Friday, March 29, 2024
spot_img

DATA | Mencoblos di Bawah Laras Senapan

PENGANTAR REDAKSI: Saat itu, Pemilu legislatif tahun 2004, tetap digelar meski saat itu Aceh sedang konflik dengan status Darurat Militer. Hasilnya, menurut ukuran penguasa darurat militer saat itu sangat luar biasa. Angka partisipasinya mencapai 94 % dan tidak ada pemilu ulang. Jadi sangat aman dan tidak menghabiskan uang negara sebagaimana di daerah lain akibat terjadinya pemilu ulang.

Kini, ingatan pada “kesuksesan” Pemilu masa lalu itu kembali diingat, untuk menjadi alasan penguat bahwa tidak ada alasan kuat untuk menunda Pilkada 2011 sebagaimana yang diminta oleh kalangan partai-partai setelah sebelumnya sempat disuarakan oleh sejumlah kalangan sipil.

Dulu, acehkita sempat melakukan peliputan terhadap pelaksanaan Pemilu 2004 dan sebanyak 38 liputan diterbitkan menjadi satu kumpulan liputan dengan judul Mencoblos di Bawah Laras Senapan : Kesaksian Para Jurnalis Peliput Pemilu 2004 di Bawah Status Darurat Militer NAD, April 2004. Bukan hanya liputan lapangan, acehkita juga melakukan kajian media terkait pemilu di Aceh. Dua judul kajian yang menarik adalah “Pemberitahuan Pemilu: Media Telah Steril” dan “Partai Jagoan Media Lokal.”

Bagaimana hasil liputan terhadap Pemilu 2004 itu barangkali bisa dilacak pada Kata Pengantar yang ditulis khusus untuk kumpulan hasil Liputan Jurnalis acehkita dengan judul Mencoblos di Bawah Laras Senapan: Kesaksian Para Jurnalis Peliput Pemilu 2004 di Bawah Status Darurat Militer NAD, April 2004, berikut:

PELAKSANAAN Pemilu 2004 di Aceh sudah berlangsung. Pemilu tahap pemilihan anggota legislatif ini oleh pihak PDMD dinyatakan sukses, lancar, dan aman. Indikatornya, tidak ada pemilu susulan dan diikuti oleh 94.00 % penduduk Aceh. “Berkat TNI/Polri, pemilu di Aceh berlangsung aman dan sukses,” tegas Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Ryamizad Ryacudu.

Mengikuti logika di atas, maka seluruh prediksi pihak-pihak yang berkeberatan dengan pelaksanaan pemilu di bawah darurat militer ternyata tidak terbukti. Malah, sebaliknya, dibawah kekuasaan militer, angka partisipasi rakyat dalam pesta demokrasi lima tahunan bisa sangat sukses, aman, dan lancar tanpa harus ada pemilu susulan. Berbeda dengan daerah yang pelaksanaan pemilu tidak di bawah darurat militer, ternyata banyak sekali pemilu susulan, yang jika dituruti akan menghabiskan uang negara.

Dalam konteks Aceh, logika tersebut mengandung pesan sangat tegas. Bahwa jika Aceh tidak dikawal dengan darurat militer maka pelaksanaan pemilu tahap pemilihan presiden tidak akan sukses dan aman. Paling tidak, logika ini sedang diamini dengan sejumlah kegiatan demo menuntut perpanjangan darurat militer di Aceh. Bahkan, gagasan Susilo Bambang Yudoyono (SBY), calon presiden dari Partai Demokrat untuk menurunkan status Aceh menjadi Tertib Sipil, ditentang keras oleh H Nur Nikmat, yang oleh media disebut sebagai tokoh masyarakat Aceh.

Mengapa SBY justru tidak mengikuti arus suara seperti yang disampaikan dalam kegiatan demo masyarakat di Aceh? Ada yang bilang, sebagai mantan Menko Polkam yang sekaligus penanggungjawab soal darurat militer di Aceh pasti sangat paham mana suara kebenaran dan mana suara pesanan.

Dengan demikian, Pemilu yang seharusnya bisa menjadi justifikasi politik pemerintah untuk menyatakan dukungan rakyat Aceh pada Indonesia, justru menjadi “rumitisasi” politik baru yang menyengsarakan rakyat di Aceh. Jika ini dibiarkan terjadi pada Pemilu Presiden, 5 Juli 2004 dan pemilu-pemilu selanjutnya, bisa jadi apa yang dialami oleh rakyat di Aceh saat ini menjadi alat justifikasi banyak pihak untuk menyatakan bahwa rakyat Aceh bukan hanya dikerasi secara fisik, didiskriminasi secara hukum, tapi juga mendapat pemaksaan dalam bidang demokrasi. Memang, ada dukungan dari pihak asing terhadap Pemilu 2004 di Aceh. Tapi, dukungan ini jelas sangat politis dan temporer. Bahkan, ada yang menyatakan bahwa pernyataan pemantau asing bahwa pemilu di Aceh sudah sangat baik sebagai barter agar pemerintah bersedia menahan orang-orang yang mereka sebut sebagai aktor terorisme.

Kalau sudah begini, penangganan Aceh secara demokratis dan damai akan semakin sulit untuk dicapai. Lantas, apakah Aceh hendak terus menerus di darurat militerkan? Tergantung pada bagaimana seluruh rakyat Indonesia menerima informasi tentang Aceh. Dan untuk itu, kami akan terus menginformasikan fakta-fakta Aceh secara jujur dan independen. Kami percaya, dengan informasi yang jujur kita bisa memberi penilaian tentang konflik Aceh secara betul, menetapkan kebijakan penangganan Aceh secara benar, dan membuat agenda perdamaian di Aceh secara tepat. Semoga. [redaksi]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU