Suparta Arz/ACEHKITA.COM

DUSUN SAGU, MERAUKE | ACEHKITA.COM — Tiga pekan kami bersama orang Malind, pribumi yang mendiami selatan Papua dan hidup di sepanjang sungai Bian.

Di atas tanah adat milik komunal, tumbuh pepohonan sagu yang menandai tradisi meramu. Bukan tradisi bercocok tanam.

Satu ruas pohon sagu dapat menghidupi satu keluarga batih selama satu minggu. Satu pohon kira-kira 4-5 ruas.

Mereka mulai mengenal beras ketika transmigrasi masuk tahun 1982 dan konsumsinya terus meningkat. Namun tak kunjung ‘ketularan’ bertani.

“Anak-anak saya kalau dua hari dikasih sagu, dorang (mereka) sudah minta makan nasi,” kata Agustinus Omben, warga Malind di Distrik Muting, Merauke.

Di saat yang bersamaan, industri kelapa sawit –dan sebentar lagi program sawah tekno sejuta hektare– terus mendesak dusun-dusun sagu.

“Kami tidak sanggup bersawah. Butuh modal besar. Bibit, pupuk, obat, dan irigasi. Itu belum risiko hama. Berbeda dengan sagu,” tandas Darius, kepala suku Mandobo.

Maka program sawah sejuta hektare dalam skema MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) sudah bisa ditebak arahnya: menggunakan model bisnis berbasis investasi korporasi. Bukan pertanian rakyat.

Dalam model bisnis seperti ini, seperti halnya di masa kolonial, butuh dua syarat: lahan yang luas agar skala industri tercapai, dan tenaga kerja yang besar alias sistem perburuhan.

Akankah orang Malind menjadi buruh di atas tanahnya sendiri, segera setelah sagu-sagu menghilang? []

NASKAH: DANDHY DWI LAKSONO | EKSPEDISI INDONESIA BIRU
FOTO: SUPARTA ARZ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.