Thursday, April 25, 2024
spot_img

CITIZEN | Berharap Salju Turun di Tangse

SAYA berharap suatu hari nanti salju bisa turun di Tangse. Agar masyarakat di sana bisa merasakan kedinginan dan keindahan salju seperti yang saya rasakan sekarang ini.

Tangse –begitu nama kecamatan tempat saya dilahirkan– merupakan sebuah daerah di selatan Kabupaten Pidie, Aceh.

Saya tidak tahu apa arti sebenarnya dari Tangse itu. Yang saya tahu, berdasarkan cerita seorang kakek, yang rumahnya bersebelahan dengan rumah saya, Tangse adalah perkampungan tempat rakyat Aceh yang diasingkan oleh Belanda dan juga dijadikan sebagai benteng pertahanan Belanda, Jadi, selama perang Aceh dengan Belanda, Tangse hanya dijadikan sebagai benteng dan juga tempat perasingan. (Ada pendapat yang bilang Tangse berasal dari kata tangsi, yang berarti barak militer).

Tangse terletak di kawasan pergunungan. Dari Beureunuen, ibukota Kecamatan Mutiara, Tangse berjarak sekira 50 kilometer atau dua jam perjalanan.

Mendengar nama Tangse langsung kita teringat pada buah durian atau beras Tangse yang dulu begitu terkenal di Aceh, belum lagi kita bicarakan soal jamilah-jamilah (baca: gadis) yang ada Tangse.

Banyak yang pernah mendengar nama Tangse tapi sedikit di antara mareka yang pernah datang ke Tangse. Nama Tangse kita pernah mendengar di lagu-lagu Aceh, contohnya “Jamilah Tangse” sebuah lagu yang pernah dinyanyikan oleh Yakob Tailah atau “Ie krueng Tangse di lee u Gumpang” lagu yang pernah dinyanyikan oleh seorang artis terpopuler di Aceh, Armawati AR.

Tangse juga terkenal dengan Gunong Halimon, sebuah gunung yang menurut cerita orang Tangse adalah gunung aulia. Di sini pula, Hasan Muhammad di Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka, yang kelak menuntut merdeka dari Indonesia. Deklarasi ini melahirkan perlawanan panjang antara Aceh dengan Jakarta (baca: Indonesia).

Saya menulis artikel ini penuh dengan kerinduan dan linangan air mata. Tapi walau demikian saya harus menulis sampai selesai, sekalipun untuk sekedar membagi-bagikan apa yang sedang saya alami di tengah kerinduan untuk Tangse. Saya berharap dengan menulis artikel ini akan menjadi sebuah penawar rindu di saat-saat saya mengenankan Tangse.

Saya adalah anak kelahiran Tangse yang sekarang sudah menetap di Denmark setelah meninggalkan Tangse 10 tahun yang lalu.

Meninggalkan Tangse adalah sebuah perkerjaan yang sangat berat dan sedih bagi saya, bahkan dengan linangan air mata saya memandang gunung-gunung Tangse dalam perjalanan yang terakhir. Hingga saat ini semua kelurga dan saudara saya masih tinggal di Tangse. Saya tinggalkan Tangse bukan karena sudah jenuh tinggal di sana, tapi dikarenakan dengan alasan yang sangat tertentu waktu itu.

Sekarang di tengah-tengah keributan dan kesibukan kota-kota yang ada di Eropa saya selalu mengenangkan ketentraman dan kenyamanan kota Tangse.

Teringat pada sebuah lagu yang sering dinyayikan di gampong pada massa saya masih kecil. “Kota Tangse boh hate hawa jih lupie, kota dalam gle dalam gle bak bineh rimba, penduduk jih rajin bak pula pade oh sayang meyoe alam Tangse di thé u lua“. Waktu saya kecil, sering lagu itu saya dengar dinyanyikan untuk menghiburkan masyarakat, memberi spirit dan semangat khusus bagi orang Tangse.

Bagi mareka yang pernah datang ke daerah di atas bukit ini, banyak yang tergoda dengan hawa dingin yang merasuk ke dalam jiwanya, dengan pemandang yang begitu indah air-air terjun kecil atau air-air sungai seputih salju. Tentunya, pemandangan itu dinikmati sambil melahap nikmatnya buah durian dengan pasangan atau kelurga yang mareka cintai.

Nah, dalam kedinginan salju di kota Aalborg, kota tempat saya menetap sekarang, yang sudah dihiasi dengan lampu warna-warni untuk masyarakat Denmark meyambut hari Natal dan tahun baru, saya merindukan dingin dan indahnya kota Tangse.

Saya berharap suatu hari nanti bisa turun salju di Tangse supaya masyarakat Tangse bisa merasakan kedinginan dan keindahan salju seperti yang saya rasakan sekarang ini.

Harapan khusus saya pada orang Aceh dan khususnya warga Tangse untuk selalu menjaga alam, supaya ie raya bungga dan banjir bandang awal 2011 tak lagi berulang. Ke depan, semoga daerah dingin ini bisa dijadikan destinasi wisata. [c]

ANWAR OMAR, aktivis World Achehnese Association, Ketua Pemuda Aceh di Denmark

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU