Friday, March 29, 2024
spot_img

Sosok Algojo di Balik Jubah [3]

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Tak semua anggota WH diberi kesempatan jadi algojo. Mereka dipilih sesuai kriteria yang telah ditetapkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 10/2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Hukuman Cambuk.

Chaideer Mahyuddin/Dok. ACEHKITA.COM
Chaideer Mahyuddin/Dok. ACEHKITA.COM
Marzuki M. Ali, Kepala Seksi Penyidikan dan Penindakan Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP & WH) Aceh, menyatakan, algojo terpilih untuk mengeksekusi cambuk adalah orang kuat dari segi fisik dan mental.

“Tak mesti anggota yang berbadan tegap dan besar, tapi juga mental harus benar-benar kuat, karena menjadi algojo tentu akan ada beban psikologis,” kata Marzuki, yang pernah dua kali jadi algojo. “Secara pribadi, memang ada rasa kasihan. Tapi kita hanya melakukan tugas. Hukum harus ditegakkan.”

Alasan identitas dirahasiakan dan wajah mereka ditutup jubah adalah agar tidak ada balasan terhadap algojo dari terhukum cambuk. “Mungkin kalau tak ditutup seperti itu, tidak ada yang berani menjadi algojo karena identitas dan wajahnya akan dikenali,” ujar Marzuki.

Sama seperti hukuman terpidana umum lain, sebenarnya yang bertugas untuk mengeksekusi cambuk adalah jaksa, tapi meminta bantuan petugas WH. Hukuman cambuk juga dilaksanakan setelah ada putusan hukum tetap.

Sejauh ini, hanya terhadap pelanggar tiga Qanun saja yang dihukum cambuk yaitu tentang maisir, khalwat, dan minuman keras. Sedangkan, pelanggaran syariat Islam lainnya belum ada aturan.

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada September 2009 lalu, pernah mensahkan Qanun Jinayat. Isinya penyempurnaan qanun-qanun tentang syariat Islam yang telah ada sebelumnya dan sejumlah penambahan, termasuk hukuman rajam sampai mati terhadap pelaku zina yang telah menikah.

Tetapi, Qanun Jinayat tak kunjung ditandatangani Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf sehingga tidak bisa diimplementasikan. Alasannya, qanun itu disahkan sepihak oleh DPRA, tanpa ada persetujuan bersama antara legislatif dan eksekutif, terutama menyangkut hukuman rajam. Kalangan aktivis pembela hak asasi manusia (HAM) juga menentang hukuman rajam, sehingga Qanun Jinayat tak jelas nasibnya.

Selama ini, yang dicambuk terkesan hanya warga biasa. Sementara sejumlah kasus pelanggaran syariat Islam yang melibatkan pejabat, tak pernah dieksekusi cambuk. Contohnya, empat pejabat di Aceh Besar yang bermain judi, telah divonis masing-masing 11 kali cambuk oleh Mahkamah Syariah Jantho, Januari lalu. Tetapi, hingga kini belum juga dicambuk karena mereka mengajukan banding ke Mahkamah Syariah Aceh.

“Umumnya warga yang divonis Mahkamah Syariah langsung menerima putusan majelis hakim karena tidak mau repot padahal mereka ada hak untuk banding ke Mahkamah Syariah provinsi atau kasasi ke Mahkamah Agung,” kata Marzuki.

Menurut Pergub Aceh No. 10/2005 sebelum prosesi cambuk digelar, terhukum harus dalam kondisi sehat menurut keterangan dokter. Pencambukan dihentikan sementara kalau menyebabkan luka atau mengeluarkan darah atau diminta oleh dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri. Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau menyerahkan diri atau dapat ditangkap.

Dalam peraturan itu juga disebutkan, bagian tubuh yang boleh dicambuk adalah punggung mulai pinggang hingga bahu. Jarak berdiri antara algojo dan terhukum minimal 70 centimeter. Ketika mencambuk, tangan algojo tidak boleh mengayun ke belakang, tapi harus sejajar lurus dengan badannya.

“Makanya, ada beberapa algojo seperti di Jantho yang mendapat peringatan dari jaksa karena saat mencambuk tangannya mengambil ancang-ancang ke belakang atau tidak lurus dengan badan,” kata Marzuki.

“Yang membuat saya bingung adalah kritikan negatif selalu ditujukan pada WH padahal dalam penerapan syariat Islam di Aceh juga melibatkan polisi, jaksa dan hakim Mahkamah Syariah. Banyak juga kasus yang penyidikan ditangani oleh polisi, bukan oleh penyidik WH.”

Publik Aceh dikejutkan dengan pernyataan pers Amnesty International, Minggu (22/5) lalu. Lembaga berbasis di London, Inggris, itu mendesak Pemerintah Indonesia membatalkan aturan hukuman cambuk di Aceh. Alasannya peraturan hukuman cambuk di Aceh bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, tahun 1998.

Direktur Asia Pasifik Amnesty, Sam Zarifi, mengatakan, hukuman cambuk di Aceh itu “kejam, tidak manusiawi dan bisa membuat terhukum cacat untuk jangka waktu lama.”

Pernyataan itu dikeluarkan tiga hari setelah 14 pelaku judi toto gelap (togel) dicambuk masing-masing enam kali di Kota Langsa. Sepekan sebelumnya, tujuh orang juga dicambuk di Langsa, karena terlibat kasus yang sama. Amnesty mencatat sepanjang tahun lalu, sebanyak 16 orang dicambuk di Aceh.

Banyak pihak di Aceh mulai dari ulama, pejabat pemerintah, hingga aktivis mahasiswa mengecam pernyataan Anmesty. Mereka menilai desakan lembaga pembela HAM itu sebagai bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Langsa, Irvon, ketika diminta tanggapannya tentang pernyataan Amnesty, menyebutkan, pihaknya tak terpengaruh dengan komentar siapapun karena itu hukum positif yang berlaku di Aceh.

“Sepanjang qanun belum dicabut, kami tetap melaksanakan hukuman cambuk terhadap pelaku pelanggaran syariat Islam karena ini hukum yang berlaku di Aceh sebagai bagian pelaksanaan syariat Islam,” katanya, Kamis (26/5), usai menggelar prosesi cambuk terhadap 19 pelaku judi togel di Lapangan Merdeka, Langsa.

Bagi M, klaim Amnesty bahwa hukum cambuk kejam dan berpotensi cacat permanen tak berdasar. Menurut dia, hukuman cambuk di Aceh bukan untuk menyakiti, tapi lebih untuk mempermalukan dan pembelajaran bagi masyarakat agar tidak melakukan perbuatan bertentangan dengan syariat Islam.

“Terhukum sengaja memakai baju putih agar ketahuan bila keluar darah. Sebab kalau sudah keluar darah, prosesi cambuk harus dihentikan. Jadi menurut saya, hukuman cambuk di Aceh cukup manusiawi,” katanya.

Marzuki menambahkan, algojo tak boleh emosional terhadap terhukum cambuk, tetapi melaksanakan sesuai standar yang baku. “Menurut saya, lebih tidak manusiawi kalau seseorang itu ditahan enam bulan dalam penjara karena berdampak pada keluarga dia, sedangkan kalau dicambuk hanya beberapa menit saja selesai. Setelah itu dia menjadi manusia yang bebas merdeka,” katanya. “Tidak ada seorang pun yang cacat setelah dicambuk.”

Ketika sedang berlangsung prosesi eksekusi cambuk, sering terdengar teriakan warga supaya mencambuk lebih keras lagi. Tetapi, menurut M, seorang algojo tak boleh terpengaruh dengan teriakan itu karena dia harus melaksanakan sesuai aturan yang telah ditetapkan.

“Menjadi algojo, prinsip saya adalah tak benci dan tidak sayang kepada terpidana cambuk karena itu bagian dari tugas. Makanya saya bisa melaksanakan hukuman cambuk sesuai aturan,” kata pria yang kerap umbar senyum itu. [A]

Baca Juga:
Sosok Algojo di Balik Jubah [1]
Sosok Algojo di Balik Jubah [2]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU