Friday, March 29, 2024
spot_img

ESAI | Menggugat Perupa tanpa Pameran

SAYA KAGET. Di komunitas Krak Aceh Ulee Kareng kemarin ternyata telah berkumpul banyak para pemuda dan pemudi juga beberapa senior. Mereka adalah para perupa dalam lintas panjang, dari komikus sampai pengusaha bingkai. Setidaknya keberadaan mereka memenuhi keterwakilan lintas rupa. Saya datang sedikit telat dari undangan saudara Fadhlan Bahtiar, sang perupa berkacamata. Heran dan sedikit tidak percaya. Bahwa ternyata selama ini kita tidak sendiri dalam bergalau dan gelisah kesenirupaan. Kalau dulu saya secara pribadi paling banter berdiskusi panjang lebar semata-mata dengan bang Iswadi (dia sering dipanggil Cek Is). Dari diskusi lukisan sampai hal-hal yang tidak masuk akal. Terutama jika sedang sama-sama menangani urusan mewarnai dinding.

Benar kata orang. Jika mabuk jangan sendirian, bisa OD (overdosis) bahkan menemui ajal dalam kamar. Hal ini benar adanya. Karena terlalu sering gelisah dengan keadaan perkembangan senirupa di lingkungan saya. Oh iya, terlalu melambung kalau saya katakan ini kegalauan saya semata. Maksud saya, saya gelisahnya begini. Ketika sedang melukis, saya sering pesimis. Kelak lukisan ini akan saya kemanakan. Apakah ia akan menjadi penghuni lantai bawah Bivak Emperom di rumah Komunitas Kanot Bu, Lamteumen. Yang kalau hujan terlalu lama pastilah banjir karena tidak ada saluran pembuangan (ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kesenirupaan). Tapi, sudahlah. Karena keinginan melukis seperti ereksi saja dalam seminggu. Kadang berbirahi, kadang loyo tak bersemangat.

Namun, karena ruang pamer di Banda Aceh tidak tersedia secara representatif juga ketiadaan kurator, setidaknya orang yang memberi pengantar singkat dalam brosur pameran. Keinginan untuk melukis seseriusnya menjadi tidak terlalu disiplin. Ini menjadi tantangan tersendiri di mana kita dituntut untuk terus berkarya meskipun karya tidak masuk dan memenuhi isi kepala apresian yang budiman melalui pagelaran karya di ruang-ruang publik.

Melukis tanpa pamer adalah onani. Sementara ini, ruang memamerkan ‘onani’ itu belum ada secara mapan dan semata-mata peruntukannya untuk media publis karya lukis. Ketiadaan ruang rupa ini tidak ingin saya salahkan pemerintah dan jajaran yang menangani perkara kebudayaan dan kesenian semata. Tapi saya wajib menyalahkan saya sendiri karena terlalu naif. Karena ternyata, setelah mendengar beberapa kawan kemarin berceloteh di silaturahmi perupa muda yang digagas KRAK society, bahwa ruang pamer tidak mesti harus serupa galeri mapan macam di Jawa sana yang rata-rata sudah mencapai tingkat manajemen yang solid dengan agenda seni yang berkelanjutan. Dalam hal ini kita memang jauh tertinggal. Saya tidak tahu apakah karena idiom yang berkembang di masyarakat bahwa seni lukis itu adalah dosa besar yang kelak di akhirat nanti mendapat ganjaran neraka yang maha dahsyat? Saya tidak berhak menyimpulkan karena ilmu agama saya terlalu (lagi-lagi) naif adanya. Tapi, jika kita sederhanakan, apakah tindakan menerobos lampu merah bukan tindakan dosa? Melirik istri orang untuk kali kedua bukan perbuatan terkutuk? Ah, betapa menariknya menyimpelkan masalah.

Kembali ke ajang silaturahmi perupa muda tadi, belum begitu lama duduk, Fadlan mempersilakan saya untuk memberi pendapat mewakili Komunitas Kanot Bu. Dengan dada berguncang dan kaki gemetar, saya bangun dan mengendalikan diri agar dapat berbicara santai layaknya Mpu Gandring ketika memberi wejangan kepada murid-muridnya di padepokan. Tapi saya gagal total menguasai diri. Sehingga, yang keluar dari pikiran saya singkat saja. Saya yakin, kenapa kemarin-kemarin tidak berkumpul? Padahal kita mempunyai massa revolusi yang tidak sedikit. Saya melihat dengan berkumpulnya orang muda di KRAK, musuh-musuh kita semakin berwujud akhir-akhir ini. Namun, musuh itu bukanlah perseorangan dan intitusi. Saya melihat lebih kepada penciptaan iklim wacana kesenirupaan kita mandeg. Bahkan lebih tragis, mati. Kematian wacana ini bukanlah hasil propaganda dan rekayasa eksteren perupa. Namun, kita selama ini indivdualistis. Tidak berjama’ah dalam melakukan gebrakan. Seperti kata Fadlan Bakhtiar yang dikutip The Globe Journal, “perkembangan senirupa Aceh terlalu elitis.” Saya setuju dengan pernyataan ini meskipun pihak yang dimaksud Fadlan terlalu samar dan bahkan tidak ada wujudnya.

Senirupa Aceh terlihat pucat dan mati rasa. Mengingat perupa Aceh yang ada sekarang hampir semua hijrah ke jazirah Jawa. Dengan alasan senirupa di sini telah mati pasca-produktifitas Round Kelana Cs. Orang macam Said Akram tidaklah mungkin berbakti bagi daerah kalau iklim berkesenian di sini seperti masa turun sawah, dua tahun sekali. Artinya tidak sehat bagi perkembangan kreatifitas, kalau kreatifitas menunggu cuaca stabil.

Maka, tinggallah pelukis yang terlalu cinta Tanah Aceh mengais rejeki ke sana kemari. Kadang bahkan tidak dari lukisan. ini tentu tidak mengherankan untuk negeri miskin macam Indonesia. Seseorang lahir dengan bakat tertentu yang spesifik macam bakat menyanyi, kelak ketika dewasa harus menjadi tukang cuci di laundri. bisa jadi seorang dosen nyambi sebagai calo, seorang guru berusaha sampingan sebagai tukang kredit barang-barang elektrik. Ini lazim di negeri galau begini.

Dalam diskusi panjang dan santai di lantai dua itu, banyak timbul ide-ide sehat dan membangun. Intinya, biarkan seni berkembang sesuai takdir estetiknya, yang sudah menjulang biarkan menikmati hasil usahanya di menara gading, seperti kesimpulan Rain Asmara. Perupa Sumatera Utara yang hari-hari terakhir ini bermukim di Aceh. Saya sependapat dengan hal ini.

Senirupa Aceh saya kira belum mempunyai sejarah panjang. dari pergumulan ide-ide. Apalagi perseberangan aliran hingga perang opini di koran-koran seperti kerap kita baca dalam perang opini antara LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat) dan MANIKEBU (Manifes Kebudayaan). Kita tidak mempunyai sejarah, sehingga agak ‘terlalu’ jika mengatakan bahwa senirupa Aceh tidak akomodatif terhadap perupa muda pasca Tsunami.

Perupa yang besar dalam kekacauan kekerasan konflik Aceh macam Mahdi Abdullah saya kira sudah sangat bertanggung jawab terhadap kesenimanannya. Di mana jika kita perhatikan dari hampir keseluruhan karya visualnya selalu tampil sesuatu yang amat membuat kita trauma; ‘properti peperangan’. Saya kira ini penanda betapa bawah sadarnya belum terbebas dari ‘luka psikis’ akibat peperangan yang membosankan. Dan baginya, obat dari trauma itu adalah ‘memvisualkan racun’ dalam kanvas-kanvasnya.

Seandainya bisa kita buka kepala dan benak satu persatu perupa muda Aceh, saya yakin masih menyimpan ‘black box’ yang merekam dengan detil pengalaman didera konflik. Tentu saja ini khusus bagi mereka yang menetap di Aceh selama pesta perang berlansung. Luka akibat dera konflik ini saya kira bisa membuka jalan awal bagi keteguhan bahasa ungkap visual kelak. Karena sejalan dengan motto yang amat sering kita dengar di mana-mana, baik nama antologi puisi hingga status Fesbuk; ‘menolak lupa’ dan ‘melawan lupa’.

Aceh adalah sumber inspirasi bagi pekarya. Karena keindahan bahasa rupa tidak saja nyangkut di birunya pegunungan dan samudera. Tidak juga di hijau kekuning-kuningannya hamparan sawah yang terbentang dari Sibreh hingga Keumire di Aceh Rayek. Inspirasi yang dikandung tanah Aceh melebihi apa yang dikandung perut buminya. yang kita takutkan sumber inspirasi itu akan menjadi ‘mon tuha’ karena lama tidak dipakai. Maka, keindahan bahasa rupa Aceh ada dan menyatu dalam rintih dan doa janda korban konflik yang tidak mendapat santunan. Dalam airmata yatim yang tertunduk lesu mengenang ayah/poma di beranda rumoh tuha. Di sanalah sebagian bahasa ungkap visual Aceh ‘nyang ka meu krak’. Mengering sendiri tanpa coba diobati dengan alat-alat kebudayaan. Kesenian tanpa pembongkaran apa yang dikunci, adalah kesia-siaan intelejensi. Senirupa tanpa memuat beban sosial adalah usaha mencandai realitas semata. Bagi saya, itu pun sudah memadai. Dari pada kita bungkam sendiri dalam kamar sambil menghisap ganja dan mendeklamasi puisi dari kaum sastra wangi.

Saya tidak sedang menggurui sesiapa dalam majelis ini, mengingat ruang diskusi kita kemarin-kemarin lebih banyak liar tanpa fokus. Mengingat kita sedang di warung kopi sambil haha hihi. Karena KRAK Society telah berinisiasi buat silaturrahmi, maka saya kira inilah media untuk saling berkontribusi memperkuat barisan. Ini penting, selain mengkritik perkembangan seni rupa yang begitu-begitu saja, kita juga melakukan otokritik. Setidaknya, kita telah memaki diri yang terpaku dan bersendiri-sendiri dalam seni. Waktu akan menjawab. kesadaran kita sebatas mana? Hanya Allah tempat kita berlindung.

Idrus Bin Harun
Jama’ah Komunitas Kanot Bu. Banda Aceh. Pendidik di sekolah pemerintah karena belum punya sekolah sendiri

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU