Friday, March 29, 2024
spot_img

“Ciluk Ba APBA”

Jika mau tahu bagaimana dinamika, isu, hingga fitnah terbaru tentang situasi Aceh, tak perlu baca hasil penelitian, jurnal akademik, atau buku serius. Cukuplah dengan mampir di warung kopi alias warkop.

Pada “ruang publik” ini semua masalah dibahas mulai dari politik, kriminalitas, ekonomi, artis, gosip pejabat, prediksi skor bola hingga bisnis tuyul. Semua lengkap bin komplit, walaupun jarang ditutup dengan kesimpulan.

Kesimpulannya hanya satu, yaitu tidak ada kesimpulan. Saya, seperti layaknya kebanyakan pria Aceh lainnya, dengan berbagai alasan, juga secara sadar dan tidak di bawah tekanan menjadi fans keudee kupi “garis keras.”

Boleh dibilang setiap hari, bisa pagi, kadang sore atau malam, saya nongkrong di warkop. Alasannya beragam, bertemu kawan, agar kekinian, menikmati kopi nikmat yang ditemani koran gratis.

Warkop langganan saya berlabel Cek Pan, perpaduan antara nama Aceh dan Belanda. Demikian menurut Cek Pan, pemilik warkop yang sudah menjadi teman baik sejak kecil.

Cek Pan kecil, sebenarnya bernama asli Sofyan. Saat kecil kami menonton bola Liga Eropa. Kami menggandrungi klub-klub Eropa dan hafal nama pemainnya.

Saat itu Sofyan kecil sangat menggilai pemain Belanda bernama Marco Van Basten. Lalu, ia mengajukan “proposal” kepada orang tuanya untuk berganti nama, menjadi Sofyan Van Basten.

Dasar lidah orang timur, kami agak susah menyebut “Van” dengan pengucapan yang benar. Akhirnya, kami terbiasa menyebutnya “Pan”.

Maka secara “de facto”, Sofyan mulai sering dipanggil Pan. Walaupun keluarganya selalu berusaha menyadarkannya dengan cerita saat menabalkan nama Sofyan, ayahnya harus memotong dua ekor kambing.

Selepas SMA, ayahnya meninggal. Sofyan tidak bisa lanjut kuliah karena harus membiayai keluarga serta mewarisi warkop satu pintu milik sang ayah itu, dengan merek “Cek Pon” yang berasal dari nama sang ayah, Saiful. Pasca tsunami, ia melakukan re-branding dengan mengganti nama warkop Cek Pon” menjadi “Cek Pan.”

“Pakon trep that?”

Saya protes, karena butuh waktu lebih dari 15 menit untuk menanti kopi pesanan saya tiba. Karena biasanya tak sampai lima menit, Cek Pan sudah menghidangkan kopi terbaik buatannya.

Sebagai sahabat dan pelanggan warkopnya, Cek Pan sudah tahu selera kopi saya, yang tergantung waktu dan penanggalan. Ia paham kopi seperti apa yang saya butuhkan saat pagi atau malam. Bahkan ia juga sangat hapal selera saya pada awal, tengah dan akhir bulan. Ia seakan punya alat sensor otomatis yang tahu mood saya. Kali ini ia telat. Bagi saya urusan waktu adalah indikator profesionalisme. Ia mencoba menjelaskan.

“Lon lakee meuah. Bunoe hana ureueng rah glah. Pegawai saya satu orang sakit.”

Sambil mengantar kopi pahit kesukaan saya, Cek Pan mengajukan pertanyaan kepada saya yang sudah tak sabaran sambil memegang koran di tangan.

“Sudah hampir sepuluh tahun ini, kenapa masalah pengesahan APBA selalu bermasalah, selalu terlambat. Pat salah jih?

Walaupun hanya lulusan SMA, teman satu ini sering mengajukan pertanyaan cerdas dan kritis. Pertanyaannya diajukan relevan dengan judul berita yang beberapa hari ini kerap melaporkan masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh atau APBA. Daerah lain menyebutnya APBD, tapi Aceh selalu punya cara untuk anti mainstream.

“Darimana kamu tahu masalah kek ini sering terjadi?”

Saya penasaran sumber informasi Cek Pan. Walaupun hanya lulusan SMA, tapi saya tahu Cek Pan rajin memantau berita tidak hanya dari koran lokal, tapi media-media asing pun dilahapnya.

Lon na tom baca laporan dari Bank Dunia, tahun 2008. Laporan itu menyebutkan masalah berkaitan dengan anggaran pemerintah kita selalu berkaitan dengan ketidaktepatan waktu. Belum lagi dengan masalah penyerapan anggaran yang tidak maksimal. Na peng, tapi han ek i peu abeh. Tip-tip thon masalah nyoe pih sabee dimuat lee media.”

Omen, laporan Bank Dunia.” Dahsyat kali, kawan satu ini pikir saya.

Sebagai orang yang berpendidikan formal lebih tinggi dari Cek Pan, saya tak mau kalah. Masak lulusan S-2 luar negeri kalah debat dengan tamatan SMA. Dengan sok bijak saya tangkis argumennya.

“APBA itu harus disusun secara hati-hati karena menyangkut kepentingan rakyat. Han jeut sembarangan. Salah-salah i drop lee KPK.”

Sambil tersenyum sinis Cek Pan merespon.

“Nyan keuh, dron neuh bek lee that neu duek di kampus. Kalau memang demi kepentingan rakyat kenapa masalah ini selalu berulang. Bukankah legislatif dan eksekutif punya jadwal kerja dan program yang ada targetnya. Keupeu chit na gaji rayeuk awaknyan.

“Nyoe lon tanyong lom, jika memang untuk kepentingan rakyat, rakyat yang mana? Atau rakyat yang sekarang sudah jadi pejabat? Atau pejabat yang ecek-ecek jadi rakyat?

Cek Pan makin semangat. Sementara saya memilih posisi sebagai pendengar budiman.

“Urusan APBA ini kan kayak anak kecil main ‘ciluk ba’. Ada kejutan, ada drama, lalu diakhiri dengan tawa bersama. Pura-pura cari, pura-pura serius, bahkan ada juga pura-pura nangis. Saat seseorang berkata ‘ciluk ba’, saat itulah semua orang ikut bahagia. Yang bahagia para pemain itu-itu saja. Orang seperti kita jatahnya jadi penonton saja.”

Saya manggut-manggut kagum dengan penjelasan manusia ini.

Sambil meninggalkan saya, karena ada pelanggan memanggil, terdengar Cek Pan bernyanyi, memplesetkan lagu “Naik-Naik Ke Puncak Gunung.”

“…Qiriii…Qanun… Kulihat sajaaa… Banyak pohon uangnya…aaaa….”

Fahmi Yunus
Fahmi Yunushttp://ACEHKITA.com
Fahmi Yunus adalah periset komunikasi massa dan studi pembangunan.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU