Suparta ARZ

BOTI | ACEHKITA.COM — Pekan lalu, kami singgah di peradaban Boti, sebuah kerajaan terakhir di pulau Timor. Sekitar 60 kilometer dari ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.

Sebelum sampai ke kompleks kerajaan, kami harus melewati dua pintu gerbang. Yang pertama batas wilayah, selanjutnya gerbang ‘Sonaf’ (kompleks ‘istana’).

Ada belasan bangunan di dalam Sonaf. Umumnya, berdinding pelepah gewang (sejenis sagu), atapnya ilalang, lantainya susunan batu atau tanah.
Setengahnya berbentuk kerucut (Lopo).

Hanya satu yang berdinding semen, dibangun tahun 1978. Niatnya, sebagai tempat menerima tamu-tamu.

Semuanya dibangun di antara lebatnya pohon-pohon. Benteng Sonaf, pagar kayu yang di tindih. Jalan utama anak tangga dari susunan batu .

Rajanya, Namah Nune (47), biasa dipanggil Bapa Raja. Pengikutnya menyebut ‘Usif’. Dia murah senyum, tak jarang cekikan. Bibir, lidah, dan giginya memerah, akibat mengunyah sirih, pinang, dan kapur.

Secara adat, Bapa Raja memimpin 585 kepala keluarga atau 2.197 jiwa. Secara keyakinan, pengikutnya hanya 318 jiwa dengan 76 kepala keluarga.

Pengikutnya, disebut Boti Dalam. Mereka percaya pada Papa langit (penguasa siang) dan Mama Bumi (penguasa malam). Tak ada ritual atau ibadah dalam keyakinan ini. Hanya berkumpul tiap hari kesembilan, di Sonaf, membicarakan solusi atau yang akan di kerjakan sampai sembilan hari ke depan.

“Itu bentuk ritual kami,” sebut Pah Sai, pengikut Bapa Raja. Sebagian Boti, menyebut keyakinan mereka adalah ‘Halaika’, sebagian menolak, karena ‘Halaika’ dalam bahasa Boti artinya tidak punya tuhan atau kepercayaan.

Yang sudah memeluk agama, disebut Boti Luar. Walau hidup berbaur, model rambut membedakan Boti Dalam dengan Luar. Boti Dalam rambutnya panjang dan digulung konde, seperti gaya rambut Pesumo dari Jepang, selain tak beralas kaki.

Mereka, hidup mandiri serta menolak bantuan pemerintah.
“Kami tidak mau tergantung dari bantuan (program) pemerintah atau pihak lain. Kalau menunggu bantuan, masyarakat kami akan malas bekerja,” begitu kata Bapa Raja dalam bahasa Dawan.

Selain garam dan minyak tanah, semua kebutuhan hidup diproduksi sendiri. Pakaian ditenun dari kapas, minyak goreng dari kelapa, Bertani dan berternak merupakan jalan hidup mereka.

Di Boti, tanah milik komunal, tak boleh diperjualbelikan. Sebagai pemimpin adat, Bapa Raja mengizinkan Gereja dibangun di tanah ulayat. Begitu juga dengan sekolah, meski tak semua anak-anak Boti Dalam di Izinkan mengenyam pendidikan formal.

Alasannya, sebagai penjaga adat dan tradisi.
Boti juga melarang menebang, kecuali pohon yang sudah mati. “Untuk membangun rumah, hanya kasuari dan pohon ‘merah’ yang boleh,” ungkap Pah.

Untuk membangun kampung, dalam setahun warga Boti menyisakan 30 hari penuh untuk gotong royong, seperti membuat atau memperbaiki jalan, pagar atau fasilitas umumnya.

Program ini, dilakukan sehabis masa panen, biasanya pada bulan Mai atau Juni. Pada saat itu, Bapa Raja turun langsung ke lapangan, selain memantau, dia juga sebagai pekerja.

“Kalau melihat raja bekerja, kami tidak mungkin bermalas-malas,” ungkap Pah Sai.

Yang unik, maling tidak dihukum di Boti Dalam. Menurut Bapa Raja, orang mencuri biasanya karena kesusahan, kalau kecukupan tak mungkin mencuri.

“Baru-baru ini kejadian, dua sapi Bapa Raja hilang, ternyata di curi, pelakunya orang beragama. Bapa Raja tidak meminta balik, malah memberikan sapi itu pada pencuri,” Pah Sai menjelaskan.

Walau mengikuti sistem pemerintahan, peran Bapa Raja lebih dominan dari struktur pemerintah dalam masyarakat, karena banyaknya ritual adat yang berlasung di Boti.

“Di sini untuk seorang manusia, dari dalam kandungan sampai meninggal, ada 18 upacara adat. Belum lagi, ketika menanam atau panen, jadi peran beliau sangat dominan,” jelas seorang guru sekolah dasar di Boti.

Di Sonaf, di dua bangunan berbeda, hanya ada gambar Soeharto yang di pajang di antara foto-foto lainya.
“Dia presiden yang baik, biarkan gambarnya tetap di sana,” jelas Bapa Raja.

Saat ditanya mengapa cuma gambar Soeharto, sementara ada lima presiden setelahnya. Bapa Raja tetap berkeyakinan Soeharto pemimpin indonesia yang baik.

“Presiden sekarang juga baik, dia orang kecil, dekat dengan rakyat,” kata Bapa Raja, kemudian dia menunjukkan pin kampanye Jokowi Jusuf Kala yang disimpan dalam tas sirihnya.

“Kalau sudah ada fotonya, saya juga akan pajang,” tutup Bapa Raja. []

SUPARTA ARZ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.