Friday, April 26, 2024
spot_img

Senja di William’s Torren

MEULINGGE, suatu sore di akhir Maret lalu. Cuaca masih terik, padahal langit telah memerah. Di ketinggian 85 meter diatas permukaan laut, angin berhembus kencang. Lantunan musik dan gelak tawa terdengar nyaring, dibawa angin.

M Hamzah Hasballah/ACEHKITA.COM
Nun jauh di tengah laut, beberapa boat kecil telah melempar sauh. Beberapa lainnya hilir mudik di lintas ‘tanpa batas’ tersebut. Berbatas cakrawala, hamparan jingga langit sore memantulkan cahaya keemasan. Sesekali, camar laut melintas.

Memandang jauh, Samudera Hindia membentang luas, hingga berbatas pandangan mata. Dari sanalah, puluhan, bahkan ratusan kapal melintas setiap harinya. Laut di Meulingge, berbatas langsung dengan lintasan internasional.

Akhir maret lalu, kami mengunjungi Meulingge, desa paling ujung bagian barat Indonesia. Ini, adalah cerita di Mercusuar William’s Torren, di Meulingge. Mercusuar yang dibangun koloni di nusantara pada tahun 1875. Bangunan bergaya eropa ini, didirikan diatas cadas yang curam, menjorok langsung ke laut.

Konon, Mercusuar ini, hanya ada tiga didunia. Pasangannya, di Kepuluan Karibia, yang menjadi tempat penggarapan film; Pirates of Caribian, yang dibintangi aktor kawakan hollywood, Jack Sparrow. Sementara yang satunya lagi, telah dijadikan museum di negerinya sendiri, Holland, Belanda.

Nama William’s Torren, diambil dari nama Raja Luxemburg, Willem Alexander Paul Frederich Lodewijk. Pada masa itu, ia dekenal sebagai raja yang ikut membangun perekonomian dan infrastruktur daerah kekuasaan Hindia Belanda. Karena itu, namanya disematkan di Mercusuar di Meulingge.

Dibangunnya mercusuar, sebagai persiapan pembangunan pelabuhan Sabang, yang menjadi lintas selat malaka. Saat itu, Pelabuhan di Sabang menjadi tempat persinggahan kapal-kapal koloni.

Masyarakat sekitar menyebut mercusuar dengan nama lampu. Tebal bangunannya mencapai satu meter, dengan ketinggian 85 meter. Kabarnya, bagunan tersebut dibangun dengan pondasi berkedalaman 85 meter juga.

“Dulu katanya yang buat adalah orang kita Aceh,” ujar Mustafa, tokoh masyarakat Meulingge. Ia menyebutkan, faktor penjajahan, menjadikan masyarakat sebagai budak, dan bekerja untuk mendirikan mercusuar, yang kemudian menyematkan nama salah satu raja di negeri Kincir Angin, Belanda.

“Kedalaman pondasinya sama dengan tingginya menara,” kata Mustafa lagi. Karena kedalaman dan ketebalannya, bangunan yang dicat merah-putih ini tak bergeming, digoyang gempa dahsyat, 2004 silam.

Maslan Putar Putar, berusia setengah abad lebih. Wajahnya tirus dengan hidung mancung. Ia, kepala kelompok navigasi, yang bertugas menjaga Mercusuar William’s Ttorren. Maslan telah bertugas di desa kepulauan ini, sejak 20 tahun lalu, tepatnya tahun 1991.

Di puncak ketinggian mercusuar, ketika menghidupkan lampu, pukul setengah tujuh sore itu, Maslan mulai berkisah.

“Ini tugas kami di sini, menjaga agar lampu ini selalu hidup,” katanya menunjuk lampu yang mulai berpendar.

“Banyak sekali fungsinya lampu suar ini. Bisa dibilang, lampu ini menjadi penuntun kapal yang melewati lintas internasional,” Maslan menunjuk ke lautan lepas.

“Kalau dulu, cahayanya terang sekali, bahkan sampai tiga mil lebih bisa terang. Kalau sekarang paling dua mil saja.”

Sebuah piringan lampu berukuran besar masih kokoh, dilekatkan di puncak mercusuar. Beratnya tiga ton. Kacanya setebal lima senti meter lebih. Sayang, piringan itu tak lagi berfungsi. Benda tersebut hanya mau berputar dengan bantuan tangan, dan digerakkan dengan gir ukuran besar. “Ini yang saya bilang. Kalau yang ini hidup, sampai Sabang itu nampak terang cahayanya.”

Di sisinya, bertengger sebuah piringan kecil, seukuran kipas angin mini. Piringan itulah yang saat ini difungsikan. Ukurannya yang kecil hanya sanggup menerangi dua mil saja.

“Di sini kita susah. Kalau alat rusak, sangat susah mencari spare-partnya. Bisa dibilang tidak ada.”
Saat konflik mendera Aceh, Maslan bersama petugas lainnya was-was. Tugas yang mereka emban sebagai ‘penjaga pulau’, mengharuskan mereka menetap. Namun, terjadinya beberapa penembakan, membuat mereka ditarik kembali ke Sabang.

“Kalau tidak salah, sejak 2000, sampai setelah tsunami, lampu yang ini nggak ada yang jaga.” Saat itu, penjarahan terjadi. Beberapa alat untuk menghidupkan lampu mulai menghilang. Tak jelas siapa yang mengambil.

“Katanya OTK, Orang Tak Dikenal,” kata Mustafa.

Maslan juga menyebutkan hal yang sama. Tahun 2006, damai ikut dirasa, hingga ke William’s Torren. “Kita mulai ditugaskan lagi kemari. Kita diroker sih, dua bulan sekali, empat-empat orang.”

Memandang dari puncak mercusuar, sebuah bangunan tua yang dipenuhi belukar. Batang kayu besar hidup rimbun dalam rumah tersebut. Mendaki anak tangga, di pojok rumah, sebuah ruangan angker, tertutup semak. Disebelahnya, sebuah bunker, penjara bawah tanah.

Desain komplek Mercusuar berbentuk asrama, dengan luas mencapai lebih dari lima hektar. Di dalamnya, dilengkapi ruang dansa, penjara untuk menahan tawanan, penjara bawah tanah, hingga gudang-gudang untuk menyimpan logistik. Setidaknya, itu yang dikisahkan sejawat Maslan Putar Putar.

Ia bercerita, sambil menghirup dalam kretek dimulutnya.

“Sayangnya, tempat ini seperti kurang mendapat perhatian,” sebut lelaki berperawakan hitam-besar ini.

Biaya perawatan komplek Mercusuar William’s Torren, kata pria yang berdomisili di Sabang itu, ditanggung langsung oleh lembaga dunia, dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Ini kan warisan budaya purbakala, jadi anggaran untuk ini langsung dibawah PBB,” ujarnya.

Berjarak satu kilometer dari mercusuar, ada Pelabuhan William’s Torren. Pelabuhan tersebut, kini tinggal pondasi bebatuan. Saat tsunami lalu, tonggak beton itu dihempas bah raya, dan pupus ditelan gelombang.

M Hamzah Hasballah/ACEHKITA.COM
Bentuk pelabuhannya petak. Seukuran setengah lapangan tenis. Ditengahnya seonggok besi tua yang mulai berkarat; untuk mengikat tali kapal. Jarak pelabuhan, sekitar seratus meter dari bibir pantai.

Menyelam ke bawah, tak ada pondasi, layaknya pelabuhan buatan kontraktor Indonesia. Bentuk bawahannya, petak, dengan sisi samping agak lancip, menyerupai mobil tank perang. Ariska, seorang turis lokal asal Banda Aceh, menyelam bebas dibawahnya.

“Ada lobster di bawahnya,” seru Mahasiswa Universitas Serambi Mekkah ini. Lobster, atau udang besar yang berkulit tebal bersembunyi dibawah batu, tepat di dasar pelabuhan. Ariska mencoba mengambil, dengan menarik kumis binatang laut ini, namun tak berhasil. Ia salah cara.

Pantai Meulingge, khususnya di Pelabuhan William’s Torren, menyajikan surga bahari. Ikan aneka warna hidup didasar pantai berpasir putih ini. Karang, jangan tanya. Di dasar pantai, beraneka jenis karang menjadi tempat aman bagi ikan kecil untuk berteduh. Sebuah panorama yang mungkin hanya bisa disaksikan di Meulingge.

Unik sekaligus menakutkan. Dikedalaman satu meter, kita bisa menemukan anak hiu putih. Ariska, menjadi saksi langsung. “Wah, nggak berani juga kalau sendiri,” ujar lelaki kribo, yang juga berprofesi sebagai fotografer ini. Ia melihat seekor anak hiu, seukuran telapak tangan.

Man, seorang pemancing asal Ulee Lheu juga pernah melihat hiu, sekuran lima meter, lebih besar dari boat miliknya. “Hiu kalau kita tidak ganggu, dia nggak akan gangu kita,” kata lelaki itu, kala singgah di Pelabuhan William’s Torren, akhir Maret lalu.

Alam Meulinge, di seputaran pelabuhan dan mercusuar juga memanjakan mata. Aneka burung dengan ukuran besar dan kecil mudah ditemukan. Siulnya yang merdu, dengan warna gemerlap adalah aset alam Meulingge.

Ada juga tupai seukuran cerpelai, berwarna hitam. Tupai tersebut seperti memiliki sayap. Dibalik kakinya yang panjang, ada warna putih. Warga sekitar, menyebut tupai berwarna hitam dengan ekor panjang itu, tupai tengku malem. Konon, di Aceh, tupai itu hanya ada di Meulingge.

Namun, kondisi keindahan tersebut seakan terabaikan. Hanya sebagian orang saja yang tahu, Meulingge itu, ada dan indah. “Kalau seperti ini, saya mau lagi kalau diajak,” sebut Amri, warga Bireun, Utara Aceh, yang kala itu menyertai perjalanan kami. Ini kali pertama ia bertandang ke Meulingge, pulau di Kabupaten Aceh Besar ini.

Kondisi tersebut memanglah nyata. Maslan menyodorkan buku tamu untuk diisi. Buku tersebut masih putih bersih. Tak ada pengunjung. Padahal, bangunan fenomenal peninggalan Belanda di masa penjajahan, ada disana.

Berkunjung ke sana, harus dengan boat nelayan, dengan jarak tempuh, dua hingga empat jam. Namun, jangan membayangkan, anda akan langsung berada di mercusuar. Untuk ke William’s Torren, persiapkan fisik dan mental.

Pendakian panjang gunung di Meulingge telah menghadang. Dua jam perjalanan mendaki harus ditempuh. Pendakian melawati pegunungan, dengan belukar, dan jalan yang curam. Di kiri-kanan hanyalah kebun warga, jurang, dan lembah.

Tak ada transportasi khusus. Menumpang kendaraan masyarakat di pendakian adalah nihil. Karena, memberi tumpangan di jalanan yang menanjak begitu tinggi, sama dengan ‘menyiksa’ kendaraan bermotor.

***

Senja hampir berlalu. Lampu kapal mulai berkedip di kejauhan. Ada yang diam telah melempar jangkar, ada pula yang terus bergerak. Langit, kini sepenuhnya kuning, memberikan pantulan keemasan ke ombak yang terus menderu, menyentuh bibir pantai, bebatuan cadas di mercusuar.

Dari kejauhan, kerlip lampu di gugusan Pulau Sabang tampak samar diantara kabut yang menghalang pandang. Angin mendayu pelan, membawa malam yang perlahan menggelap. Sinar lampu di puncak mercusuar memberi penerangan, jauh menusuk ke arah laut.

Malam semakin sunyi. Yang ada, desah nafas, dan suara binatang malam. Senja itu, langit Meulingge memerah indah. Malam itu, bintang di langit Meulingge mengintip di balik kabut tipis yang perlahan menghilang. Untuk kemudian, malam kembali cerah, di William’s Torren, Meulingge.[]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU