Friday, April 26, 2024
spot_img

CITIZEN | Terpujilah Engkau Wahai Guru

BENAR adanya jika gelar pahlawan tanpa tanda jasa layak disematkan pada seorang guru. Andai tidak mengalaminya secara langsung, boleh jadi saya anggap julukan tersebut berlebihan. Ya, tidak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa menjadi guru adalah pekerjaan kreatif dengan tingkat kerumitan yang sangat tinggi.

Semula saya pikir, menjadi guru adalah pekerjaan hati. Asalkan punya niat dan dedikasi, semua orang bisa jadi guru. Tapi tulus saja ternyata tidak cukup. Seorang guru harus memiliki ‘keahlian’ tersendiri yang menurut saya agak-agak kompleks. Mulai dari mengenali psikologi anak, merancang metode belajar yang kreatif, hingga mengajak orang tua untuk terlibat dan berperan aktif dalam mendidik siswanya.

Sebagai fasilitator, guru juga dituntut untuk mampu melejitkan semua potensi siswa hingga ke kondisi akhir terbaiknya. Apalagi pada dasarnya setiap manusia dilahirkan unik dengan kecerdasannya masing-masing. Inilah tantangan yang sebenarnya, dimana guru harus menjadi seorang yang INSPIRATIF !

Berbicara tentang peran guru memang tidak sederhana. Standar bagi guru untuk memiliki berbagai kompetensi menjadi tantangan tersendiri. Bayangkan yang dihadapi guru bukanlah satu atau dua siswa, tapi bisa tiga puluh bahkan empat puluh siswa per kelas. Belum lagi waktu kerjanya, yang harus intensif menyiapkan materi, membuat soal, melakukan evaluasi, dan beragam tugas administrasi lainnya.

Sedemikian besarnya peran guru, sehingga ekspresi wajahnya, nada suaranya, sikap dan perilakunya akan menjadi model bagi anak didiknya. Sekian jam bersama guru kelas, dalam waktu minimal setahun, tentu akan berkorelasi dengan sikap dan cara pikir seorang siswa. Apalagi bukan hal yang mudah membangun karakter seseorang. Selain harus memiliki kepekaan terhadap kebutuhan anak, guru juga harus memberikan lingkungan yang aman dan nyaman bagi siswa secara fisik dan psikologis.

Lebih jauh lagi, peran guru sangat diperlukan dalam membantu siswa belajar, menstimulasi rasa ingin tahu dan imajinasi siswa dengan cara bermain, mendorong siswa untuk berani bertanya, membiasakan hal-hal yang baik untuk siswa, membantu siswa memecahkan masalah yang sederhana, dan segenap bantuan lain dalam rangka menngembangkan emosi, intelektual, bahasa, dan sosial anak.

Di sinilah guru punya peranan yang sangat vital dalam membentuk lingkungan belajar yang menyenangkan dan selanjutnya menentukan apakah anak akan ‘ketagihan’ belajar di sekolah atau malah ‘apatis’ dan muak dengan mata pelajaran. Tidak peduli sebagus apapun sistem di sekolah tersebut, keberhasilan dalam proses kegiatan belajar mengajar, menurut saya sangat ditentukan oleh pendekatan yang dilakukan sang guru dan bagaimana ia menarik minat siswanya agar tertarik belajar.

Guru yang berhasil, adalah mereka yang mampu mengantarkan siswanya untuk memahami suatu materi dari konsep awal hingga aplikasinya setahap demi setahap secara konstruktif, sehingga siswa dapat menemukan manfaat materi yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Ibarat naik tangga, guru perlu mengajarkan siswa menapak tangga satu demi satu dengan mantap, bukan menyeret anak dengan ‘semangat’ untuk terus naik tangga sehingga anak terengah-engah dan malah tak mau naik tangga lagi. Guru yang menginspirasi, adalah mereka yang mampu memupuk dan menumbuhkan nilai-nilai positif pada diri siswa, sehingga nilai tersebut melekat dan tertanam dalam karakter anak, bahkan terekam dalam memori jangka panjangnya.

Sebagai salah satu pilar pembangun karakter bangsa, guru memang dituntut untuk mempertahankan idealismenya serta dinamis meningkatkan kemampuannya dalam merancang pembelajaran kreatif bagi para siswa, sesuai dengan perkembangan zaman. Teladan mereka sangat diharapkan karena sebagian waktu siswa digunakan di sekolah.

Guru yang kompeten akan menggunakan berbagai metode dalam pembelajaran yang melibatkan berbagai aspek perkembangan siswa (fisik, motorik, emosi, sosial, bahasa, intelektual, pemahaman nilai-nilai) yang distimulasi secara proporsional. Strategi multiple intelegence juga digunakan untuk mengoptimalkan berbagai potensi kecerdasan majemuk yang ada pada siswa.

Seorang guru yang bermotivasi tinggi akan intensif mengamati dan kembali mengamati perilaku para siswanya (observe and re-observe, consider and re-consider) untuk melihat minat dan respon siswa terhadap materi yang dipelajari. Maka layaknya pepatah yang mengatakan “orang yang bisa membuat semua hal yang sulit menjadi mudah dipahami, yang rumit menjadi mudah dimengerti, atau yang sukar menjadi mudah, itulah seorang PENDIDIK SEJATI”, sebuah gambaran ideal seorang guru.

Kompetensi guru memang demikian penting. Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 disebutkan tentang empat kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh guru, yaitu: Pertama, Kompetensi pedagogik, berkaitan dengan kapasitas guru untuk memahami berbagai hal seperti karakteristik perkembangan anak, memahami teori dan prinsip belajar, mengembangkan kurikulum, berkomunikasi secara efektif, mengakses dan mengevaluasi proses dan hasil belajar;

Kedua, Kompetensi kepribadian, berkaitan dengan kapasitas guru dalam berperilaku sesuai dengan agama, sosial, budaya, dan hukum yang berlaku Indonesia, menjadi teladan bagi siswa, menunjukkan sikap percaya diri, serta mematuhi etika profesi guru;

Ketiga, Kompetensi profesional, berkaitan dengan kapasitas guru untuk memahami materi dan konsep sesuai dengan bidang ilmunya, serta mengembangkan situasi belajar kreatif; dan tentunya, Keempat, kompetensi sosial, berkaitan dengan kapasitas guru untuk bersikap objektif, tidak diskriminatif, dan memiliki kemampuan beradaptasi dengan pekerjaannya.

Pertanyaannya apakah ada banyak guru di negara ini kita saat ini yang sudah memiliki karakteristik tersebut, atau paling tidak mendekati? Mungkinkah Indonesia yang tengah terpuruk saat ini salah satunya dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran guru dalam memahami peran dan fungsinya mencetak generasi terbaik bangsa? Jawabannya mungkin saja.

Ditinjau dari sebaran kualitasnya, belum ada satu pun propinsi di Indonesia yang indeks mutu gurunya mencapai separuh dari nilai maksimal 10 (Analisis Data Guru 2009, Ditjen PMPTK). Itu artinya, masih banyak kompetensi yang belum dimiliki oleh seorang guru untuk menjalani perannya yang sangat besar. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa jumlah guru yang belum berkualifikasi secara nasional adalah 1.496.721 orang, dimana 75,2% dari jumlah tersebut adalah guru SD.

Bahkan menurut sebuah penelitian dari OECD Education at a Glance, UNESCO Education, suplai guru seringkali berasal dari 30% peserta didik dengan nilai terendah dalam sebuah kelas. Namun demikian hal ini tentu tidak boleh membuat kita pesimis, karena pastinya tidak semua guru seperti itu dan bisa jadi ada sebagian oknum guru yang mengidap ‘penyakit akut’ sehingga berpengaruh pada profesionalisme mereka. Inilah tantangan bagi kita dalam membangun pendidikan, agar janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat dilunasi.

Begitulah, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, guru tetaplah manusia biasa. Namun memberikan sanjungan kepada guru tentunya merupakan hal yang pantas dan memang harus dilakukan sebagai seseorang yang tahu berterima kasih. Karena siapapun kita, apa pun posisi kita tidak terlepas dari peran guru. Sebagai seorang manusia yang mempunyai fitrah makhluk tidak sempurna, sudah dapat dipastikan seorang guru mempunyai beberapa hal yang harus diperbaiki.

Guru bukanlah orang yang dipuja-puji karena tahu segalanya. Bisa jadi siswa belajar pada ketidaktahuannya. Siswa jadi belajar bahwa mencari kebenaran itu tidak pernah berhenti. Guru juga bukanlah yang ditiru begitu saja karena tidak pernah tidak salah. Siswa juga bisa belajar dari kesalahan guru. Ia jadi tahu bagaimana harus memperbaiki kesalahan dan bertanggung-jawab atas kesalahan yang telah ia buat. Guru bukan sekedar mengajarkan ini itu pada muridnya tetapi orang yang membentuk sifat pembelajar hidup yang utuh pada anak didiknya.

Saya pun teringat sebuah pertanyaan sederhana dari sahabat saya beberapa tahun yang lalu. “Apakah setiap orang perlu menjadi guru, setidaknya beberapa saat dalam hidupnya, untuk sekedar merasakan pengalaman mendidik sebagai bekal mereka kelak ketika menjadi orang tua?”.

Waktu itu saya terdiam. Saya pikir itu proses yang alamiah, sesuai dengan kematangan dan kedewasaan seseorang. Itu keterampilan natural yang nanti pasti bisa sendiri. Tapi kali ini saya punya jawaban lain. Saya akan berkata padanya, “Ya, kalau kamu punya kesempatan untuk menjadi guru barang sejenak. Ambillah! Karena itu pekerjaan mulia yang akan memberikan banyak inspirasi dan motivasi untuk memperkaya jiwamu seumur hidup.” Maka terpujilah engkau wahai guru.

Menjadi guru adalah kehormatan bagi orang-orang yang terdidik untuk mendidik, karena sejatinya mereka adalah orang-orang luar biasa yang memilih jalan hidup sederhana. Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk semua hikmah, pelajaran, atau inspirasi yang telah engkau berikan, sekecil apapun.

Dimas Sandya, Pengajar Muda Aceh Utara – Gerakan Indonesia Mengajar yang mengajar di SDN 25 Sawang, Dusun Dama Buleuen (Araselo) dimana listrik dan air bersih adalah kemewahan yang langka

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU