Thursday, March 28, 2024
spot_img

Dayah Al Aziziyah, Markas Penghapus Dendam Konflik

AZAN zuhur baru saja berkumandang saat Lukman bergegas menuju ke tempat wudhu. Ia kemudian menuju sebuah balai kayu untuk melaksanakan salat zuhur berjemaah. Usai salat yang dilanjutkan dengan zikir dan doa, Lukman bersama temannya menyebar ke beberapa balai untuk mengikuti pengajian.

Remaja 19 tahun itu merupakan satu dari 180 santri yang mondok di pesantren Markaz Al Ishlah Al Aziziyah, Lueng Bata, Banda Aceh. “Selama puasa, kami mengaji usai salat zuhur dan malam,” kata Lukman kepada acehkita.com akhir Juli 2013.

Lukman sudah delapan tahun mondok di pesantren yang sebelumnya dikhususkan untuk korban konflik ini. Pemuda asal Alue Papuen, Kecamatan Nisam, Aceh Utara, ini merupakan satu dari puluhan anak-anak korban konflik yang ada di pesantren ini.

Ia ingat betul peristiwa yang menewaskan ayahnya, Usman. “Ayah saya ditembak saat sedang salat magrib di sebuah meunasah (surau) pada tahun 2000,” jelasnya. Ayahnya ditembak pasukan pemerintah.

Berselang empat tahun setelah ayahnya meninggal, Lukman kemudian diajak oleh seseorang untuk tinggal di Dayah Markaz Al Ishlah Al Aziziyah –yang artinya pusat sentral perdamaian. Bukan tanpa alasan Lukman mondok di pesantren ini. Saat konflik masih berkecamuk, anak korban konflik merasa tidak aman hidup di kampung halamannya.

“Saya memilih mondok di sini karena di kampung waktu itu tidak aman. Apalagi jika ada salah seorang anggota keluarga merupakan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM),” kata Lukman.

Saat pertama mondok, Lukman yang masih kelas IV sekolah dasar ditempatkan satu kamar dengan anak seorang Brimob yang juga korban konflik Aceh, yang ayahnya dibunuh pasukan gerilyawan. Mulanya tak mudah memupus kebencian terhadap aparat pada diri Lukman. Bahkan, Ia kerab berantam dengan teman sekamarnya kala itu. Namun lama kelamaan, mereka saling memahami. Rasa benci dan dendam yang sebelumnya membara dalam diri Lukman, akhirnya hilang.

“Sekarang saya tidak benci lagi sama TNI dan Brimob. Kami di sini sekarang sudah berteman dengan anak-anak korban konflik lainnya,” jelas Lukman.

Selama di pesantren, Lukman bersama puluhan santri lainnya diwajibkan untuk salat lima waktu secara berjemaah. Setelah salat, mereka harus mengikuti zikir, doa dan melanjutkan pengajian rutin. Mereka juga diwajibkan untuk salat tahajud pada malam hari.

“Dengan salat tahajud jiwa mereka bisa tenang, mereka bisa merenung tentang diri mereka,” kata Teungku Bulqaini Tanjongan, pemimpin Dayah Markaz Al Ishlah Al Aziziyah.

Selain itu, santri juga memiliki serangkaian kegiatan ekstrakulikuler seperti belajar zikir barzanji, tarian sufi khas Aceh Rabbani Wahid, olahraga dan lainnya.

***

Usai salat zuhur, Teungku Bulqaini Tanjongan, pemimpin Dayah Markaz Al Ishlah Al Aziziyah, melanjutkan salat sunat dua rakaat dan kemudian membaca zikir dan doa. Sejurus kemudian, ia mulai mengajari santri tentang ilmu agama.

Pada mulanya, dayah yang ia didirikan pada 2002 silam itu hanya dikhususkan untuk menampung anak-anak yang kehilangan orangtuanya akibat konflik antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tak hanya anak warga sipil yang ditampung, namun anak kedua belah pihak yang bertikai juga turut ditampung.

“Saya mendirikan pesantren ini untuk menghilangkan rasa dendam di dalam benak anak-anak korban konflik,” kata Bulqaini.

Konflik bersenjata yang terjadi di Aceh telah merenggut banyak nyawa. Ribuan anak kelihangan orang tua dan orang-orang terdekatnya. Tentu saja, anak-anak ini masih menyimpan dendam terhadap orang-orang yang telah membunuh orang tua mereka. Menurut Bulqaini, dendam adalah masalah serius di Aceh. Jika dendam ini tak bisa dihilangkan, konflik baru akan pecah di bumi Serambi Mekkah.

“Tinggal kita sulut anak-anak ini, perang akan terjadi kembali di Aceh. Karena rata-rata anak ini masih menyimpan dendam. Tapi bukan itu yang kita inginkan,” jelas mantan ketua Rabithah Thaliban Aceh ini.

Menurut Bulqaini, dendam dapat diatasi dengan dua hal yaitu ilmu agama dan ilmu umum. Di pesantren yang dipimpinnya itu, para santri diajarkan ilmu agama dengan metodenya mengadopsi gaya pesantren salafi. Sedangkan untuk sekolah, santri yang masih duduk di bangku sekolah dasar dimasukkan ke sekolah terdekat dan mereka yang sudah di jenjang sekolah menengah akan disekolahkan di Madrasah Tsanawiyah atau Aliyah terdekat. Semuanya gratis, ditanggung dayah.

“Selesai Aliyah mereka ada yang melanjutkan kuliah di beberapa universitas di Aceh,” ungkapnya.

Bulqaini membiayai pendidikan dan kehidupan anak-anak ini dari sumbangan orang-orang dermawan. “Biaya di sini kadang ada kadang tidak,” ujarnya.

Teungku Bulqaini bercerita tentang ikhwal berdirinya pesantren ini. Ketika konflik memanas sekitar tahun 2000, ia masih menjabat sebagai ketua Rabithah Thaliban Aceh, sebuah organisasi kemanusiaan yang digerakkan para santri, untuk membantu advokasi hak-hak korban.

Suatu ketika, ia berkunjung ke tempat penampungan pengungsian korban konflik di kawasan Beureunuen, Pidie. Di sana, ia berbaur dengan anak-anak korban konflik. Sejurus kemudian, ia memperlihatkan sebuah Tabloid ADIL yang covernya memuat gambar seorang komandan sebuah pasukan elit di negara ini.

“Kemudian saya bertanya sama mereka ‘siapa yang di foto ini?’” kenang pria yang disapa anak didiknya dengan panggilan Tu ini.

Jawaban yang didengarnya cukup mengagetkan. Serentak anak-anak itu menjawab, “Itu pai, (sebutan untuk TNI semasa masih konfllik –red). Orang yang telah membunuh orang tua kami.”

Mendengar jawaban itu, bumi yang dipijaknya serasa gempa. Ia terkejut bukan kepalang. Hatinya saat itu sedih mengingat nasib Aceh masa depan.

Bukan tanpa alasan anak-anak itu mengatakan demikian. Di cover tabloid itu, jendral itu mengenakan seragam TNI. Beberapa anak-anak di kamp pengungsian itu masih trauma dengan tentara.

“Setelah mendengar jawaban dari mereka, saya sedih. Mengingat potensi pertumpahan darah sangat besar ke depan jika ini tidak segera diatasi. Karena dendam di Aceh sangat besar,” jelasnya.

Setelah pulang dari sana, Teungku Bulqaini bertekad mendirikan pesantren dengan tujuan untuk memutuskan mata rantai dendam di dalam dada anak-anak korban konflik ini. “Saya ingin anak-anak ini tidak lagi benci terhadap orang-orang yang telah membunuh orang tua mereka,” ungkapnya.

Tekad Bulqaini untuk mendirikan pesantren ini terwujud selepas ia pulang dari Amerika serikat pada 2001. Ia bertandang ke negeri Abang Sam untuk memenuhi undangan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Sepulang dari sana, ia merogoh simpanannya sekitar Rp40 juta untuk membeli sepetak tanah rawa di Lueng Bata. Pada tahun 2002, pembangunan pesantren ini baru dilakukan.

Setelah pesantren itu berdiri, ia kemudian mulai mengumpulkan anak-anak yang orang tuanya dibunuh oleh TNI/Polri maupun GAM. Pada saat pertama didirikan, bangunan di pesantren ini hanya terbuat dari kayu. Bahkan ada sebagian kayu yang digunakan untuk pesantren ini merupakan sumbangan dari seorang pendeta.

“Saat itu, pendeta itu menghubungi saya dan menawarkan sumbangan berupa kayu bekas pembongkaran sekolah Methodis,” ungkapnya.

Awalnya, tak mudah bagi Teungku Bulqaini untuk meleburkan “dua dendam” anak-anak korban konflik ini. Namun, dengan mengajarkan ilmu agama, lama kelamaan dendam yang ada di benak anak-anak ini hilang.

“Dengan agama semua beres. Agama ini bisa menyatukan anak korban konflik sehingga tidak ada lagi rasa dendam terhadap orang-orang yang berbeda pandangan dengan orang tua mereka,” jelasnya.

Bulqaini punya trik khusus untuk menyatukan anak-anak ini. Selain dengan ilmu agama, mereka juga ditempatkan satu kamar dengan anak-anak yang orang tuanya beda pandangan. “Di sini, anak GAM saya tempatkan sama anak Brimob maupun TNI,” kata Teungku Bulqaini.

Selain itu, trik yang digunakan Bulqaini untuk memutuskan dendam di benak mereka adalah dengan cara memberi wawasan kepada mereka di sela-sela waktu luang. Bahkan, kadang Bulqaini meminta anak didiknya itu untuk memijit seluruh badannya. Di saat itulah ia kemudian meminta kepada anak didiknya untuk menceritakan peristiwa yang dialami orang tuanya.

Mendengar kisah dari anak-anak itu, Bulqaini kerap bercucuran air mata. “Saat saya minta mereka bercerita, seluruh lampu saya padamkan. Kemudian mereka bercerita secara terbuka tentang peristiwa yang dialami oleh orang tua mereka,” jelasnya.

Bahkan, kata Bulqaini, ada seorang anak yang membeberkan nama-nama orang yang telah membunuh ibunya. Semuanya, ada ada sekitar 15 orang. Anak itu kemudian bercita-cita ingin menjadi tentara untuk membalas dendam kematian ibunya. Bulqaini sangat mendukung cita-cita anak ini. Menurutnya anak-anak yang sedang bercerita dengan serius tidak boleh dibantah.

“Kita harus support dulu terhadap anak yang membenci orang yang telah membunuh orang tuanya. Tapi setelah itu baru kita masuk tentang agama bahwa dosa orang tua kamu ditanggung oleh orang yang telah membunuh orang tau kamu,” ujarnya.

Pascatsunami menerjang Aceh 2004 silam, Markaz Al Ishlah Al Aziziyah dibuka untuk umum. Kini, pesantren itu menampung anak-anak korban konflik, yatim tsunami dan anak yatim muallaf.

Pun demikian, Bulqaini masih menyimpan impian yang belum terwujud di antaranya yaitu ingin mendirikan perguruan tinggi agama di komplek pesantren. “Bantuan untuk mendirikan perguruan tinggi ini sudah ada. Tapi yang menjadi masalah sekarang adalah tanahnya belum ada,” ungkapnya.

***

Lukman sekarang mondok di pesantren ini bersama adik kandungnya, Saridin, 12 tahun. Kini, ia yang baru saja lulus SMK Negeri 2 Banda Aceh jurusan kelistrikan itu tak lagi berpikir soal balas dendam terhadap orang yang telah mengakhiri hidup ayahnya. Ia kini hanya sibuk mengabdi di dayah yang sudah membesarkannya dan membuka wawasannya tentang ilmu agama dan ilmu hidup.

“Biasanya, siswa yang sudah lulus sekolah harus mengabdi dulu di sini selama dua tahun. Nanti setelah itu, baru saya pikir apakah melanjutkan kuliah atau bekerja,” ungkap Lukman.

Teungku Bulqaini pun tak henti-hentinya memberi wawasan tentang ilmu agama dan ilmu umum untuk mereka. Ia berharap kelak, tak ada lagi perang baru di Aceh akibat dendam konflik ini.

“Cara satu-satunya untuk mengatasi konflik baru adalah dengan memberi dua ilmu itu. Kalau mereka sudah saling kenal, bertemu setiap hari dan bermain bersama, Insya Allah mereka akan berdamai,” kata dia. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU