EKSPEDISI Indonesia Biru tengah berada di Pulau Kalimantan. Saat ini, dua jurnalis backpacker yang menginisiasi ekspedisi ini bergelut dengan pekatnya kabut asap yang melanda Bornoe. Berada di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, bak berada di tengah hutan yang terbakar.
Beberapa foto di tulisan ini diambil di Kalimantan Tengah. Foto seorang perempuan bersepeda lagi membetulkan maskernya, diambil pada Selasa (20/10/2015) sekitar pukul 17.00 WIB di Bundaran Besar, Palangkaraya, ibukota Kalimantan Tengah.
Tepat di jam itu, situs Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (bmkg.go.id) tak lagi mempublikasikan informasi kualitas udara.
BMKG bahkan telah menghentikan publikasi tentang Palangkaraya sejak pukul 07.00 WIB tadi pagi (20 Oktober 2015).
Data terakhir diambil pukul 06.00 WIB di mana PM10 (baca: kadar polusi) telah mencapai 600 persen di atas ambang BAHAYA, atau 1.300 persen dari ambang kualitas udara yang sehat bagi manusia (lihat tabel).
PM10 adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 10 mikron (mikrometer).
Nilai Ambang Batas (NAB) adalah batas konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan berada dalam udara yakni 150 ugram/m3.
Tak ada sumber resmi lain yang bisa jadi rujukan, berapa sebenarnya kadar PM10 di kota ini setelah jam 6 pagi atau jam 5 sore ini.
Dengan kondisi ini, menurut Kepmenkes 289 tahun 2003, kota berpenduduk 200.000 jiwa ini mestinya sudah harus mengevakuasi penduduk yang rentan. Itu pun dalam kategori polusi 400 ugram/m3.
“Hari ini (20 Oktober) yang terburuk,” ujar seorang jurnalis lokal.
Kepungan kabut asap menyebabkan pelbagai sektor kehidupan terganggu. Roda perekonomian tersendat, belum lagi berbicara sektor pendidikan yang mengorbankan hak-hak siswa. Belum lagi kesehatan masyarakat yang terpapar asap dari pembakaran lahan pihak tak bertanggung jawab.
Menurut reportase Ekspedisi Indonesia Biru, tukang bensin eceran, pemilik warung kelontong, pencari ikan, dan ibu-ibu rumah tangga, semua mengeluhkan berkurangnya rezeki sejak dilanda kabut asap tiga bulan terakhir.
“Jangan nawari macam-macam, Mas. Gak ada uang. Sepi kena kabut semua,” ujar seorang ibu pemilik warung di Kabupaten Pulang Pisau, menampik penjual penghisap debu keliling yang berjalan dari kampung ke kampung.
“Habis tanaman karet dan pisang kami. Maksud hati menanam agar ada hasil,” ujar seorang warga Dayak di Sabangau, Palangkaraya, yang menanam di bekas Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare di masa Orde Baru (1996).
Itu belum termasuk ongkos yang dikeluarkan Negara dari pajak masyarakat untuk membayar aneka proyek penanggulangan kebakaran yang melibatkan tentara, polisi, petugas kesehatan, atau pemadam api. Juga tagihan rumah sakit pada BPJS.
Dapatkah semua ongkos lingkungan dan beban ekonomi masyarakat ini ditagihkan pada perusahaan atau pemilik perkebunan yang melakukan land clearing dengan membakar?
Atau mereka yang merancang sistem perkebunan tak ramah lingkungan seperti Proyek Lahan Gambut (Sejuta Hektare)?
Inilah bentuk subsidi yang tak pernah diakui pemerintah. Jenis subsidi yang tak dikenal di buku-buku referensi para ekonom.
Apakah pemerintah, Bappenas, atau Kementerian Keuangan pernah menghitung kontribusi industri monokultur ke kas negara, dibandingkan yang dikeluarkan negara untuk menanggulangi tragedi ini dan dampaknya pada ekonomi masyarakat di Sumatra dan Kalimantan?
Jadi, subsidi mana yang sesungguhnya salah sasaran? Terhadap BBM yang digunakan 240 juta penduduk atau industri monokultur yang dimiliki sebagian kecil orang?
Pertanyaan selanjutnya, sampai kapan kepungan asap ini akan menghantui Kalimantan –dan juga Sumatera? []
DANDHY | SUPARTA | EIB