas dari dome balaikota yang kalian banggakan. Model arsitektur seperti itu tanpa kalian sadari telah meniru dari model rambut mohawk kami yang menjulang ke atas –  yang kalian benci itu. Kalian kaum politisi juga tidak ragu-ragu untuk mencontoh model rambut kami pada saat kampanye Pemlihan Umum berlangsung. Dan yang paling menakutkan, kalian telah mengambil sebuah gambar di dalam video promosi Visit Banda Aceh 2011 kalian, di mana terekam seorang turis asing perempuan berambut mohawk sedang melambaikan tangannya! Saya menduga, anak-anak punk yang kalian garuk itu, yang kalian cukur rambut itu dengan semena-mena, sesungguhnya terpengaruh oleh video yang kalian buat yang uangnya berasal dari pajak kami! Sebahagian dari karakter kami yang kalian anggap nista, sesungguhnya tersembunyi di dalam jiwa kalian sendiri. Dalam hal ini, Freud tidak salah ketika mengatakan: Orang membenci orang yang hampir serupa dengannya. []
 
Azhari, seorang punker

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU