Dok. Ekspedisi Indonesia Biru

SETELAH mencari di internet, dari tiga jalur menuju Kasepuhan Ciptagelar, kami memilih jalur yang mudah diidentifikasi, yakni jalan masuk dari seberang hotel Inna Samudra Beach, Pelabuhan Ratu, yang masyhur dengan kamar 308-nya.

Dua jalur lainnya tak sempat kami dalami. Pertama melalui kampung Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi (Jawa Barat) dan jalur kedua melalui Cicadas yang berada di Kabupaten Lebak (Banten).

Jalur Pelabuhan Ratu adalah jalur mainstream sepanjang 28 kilometer yang banyak ditulis orang di internet sebagai lintasan yang cukup menantang, di luar jalur offroad. Selain sepeda motor, Ciptagelar dapat dijangkau dengan mobil berpenggerak empat roda. Ini jelas bukan pilihan.

“Kalau motor ini tembus gak, Kang?” tanya kami pada seorang tukang ojek.

Oh, bisa. Tapi gak tahu juga kalau barang-barangnya berat,” tukasnya sembari melirik ‘bagasi’ kami.

“Berapa jam ke Ciptagelar, Kang?” tanya kami lagi dalam Sunda.

“Paling juga dua jam sudah sampai.”

Sepotong informasi tadi menjadi pengantar tidur malam itu.

Keesokan paginya, perjalanan dimulai dari jalanan aspal yang mulus meski menanjak. Beberapa saat kemudian, aspal yang terkelupas mulai bercampur batu. Bila dihitung dengan berat badan, motor saya mengangkut beban tak kurang dari 130 kilogram. Sedangkan motor Ucok yang dua tahun lebih tua, membawa setidaknya 90 kilogram.

Tapi sampai gerbang Taman Nasional Gunung Halimun Salak, semua baik-baik saja. Kasepuhan Ciptagelar yang terdiri dari 360 kampung dan dihuni lebih dari 29.000 jiwa, secara administrasi berada di dalam kawasan Taman Nasional yang wilayahnya masuk di tiga kabupaten: Sukabumi, Lebak, dan Bogor.

Kami memuji keandalan pemilik bengkel di Pondokgede bernama Edi, yang memilih jenis motor dan mendesainnya sedemikian rupa untuk medan penuh tanjakan seperti ini. Apalagi musim hujan dan licin. Patokan kami sederhana: selama masih bertemu motor lain, semua akan baik-baik saja.

Tapi optimisme itu tak berlangsung lama. Insiden pertama terjadi ketika motor saya terpeleset di sebuah tanjakan yang penuh batu, sekira 15 menit setelah melewati gerbang Taman Nasional. Padahal zona ini masih terhitung daerah perkampungan dan ladang. Belum apa-apa.

Ucok terpingkal melihat motor kawannya ‘mati muda’. Gilirannya memang belum tiba.

Kampung, ladang, sawah, perkebunan, dan hutan, silih berganti. Kami berjalan pelan tapi konstan. Bila ada persimpangan yang jalannya sama besar, kami berhenti menunggu orang lewat untuk bertanya. Salah mengambil jalur, sama dengan membuang bensin dan tenaga.

Kami sepakat harus selalu terlihat satu sama lain, baik di jalanan aspal, terutama di medan seperti ini. Maka setiap ada yang menghilang ditelan tanjakan atau tikungan, salah satu harus menunggu. Tapi teori tinggal teori. Bila itu diterapkan, kami akan kehilangan momentum daya dorong laju kendaraan menghadapi tanjakan. Sebab jalanan tak pernah memberi ruang landai untuk menunggu.

Ucok pun tak terlihat lagi dari kaca spion.

Di sebuah tempat yang agak datar, akhirnya saya berhenti. Awan putih mulai kelabu. Saya menunggu Ucok beberapa menit. Ia tak muncul. Mesin motor dimatikan untuk mendengar dan menduga jarak di mana ia berada. Nihil. Hanya suara daun digesek angin.

Beberapa menit kemudian, saya putuskan untuk kembali. Setelah melintasi tiga-empat kelokan, Ucok dan motornya tak kunjung terlihat. Saya mulai khawatir dan berpikir yang terburuk. Sembari terus meluncur turun, saya amati tutupan semak di kiri jalan kalau-kalau terdapat bekas sibakan. Sisi kanan adalah tebing batu dan tanah.

Sekira satu kilometer, saya lega mendapati Ucok berdiri di pinggir jalan menatap motornya yang tersungkur di tepi jalan, tenggelam di antara semak belukar. Sebuah batu telah menggelincirkannya.

Saya membalasnya dengan terpingkal. Tak ada guna bertegang ria dalam situasi seperti ini. Keriangan dan canda tawa adalah sumber energi. Saya bahkan tak segera menolongnya, melainkan menghidupkan kamera video. Ucok menyeringai sembari menutup wajahnya karena malu, membayangkan adegan ini ada di youtube.

Tapi keputusannya menunggu bantuan, sudah tepat. Ia tak menarik motor dari dalam semak karena tak mungkin melakukannya seorang diri. Selain berat, ternyata di balik semak ada jurang. Bila roda belakang motornya bergerak ke arah yang salah saat ditarik keluar, ia bisa ikut terseret masuk jurang. Dengan dua orang, motor bisa diangkat dan digeser secara horizontal kembali ke jalanan. Tentu setelah terlebih dahulu melucuti barang yang ada di bagian belakang.

Kini skor satu sama.

Kami melanjutkan perjalanan dengan lebih waspada. Sebab tanjakan dan tikungan tak mereda.

Setiap ada turunan dan bertemu aliran air, kami harus bersiap menghadapi tanjakan yang tak kalah tinggi. Sebab Ciptagelar berada di ketinggian 1.100 meter dari permukaan laut.

Persis di kelokan lepas sebuah jembatan, kami dikejutkan dengan tanjakan yang kemiringannya sampai 45 derajat. Selain curam dan berbatu, tanjakan itu juga lurus dan panjang seperti tak menghiraukan teknik membuat jalan di pegunungan yang seharusnya berkelok untuk mengurangi beban gravitasi.

Motor saya gagal melintas, setelah sebelumnya terjatuh. Ucok sanggup melewatinya dengan mendorong. Tapi beban di motor saya terlalu berat untuk didorong. Jadilah Ucok membantu setelah memarkir motornya sendiri di puncak tanjakan. Ketika kami sedang berjuang, sebuah motor bebek berpenumpang dua pemuda, melaju dengan santainya. Kami hanya bisa melongo dan tersenyum kecut, sembari berusaha mencari pembenaran bahwa beban motor kami memang berlebih.

Sejak itu, hal yang sama terus terjadi: gagal menanjak, terjatuh, dan Ucok selalu mondar-mandir membantu. Ucok sendiri selalu sukses mendorong motornya. Tapi beberapa kali terjerembab keluar jalur. Meski kali ini ke sisi sebelah kiri yang bertebing.

Sudah lewat tengah hari. Awan kelabu berubah menjadi lebih pekat. Angin dingin sarat uap air mulai berembus. Suhu udara makin turun. Juga pertanda bahwa kami sudah berjalan semakin tinggi.

Masih ada dua kampung lagi sebelum tiba di Ciptagelar. Kampung pertama semakin membuat nyali kami ciut. Aspal yang terkelupas sudah tidak terlihat sama sekali. Semuanya hanya batu.

Ibukota yang Selalu Bergerak

Kampung kedua adalah Ciptarasa. Inilah kampung terakhir sebelum memasuki kawasan hutan dantiba di Ciptagelar.

“Kira-kira masih sembilan kilometer lagi,” ujar seorang pemuda yang kami tanya.

Ciptarasa adalah bekas ibukota Kasepuhan Ciptagelar selama 18 tahun, sebelum dipindahkan tahun 2001 ke lokasi yang lebih tinggi. Kesatuan Adat Banten Kidul ini memang memiliki tradisi memindahkan pusat kasepuhan sesuai ‘bisikan leluhur’. Kasepuhan sendiri berarti ‘sesuatu yang tua’ atau ‘tempat para tetua’. Bersama kepindahan itu, turut serta struktur adat seperti Baris Kolot (penasihat adat) dan bangunan-bangunan utama seperti Imah Gede (sejenis Istana Negara), lumbung utama (leuit Jimat), dan fasiltas umum lainnya.

Karena itu rumah warga Ciptagelar tak ada yang permanen. Semua dari kayu dan bambu. Bila ada keluarga yang memutuskan ikut pindah, sawah dan ladang yang lama tetap dapat dikelola atau dipindahtangankan ke orang lain. Ini mirip bedol desa.

Tapi saat pindah tahun 2001, pemimpin adat almarhum Encup Sucipta alias Abah Anom, meninggalkan bangunan Imah Gede di Ciptarasa, lalu membangun yang baru di Ciptagelar. Hanya bangunan lumbung utama (Jimat) yang diboyong.

“Agar kalau ada tamu, mereka bisa istirahat di sini,” tutur pemuda yang memuji kami bisa tembus sampai Ciptarasa dengan motor standar dan barang bawaan sebanyak itu.

Sebelum di Ciptarasa, pusat kasepuhan berada di kampung Ciganas yang ditempati sejak tahun 1975. Pusat kasepuhan yang paling lama ditempati adalah kampung Sirnaresmi antara 1956 sampai 1975. Sebelum Sirnaresmi, ada kampung Cicemet (1940-1956).

“Setiap kepindahan atas perintah leluhur. Mengandung maksud dan jawaban atas tantangan zaman,” kata Yoyo Yogasmana, warga Ciptagelar yang kami temui belakangan.

Nama Ciptagelar sendiri berarti ‘terbuka’, juga ‘pasrah’.

“Fasenya memang sedang begitu. Zamannya sedang begitu. Karena itu Abah sangat adaptif terhadap teknologi dan pendulum zaman sedang bergerak ke (peradaban) Barat. Tidak akan bisa dilawan, karena memang sedang masanya. Nanti akan ada waktunya semua kembali ke Timur. Kita harus bersiap bila masa itu tiba. Jadi bukan pasrah begitu saja,” pungkas Yoyo.

Abah yang dimaksud adalah pemuda 29 tahun bernama Ugi Sugriana Rakasiwi atau Abah Ugi. Saat umur 22 tahun, ia sudah didapuk menggantikan ayahnya, Abah Anom yang mangkat tahun 2007.

Begitu juga saat Abah Anom menggantikan almarhum ayahnya, Abah Arjo, usianya bahkan baru 16 tahun. Tapi abah-abah muda ini adalah pemimpin adat yang progresif. (baca: Energi dari Gunung Halimun – The Geo Times)

http://geotimes.co.id/kebijakan/lingkungan/14043-energi-dari-gunung-halimun.html.

Bagi warga Ciptagelar, berapa pun usianya, abah dan istrinya (emak) adalah ayah dan ibu mereka. Penghormatan diberikan layaknya seorang anak kepada orangtua. Demikian pula sebaliknya; perhatian, dedikasi, dan pelayanan, diberikan oleh abah dan emak kepada warga selayaknya orangtua terhadap anak.

Harmoni ini berujung pada kemampuan Ciptagelar menciptakan swasembada pangan dan menghasilkan energi listrik sendiri, tanpa menunggu hadirnya perusahaan setrum negara.

Inilah alasan kami berada di sini.

Empat Kesalahan

Perjalanan ke Ciptagelar dari Ciptarasa masih sembilan kilometer lagi. Kami mengisi bensin dari kios eceran. Harganya 8.500 rupiah per liter. Saat itu, pemerintah baru saja menurunkan harga bensin menjadi 6.700 rupiah setelah sebelumnya sempat dikerek hingga 8.500 per liter.

Sembilan kilometer ini adalah sembilan kilo terberat sepanjang perjalanan kami, sejauh ini. Tanjakan-tanjakan curam dan panjang mengiringi jalanan berbatu. Awan kelabu berubah menghitam. Rintik air mulai turun. Kami bertekad mencapai Ciptagelar sebelum gelap. Sebab, selepas Ciptarasa, hampir tak ada lagi warga yang melintas. Hanya ada hutan di antara kami dan pusat kasepuhan.

Kami makin sering beristirahat setiap usai mendorong motor melintasi tanjakan berbatu. Kami sudah merundingkan skenario terburuk: bila kami gagal mencapai perkampungan sebelum gelap, Ucok yang badannya lebih ringan, akan melanjutkan perjalanan sendiri tanpa barang bawaan untuk mencapai kampung dan mencari pertolongan. Saya sendiri akan menanti di hutan sembari menunggui barang bawaan.

Bila pertolongan datang, kami akan berbagi beban. Dengan beban motor yang lebih ringan, kami lebih mudah mencapai perkampungan.

Skenario ini nyaris kami jalankan setelah sebuah tanjakan panjang dan terjal yang tak bisa ditaklukkan. Bahkan Ucok dan motornya pun, kali ini tak sanggup lagi. Tenaganya juga sudah terkuras habis.

Rekaman videonya bisa disaksikan di sini: https://www.youtube.com/watch?v=wcTFnLiqyYU

Tepat setelah merekam video tadi, hujan mulai turun. Ucok berusaha terus mendorong motornya, tapi akhirnya kandas di pinggir tebing.

Saya sudah melucuti barang bawaan dan segera meminta Ucok memakai motor saya untuk mencapai kampung.

Tapi pertolongan datang di waktu yang tepat. Suara motor menderu dari arah depan dan belakang kami. Pengendara dari depan adalah dua pemuda yang segera membantu menarik motor Ucok dari pinggir tebing. Sedang yang dari arah belakang, seorang lelaki berbadan gempal, berwajah ramah.

“Kenapa ini?” tanyanya dalam Sunda halus.

“Tidak kuat menanjak, Pak. Mau ke Ciptagelar,” sahut kami.

“Wah, ini belum ada apa-apanya. Masih ada tiga tanjakan yang lebih tinggi dari ini.”

Kami menciut.

“Kalau barang, bisa saya bawakan. Tapi apakah motornya sanggup?” tanyanya lagi.

“Sanggup, Pak,” sahut kami tanpa pikir panjang. Sebab kami yakin, biang utamanya adalah berat beban barang.

Tapi sejurus kemudian, lelaki bernama Hodo itu menunjukkan biang-biang yang lain. Dari kuliah singkat di tengah hutan itu, kami mencatat setidaknya ada empat kesalahan yang kami lakukan.

Pertama, jenis ban motor kami yang bermotif tahu, tidak cocok untuk medan berbatu. Ban motor seperti itu cocok untuk medan berlumpur atau tanah liat. Ketika bertemu batu, ia justru tak mencengkeram dan licin. Ban yang cocok untuk jalanan berbatu adalah ban biasa yang justru dipakai sehari-hari di jalanan aspal di kota-kota.

Kedua, tekanan angin di ban kami terlalu keras, sehingga karet ban tidak cukup menempel di bebatuan dan mudah tergelincir. Lalu Hodo pun membuang angin di keempat ban kami.

Ketiga, barang bawaan kami terlalu banyak.

Keempat, dengan ketiga kesalahan itu, kami berjalan di saat yang juga kurang tepat: musim hujan.

Dari keempat kesalahan itu, hanya kesalahan kedua dan ketiga yang ada solusinya. Maka dengan tangkas, Hodo segera memindahkan sebagian barang kami ke jok motornya.

“Saya tunggu di kampung ya,” cetusnya.

Kami pun bergegas. Hujan sudah lama turun menderas.

Benar saja, dengan hanya beberapa barang bawaan, kami lebih bertenaga menapaki tanjakan demi tanjakan. Beberapa kali tetap harus mendorong karena memang Hodo tak berbohong: tanjakan tadi belum ada apa-apanya.

Tukang ojek di Pelabuhan Ratu juga tidak berbohong. Bagi warga lokal seperti Hodo, jarak 28 kilometer itu memang hanya ditempuh dua jam saja. Sedangkan kami dan empat kesalahan kami, menapakinya selama delapan jam.

Tepat menjelang gelap, setelah sebuah tanjakan pamungkas, kami melihat bentangan sawah dan deretan lumbung di kejauhan. Referensi di internet juga akurat: setelahnya, kami akan bertemu warung yang menjual mi rebus dan kopi panas.

Kemewahan tiada tara. Melengkapi kemewahan mencium bau tanah tersiram hujan di bumi Kasepuhan Ciptagelar.

Wilujeng sumping...  [BERSAMBUNG]

DANDHY D. LAKSONO | SUPARTA ARZ | EKSPEDISI INDONESIA BIRU

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.