Sunday, May 5, 2024
spot_img

Sekolah Alam untuk Anak Pemulung [1]

BOCAH perempuan itu berhenti sejenak, berpikir apa yang harus dilafalkannya. Sesekali ia memandang ke langit. Sementara jarinya tetap setia di atas lembaran kitab suci itu.

“Sha, dha, aa. Tha, sha, dha….” Ia adalah Natasya Nasyella (8). Suaranya lantang melafalkan iqra. Meski sering salah dan tertukar antara huruf-huruf hijaiyah itu, semangat bocah itu tetap tak kendur.

Sesaat setelah itu, Sabri Muslim (10), ikut nimbrung. Ia mengulang setiap lafal yang tertera di lembaran Iqra Natasya. Suaranya besar dan lantang. Otomatis, hal itu mengganggu konsentrasi Natasya dan anak lain. Sikap Sabri, memancing kawan-kawannya untuk ikut mengganggu. Untuk kemudian, suasana semakin riuh.

Ulah Sabri baru berhenti, saat Silvi mengalihkan perhatian mereka dengan cara tanya jawab, seperti lomba cerdas cermat. Dengan semangat, mereka berusaha menjawab setiap pertanyaan Silvi yang kebanyakannya berkisar tentang pengetahuan umum.

“Ayo, ibukota Sumatera Barat apa? Ayo siapa bisa?”

“Riau,” jawab Sabri spontan.

“Bukan, yang lain.”

“Medan.” Kini, giliran Muslim yang angkat bicara.

“Paa…” pancing Silvi.

“Padaaaang,” pekik Sabri dan Muslim serentak.

Begitulah sekilas keadaan belajar mengajar ala awak Open Community (OC). Sebuah komunitas yang didirikan untuk membantu anak-anak yang tinggal di lingkungan Tempat Pembuangan Akhir (TPA), Kampong Jawa Aceh, Banda Aceh. Mereka dibimbing untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan layak. Silvi, panggilan Silviana (27) adalah penggagasnya.

Hanya beralaskan plastik biru. Para pengajar dan murid-murid duduk di atasnya dengan posisi melingkar. Satu lingkaran para lelaki dan satu lingkaran perempuan. Karena tidak memiliki gedung, mereka selalu melaksanakan proses belajar mengajar di alam terbuka, di samping Krueng Aceh, di bawah pepohonan cemara. Langit luas membentang di atas kepala.

Dalam catatan di akun Facebook miliknya, Silviana mengaku, OC digagas karena rasa prihatin terhadap anak-anak yang tinggal di Kampong Jawa. Meski sudah berumur belasan tahun, mereka belum bisa membaca Quran dan banyak yang bolos sekolah.

Silvi membentuk OC bersama rekannya, Ika Kana Trisnawati (28), pada 25 Mei lalu. Mereka mengaku, kalau keprihatinan mereka berpuncak ketika suatu malam, di saat ia dan Ika sedang makan burger di pinggiran Jalan Daud Beureu-eh. Saat itu, mereka berjumpa dengan dua gadis kecil, Yuna dan Zahra.
***

Berawal hari Senin, pertengahan April tahun lalu. Bersama karibnya Ika, Silvi sedang menikmati sajian burger, di Jalan Daud Beureu-eh Banda Aceh. Ketika sedang asyik menikmati makanan khas negeri Abang Sam ini, seorang ibu menghampiri mereka, sambil mengulurkan tangan, meminta sedekah. Silvi dan Ika hanya meminta maaf, tidak memberikan uang.

Sesaat kemudian, giliran dua gadis kecil, yang mendekati. Mereka menyodorkan selembar amplop yang bertuliskan “Mohon bantuan untuk anak yatim dan fakir miskin” sambil berlalu.

Jadinya, ketika kedua gadis tersebut kembali ke meja mereka berrdua untuk mengambil kembali amplop, Silvi menahan mereka. “Amplop itu belum terisi,” kata Silvi. Ia mengajak kedua gadis itu duduk, ikut makan bersama mereka.

Yuna (10), gadis kecil kelas satu SD. Ia dua kali tidak naik kelas. Sampai kini ia belum bisa membaca. Yuna sudah tidak punya ayah lagi. Ayahnya diculik semasa Aceh masih dilanda konflik. Anak ini tinggal di Kampong Jawa, bersama tiga orang adik, satu orang abang, dan ibu serta ayah tirinya. Orangtuanya bekerja sebagai pemulung.

Sedangkan kawannya, bernama Zahra (12). Ia duduk di bangku kelas lima SD. Zahra mengaku sudah beberapa bulan membolos sekolah, sejak kepindahannya ke Kampong Jawa untuk tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Ibu kandungnya meninggal karena penyakit asma. Sebelumnya Zahra tinggal bersama abang kandungnya yang telah menikah di Neuheun. Ia belum mengurus surat pindah sekolah, dan juga tidak lagi pergi bersekolah di Neuheun.

“Motivasi mereka untuk sekolah sedikit sekali,” tulis Silvi.

Mereka lebih memilih meminta-minta di malam hari, hingga larut malam, bahkan hingga jam 12 malam. Terkadang mereka tiba di rumah sekitar jam dua pagi, naik becak atau jalan kaki dari Peunayong ke Kampong Jawa. Malam itu, mereka menargetkan mendapatkan uang sebanyak Rp 40 ribu Niatnya akan dibagi dua, 20 ribu untuk Yuna dan setengahnya untuk Zahra.

“Namun, ketika saya tanyakan, sekarang mereka sudah mendapatkan berapa? Mereka menjawab baru dapat 5.000 Rupiah.”

Silvi dan Ika memutuskan memberikan uang kepada kedua gadis itu, dengan syarat, mereka mau meninggalkan meminta-minta di malam hari. “Kami mengusulkan agar Yuna dan Zahra agar mencari uang dengan cara yang lain, seperti menjadi pramusaji dan mencuci piring di warung makan.” Silvi meyakinkan mereka, kalau kegiatan yang sedang mereka geluti saat ini sungguh berbahaya bagi gadis-gadis kecil seusia mereka.

Mirisnya, dari pengakuan dua bocah ini, mereka belum bisa membaca Quran dan tidak salat. “Karena tidak bisa doanya,” ujar Silvi.

“Kalian berdua Islam kan?” Silvi mulai meragukan keislaman mereka. “Orang tua kalian Islam juga kan?” tanyanya lagi. Ia makin ragu saat sadar, perawakan Yuna mirip keturunan India.

“Di daerah Kampong Jawa memang ada komunitas Hindu dan Pura. Tapi mereka berdua mengaku Islam, hanya saja belum bisa membaca Al-Quran dan tidak salat,” ujar Silvi beberapa waktu lalu.

Mulai saat itulah, niat Silvi dan Ika untuk membantu anak-anak kurang mampu, yang katanya sudah ada sejak lama semakin kuat dan mantap. Mereka berdua merintis Open Community (OC).

Kata Open, tulis Ika Trisnawati dalam dokumen OC, merupakan singkatan dari Oase Peduli Edukasi Negeri. Kata ‘Open’ ini memuat makna bahwa komunitas ini bersifat peduli (open dalam bahasa Indonesia) dan sekaligus terbuka (‘open’ dalam bahasa Inggris).

Pendidikan yang menjadi sasaran program OC ini mencakup empat bidang: agama, umum (mencakup baca tulis latin, menghitung, dan pengetahuan umum lainnya), kesehatan, dan keterampilan.

Sistem belajar mengajar ala OC, lebih mengutamakan kenyamanan siswa. Belajar sambil bermain. Hanya saja mereka lebih memfokuskan pelajaran pada bidang agama, terutama mengaji. Jadi, tak heran, jika pada setiap agenda belajarnya, pelajaran mengaji, dikhususkan belajar Iqra (karena anak-anak di TPA masih banyak yang belum bisa membaca Quran), selalu didahulukan, baru kemudian disusul dengan pelajaran-pelajaran lainnya.

“Sebagian besar mereka tidak mengikuti pengajian di kampungnya, karena tidak mampu membayar biaya yang ditetapkan (uang lampu),” kata Silvi.

Program belajar, pertama kali diadakan pada hari minggu, 29 Mei 2011. Di masa-masa awal, pelaksanaan program belajar mengajar hanya terealisasikan seminggu sekali, namun sekarang, sudah meningkat menjadi seminggu tiga kali, yaitu pada hari Selasa, Jum’at dan Minggu.

Tenaga pengajar direkrut berdasarkan keikhlasan hati untuk membantu. Tidak ada bayaran. Semua murni dilakukan secara cuma-cuma. Semua pihak boleh bergabung dalam komunitas ini dan membantu mengajar anak-anak di TPA tersebut.

“Alhamdulillah sekarang ini, jumlah pengajar yang konsisten hadir berjumlah 10 orang, tapi kalau hari libur, seperti Minggu, baru rame,” katanya ketika dihubungi beberapa waktu lalu. [bersambung]

Baca Juga: Sekolah Alam untuk Anak Pemulung [2]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU