Saturday, April 20, 2024
spot_img

Data itu Mahal?

Maraknya pemanfaatan data dan metode statistik dalam proses politik dan demokrasi di Indonesia, termasuk pada Pilkada Aceh 2017 ini, adalah pertanda baik. Seperti argumen dalam tulisan Data dan Pilkada: Menuju Demokrasi Baru Aceh penggunaan data dan statistik adalah pertanda kita sedang menuju demokrasi baru yang sebenarnya.

Selain mencerdaskan, penggunaan data juga ikut menjamin dan memastikan hadirnya pemilu dan pilkada yang bebas, jujur, dan adil. Karena data tak dapat berbohong. Walaupun pengguna data bisa berbohong, kebohongan itu pun bisa dengan mudah dipatahkan dengan data juga. Karena itu data sangat penting.

Metode statistik memastikan kita dapat memanfaatkan data dengan baik sehingga data menjadi informasi, pengetahuan, yang selanjutnya menjadi landasan kebijaksanaan (wisdom). Karena itu kita semua perlu melek dan sadar data. Kita juga perlu tahu metode-metode statistik sederhana. Karena inilah alat menuju masa depan bangsa yang lebih maju dan beradab.

Data mahal?

Maraknya penggunaan data di berbagai sektor, khususnya di dunia politik, ternyata telah membuat data dan para “ahli” yang mengolah data makin populer. Popularitas itu cepat meroket seirama dengan gegap-gempita pesta demokrasi yang makin maju.

Hitung cepat yang diperkenalkan oleh pemantau asing pada Pemilu 1999 mulai banyak dilakukan berbagai lembaga nasional pada pemilu-pemilu berikutnya. Sejumlah lembaga survei lahir dan besar sebagai pollsters. Dimulai oleh Denny JA dkk lewat Lembaga Survei Indonesia, kini hadir banyak lembaga sejenis. Partai politik pun ada yang membuat divisi litbang dan melakukan survei sendiri.

Menurut Wikepedia “Hitung cepat lazim dilakukan oleh lembaga atau individu yang memiliki kepentingan terhadap proses dan hasil pemilu. Tujuan dan manfaat dari hitung cepat adalah agar pihak-pihak yang berkepentingan memiliki data pembanding yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kemungkinan kecurangan yang terjadi pada proses tabulasi suara. Dengan hitung cepat, hasil pemilu dapat diketahui dengan cepat pada hari yang sama ketika pemilu diadakan. Jauh lebih cepat dibandingkan hasil resmi yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memakan waktu lebih kurang dua minggu. Selain itu dengan hitung cepat biaya yang dibutuhkan jauh lebih hemat daripada melakukan penghitungan secara keseluruhan.”

Lembaga-lembaga survei yang awalnya lahir dan besar di Jakarta, mulai merambah dan juga melakukan aneka survei di daerah seiring maraknya Pilkada yang mandiri, baik pemilihan kepala daerah tingkat provinsi (gubernur-wakil gubernur) maupun bupati-wakil bupati dan walikota-wakil walikota. Bahkan, dengan pemilihan langsung oleh rakyat di ratusan daerah, pemilu legislatif (pileg), dan pemilihan presiden (pilpres), lembaga dan pelaksana survei bisa bekerja terus-menerus sepanjang tahun.

Biaya hitung cepat yang “hemat” jadi sangat besar kalau diakumulasi sepanjang pilkada, pileg, dan pilpres. Jenis dan frekuensinya meningkat tajam. Makanya ada partai yang kemudian memanfaatkan litbang sendiri untuk melakukan berbagai survei ini.

Hematnya penyelenggaraan survei seperti hitung cepat (quick count) juga sirna saat ia dianggap sulit dan hanya bisa dlakukan oleh lembaga dari kota besar, khususnya Jakarta. Sekalipun enumerator bisa direkrut dari daerah, kontrak untuk pelaksanaan beragam survei itu tetap menjadi akumulasi modal di Jakarta.

Data menjadi terkesan makin mahal ketika berbagai lembaga survei ini bergerak lebih jauh dengan menjadi konsultan politik untuk partai dan atau calon dalam berbagai pemilu dan pilkada. Jika hitung cepat hanya sebuah survei yang dilakukan pada saat pemilu, aneka survei untuk memperkenalkan dan mem-branding partai dan calon legislatif maupun eksekutif dilakukan secara berulang sejak 1-2 tahun sebelum pemilu/pilkada.

Meskipun pekerjaan pollster dan konsultan politik adalah dua hal yang berbeda, keduanya diwarnai dengan penggunaan data hasil survei yang intensif dan cukup luas. Jasa keduanya makin dicari, permintaan meningkat, maka harga pun makin mahal.

Hak untuk tahu

Lantas apa masalahnya? Bukankah data itu memang mahal?

Data, apalagi data yang diperoleh dari survei yang serius, memang bisa jadi diperoleh dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, hanya pemilik modal, partai politik yang mapan dan besar, pengusaha, dan pemilik modal lainnya yang mampu membiayai sebuah survei besar, seperti survei-survei pemilu dan pilkada. Hitung cepat (quick count) termasuk di dalamnya.

Karena biaya yang dikeluarkan tidak sedikit, ketika data diperoleh sang pemesan atau pembuat survei bisa jadi tidak mempublikasikan hasil surveinya. Dan itu dianggap sah-sah saja karena yang membayar biaya survei adalah pemesan atau pembuat survei sendiri.

Namun anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Paling tidak, ia tidak sepenuhnya etikal. Ketika yang disurvei adalah masalah dan atau menggunakan pandangan publik, adalah sangat layak jika publik juga bisa tahu hasil sebuah survei. Ada istilah “report back” atau “melaporkan kembali” hasil penelitian, termasuk data dan informasi lewat survei, pada responden atau stakeholders yang terlibat.

Ini memang masalah etika atau kepatutan saja. Apalagi jika responden atau subjek penelitian yang bersifat agregat yang tidak bisa mengklaim kepemilikan pribadinya. Hitung cepat diperoleh dari hasil perhitungan pada setiap TPS. Hasil itu adalah milik publik. Lantas kenapa kemudian boleh dikomodifikasi oleh pembuat survei untuk quick count tapi tidak kembali dilaporkan ke publik? Bukankah itu sama dengan mengambil air dari sungai yang dianggap milik umum dan kemudian menjualnya kepada para pemiliknya?

Peran pemerintah dan kampus?
Kalaupun pihak swasta, partai politik, lembaga survei tetap berkilah untuk tidak mempublikasikan hasil survei yang menggunakan data publik, maka pemerintah dan kampus sebagai lembaga publik seharusnya menyediakan data yang ingin diketahui publik. Hasil hitung cepat pascapencoblosan pada setiap Pilkada dan Pemilu adalah data dan informasi yang menjadi hak publik. Artinya harus ada pihak independen dalam jajaran pemerintah dan kampus yang membuat quick count juga! Demi hak tahu masyarakat.

Sayang, quick count dalam sejarahnya justru seringkali dilakukan pihak pemerintah dan lembaga independen saat ada donor luar negeri. Pemilu 1999 misalnya ditandai oleh banyaknya lembaga donor yang membiayai quick count yang hasilnya segera bisa diketahui publik. Namun sejak itu, hitung cepat hanya dilakukan oleh pihak swasta dan partai politik untuk kepentingannya sendiri. Bahkan hitung cepat telah menjadi salah satu komoditas bisnis yang mahal!

Pihak donor (asing) tidak lagi membiayai bahkan dilarang memantau pemilu dan pilkada dengan cara apapun, termasuk dengan quick count. Mereka pun tidak menolak lagi pelarangan itu karena menganggap demokrasi di Indonesia sudah “tidak ada masalah lagi”. Sudah berjalan dan bahkan dipuji sebagai “demokrasi ketiga terbesar di dunia”.

Karena itu, sekali lagi, inisiatif yang dilakukan mahasiswa seperti HIMASTA Unsyiah yang membuat dan mengumumkan hitung cepat layak diapresiasi. Mereka akan ikut membantu kita agar data tidak makin mahal. Kalau tidak ada usaha seperti yang dilakukan mereka, maka bersiaplah untuk melihat data akan makin mahal karena makin dikomersilkan.

*Saiful Mahdi adalah Ketua Program Studi Statistika FMIPA Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Alumni Cornell University, Amerika Serikat. Menulis “Kolom Fakhrurradzie Gade” di AcehKita.com setiap Kamis. Dapat dihubungi lewat email: [email protected]

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU