Friday, March 29, 2024
spot_img

Gerakan Merdeka Sudah “Meu-Apam”

Kata “apam” dalam Bahasa Aceh mengacu pada sejenis makanan seperti “serabi” atau “surabi” atau “pancake”. Tapi di Aceh, apam bukan sekedar makanan. Ia bagian dari tradisi penting. “Buleun Apam” adalah bulan menurut kalender Aceh dimana banyak keluarga mengadakan “khanduri apam” alias kenduri apam. Bulan ini bertepatan dengan bulan Rajab pada kalender hijriah. Di Pidie, tradisi ini bahkan masih dipraktekkan hingga kini. TA Sakti, seorang sejarawan cum budayawan di Universitas Syiah Kuala mencatat tradisi ini cukup lengkap dalam blog nya “Tambeh”.

Kata “apam” yang berkonotasi positif dan romantis bagi sebagian warga Aceh yang pernah hidup dalam tradisi “khanduri dan buleun apam” di kampung mereka, menjadi negatif kala ditambahkan awalan “meu-” menjadi “meu-apam”. Kata ini sangat dekat dengan makna “melempem”, “tidak bergairah”, “tidak bergerak”, atau “monoton” bahkan “basi”, “ketinggalan” dan “ditinggalkan”.

Akhir-akhir ini, kata “apam” mendapat pemaknaan baru di Aceh seiring dengan viralnya berita ditangkapnya “PSK Online” di salah sebuah hotel di perbatasan Banda Aceh dan Aceh Besar. Khabarnya, PSK ini ada yang berstatus mahasiswi dan pelanggannya ada yang pejabat tinggi, orang kaya, dan kalangan elit Aceh lainnya. Tarifnya jutaan.

Saat berita ini viral di media sosial, para PSK ini mendapat nama baru sebagai “penjaja apam” dan mereka yang menggunakan jasa mereka dianggap suka “makan apam”. Sejak itu, kata apam berkonotasi sama dengan kata, maaf, “lonte” bahkan vagina perempuan. Jelas sebuah ekspresi yang sangat seksis dan penuh kekerasan diskriminatif terhadap perempuan. Tentu saja ini sebuah kemunduran peradaban yang luar biasa.

Terbentuknya kelas sosial baru yang rapuh

Sejak kapan dan apa penyebab kemunduran peradaban di Aceh terjadi? Fenomena dekadensi ada dalam hampir semua masyarakat. Dekadensi moral terutama terjadi pada kalangan “elit”. Walaupun pembusukan dapat terjadi pada semua elit, seringkali perilaku dekaden lebih nyata dan cepat terlihat pada “elit-material”, yaitu mereka yang mendapat status elit semata karena materi alias harta dan kuasa. Apalagi mereka yang tiba-tiba mendapat kelimpahan kuasa dan materi karena adanya “shock” dari perubahan status sosial tiba-tiba.

Sejumlah tulisan populer hingga yang lebih akademis seperti “Combatant to contractor”-nya Aspinall (2009) telah berusaha memotret para aktor dalam masyarakat pascakonflik di Aceh. Masyarakat pun berusaha memotret dari lingkungan masing-masing. Karena itu sering terdengar beragam istilah di tengah masyarakat. Selain “korban konflik” yang muncul saat kebijakan pemberian “bantuan” diambil pasca MoU Helsinki, sebutan “mantan GAM” “mantan kombatan” dan “pejuang” makin sering terdengar setelah itu.

Hingga selesainya periode pemerintahan “mantan GAM” pertama Irwandi-Nazar (2006-2012), masyarakat luas dan CSO di Aceh memberi kesempatan luas pada para “pejuang” untuk kembali menata hidupnya dan memimpin negeri setelah konflik 30 tahun dan bencana tsunami 2004. Bahkan konon Jakarta pun lebih lunak terdahap pengawasan tata kelola Aceh karena alasan “masa transisi”. Kebijakan “pembiaran” ini berlanjut hingga periode kedua di bawah “mantan GAM” Zaini-Muzakkir (2012-2017).

Namun sejak pertengahan periode Zaini-Muzakkir di tengah masyarakat mulai muncul istilah “lagee si buntong meuteumee jaroe” (seperti di si buntung mendapat tangan baru) untuk melukiskan bagaimana rakusnya sebagian mereka yang kini menjadi OKB alias “orang kaya baru” Aceh. Walaupun tidak semua, mereka ini umumnya adalah yang mengklaim diri sebagai “mantan pejuang” dan karena itu berhak mendapat perlakuan khusus. Mereka tiba-tiba telah menempati status sosial baru.

Sepertinya pola yang terjadi menunjukkan gejala yang umum pada masyarakat pascakonflik: lahirnya elit baru karena belum tuntas bahkan gagalnya reintegrasi. Alih-alih menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat luas, kelas elit baru ini bahkan berjarak dan terpisah dari teman-teman seperjuangannya. Masyarakat makin sering mendengar kekecewaan para “mantan pejuang” yang tidak kebagian “kue perdamaian”.

Sementara di kalangan “elit baru” sendiri tidak terjadi konsolidasi. Masing-masing didikte kepentingan yang makin menyempit, dari kepentingan awal gerakan kepada kepentingan, awalnya, kelompok besar bernama KPA, kemudian menjadi kelompok yang makin kecil, hingga akhirnya sibuk dengan kepentingan sendiri-sendiri.

Masyarakat mulai mencibir para “mantan pejuang” yang makin hedonis: lomba punya istri banyak, sebagian punya 3-4 istri bahkan lebih dengan cara kawin-cerai dan rumah paling megah di kampung yang masih kumuh. Awalnya ada yang menyindir “perjuangan sebatas inova” karena harapan ideal perjuangan mulai tak pernah lagi terdengar. Tapi kini “inova” pun sudah tak cukup lagi karena masing-masing berlomba untuk minimal punya “fortuner”! Sebagian masuk atau “kembali” pada jaringan narkoba yang pernah dikenalnya demi kekayaan instan.

Dengan status sosial baru, mereka yang tidak punya bekal ilmu dan agama makin cepat mengalami pembusukan. Status sosial tinggi perlu “biaya perawatan tinggi”. Jika satu istri minta 10 juta per bulan, maka para “mantan pejuang” yang kemudian justru terlibat “lomba hebat di antara mereka sendiri” perlu 40-50 juta per bulan untuk biaya hidupnya dengan sekian istri, banyak anak, beberapa rumah, dan aneka mobil mewah. Sebagai perbandingan ironis: Penulis mengisi bensin satu mobil 1200cc saja kewalahan walau sudah menjadi abdi negara selama hampir 25 tahun!

Memang ada sebagian yang ikut berlomba dengan memulai usaha yang sah, walupun diawali dengan perlakuan istimewa dari “teman seperjuangan” yang sedang berkuasa. Tapi perilaku “predatory” atau “memangsa” masih menjadi pola yang sulit ditinggalkan. Inilah bagian utama kelas sosial “elit” Aceh baru yang rapuh.

Gerakan merdeka yang sudah “meu-apam”

Gerakan etnonasionalisme atau apapun namanya yang diperkenalkan Tgk Mr M Hasan Tiro punya paling tidak dua kelompok penerus. Pertama, mereka yang seolah faham Tiroisme ala Hasan Tiro sang Pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Mereka ini merasa paling berhak sebagai pelanjut gerakan, dan punya entitlement mentality (mentalitas keberhakan) yang parah, dan sering keluar dengan klaim “kami pejuang, kami berhak untuk mendapat ini dan itu dan menjalankan negeri ini”. Seringkali dengan tambahan “demi kesejahteraan rakyat Aceh yang lama diabaikan Jakarta”. Secara sepihak mereka mengaggap dirinya dan kelompoknya “yang paling Aceh” dan belakangan sebagai “yang paling Islam”, karena Acehnisme sudah tak begitu laku. Padahal sejak semula GAM adalah gerakan sekuler!

Mereka dari kelompok ini sejak masih ada Tgk Hasan di Tiro suka meniru gaya Sang Wali, tapi sebenarnya hanya mampu meniru gaya luar dalam penampilan, bukan pemikiran. Mereka terkadang tampak berkelas dalam balutan jas dan sepatu mengkilat seperti Wali, tapi sebenarnya hanya “pepesan kosong” untuk kamuflase kebodohan di antara sesama mereka. Tapi, merekalah yang tiba-tiba jadi “elit baru” di Aceh.

Kedua, mereka yang melihat gerakan itu secara kritis. Terinspirasi oleh pemikiran Sang Wali tapi tetap bisa kritis dengan segala isi pemikiran dan tindakannya. Mereka cerdas seperti Wali! Bisa jadi inilah kelompok yang sebagian mungkin telah dianggap keluar dari “majeulih” (GAM) justru saat membentuk “Majelis-Pemimpin/Pemerintahan GAM” (MP-GAM) yang dimotori “Menteri Pendidikan GAM”, Husaini Hasan.

Tapi banyak dari anggota masyarakat, terutama dari kalangan CSO dan akademisi di Aceh, diam-diam terinspirasi oleh Sang Wali. Mereka bukan GAM kelompok pertama, tapi juga bukan bagian dari MP-GAM. Mareka adalah mahasiswa dan pemuda-pemudi yang karena pemikiran Hasan Tiro yang digelorakan GAM (dan MP GAM) mendapat motivasi bahkan inspirasi baru untuk lebih mengenal dirinya, Aceh-nya, sejarah dan masyarakat Aceh dimana mereka berada. Termasuk melihat posisi Aceh dan orang Aceh dalam konstelasi nasional dan global.

Mereka “dibebaskan” oleh “gerakan pembebasan” yang dimulai oleh Hasan Tiro, dikampayekan oleh dan sebagian lewat GAM dan MP-GAM, tapi tak harus menjadi GAM atau MP-GAM. Mereka adalah “korban konflik”, sebagian “mantan pejuang”, dan banyak yang ikut “dibina” oleh para pemikir GAM yang sebenarnya. Bahkan sebagian mereka berasal dari trah pemikir dan tokoh Aceh dari masa awal kemerdekaan Indonesia, masa DI/TII, dan masa konflik sosial.

Sayangnya, kelompok pertama itu tentu saja terancam oleh kelompok kedua. Karena itu kelompok yang terakhir ini harus disingkirkan. Pola penyingkiran dapat dilihat sejak konflik, saat negosiasi perdamaian, diawal usaha reintegrasi politik dan ekonomi yang gagal, hingga kini. Puncaknya, saat sebagian mereka menjadi “elit-material” yang rapuh dan predatory bukan hanya terhadap ide agung “pembebasan” ala Tiroisme, tapi juga memangsa kepentingan ekonomi rakyat banyak termasuk kawan-kawan seperjuangan mereka sendiri.

Karena itulah gerakan pembebasan di Aceh sementara ini jadi “Meu-APAM”![]

*Sumber tulisan: https://steemit.com/aceh/@saiful.mahdi/gerakan-merdeka-sudah-meu-apam

Saiful Mahdi, S.Si., M.Sc., PhD adalah peneliti pada Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Isi tulisan adalah pandangan pribadi. Email: [email protected]

Sumber gambar: http://habaaseuramoe.blogspot.com/2016/04/sejarah-apam-di-aceh.html

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU