Friday, March 29, 2024
spot_img

Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Sambil Ber-“Selfie”

Melihat hamparan tanaman subur, sayuran segar, beragam jenis buah-buahan dengan ukuran di atas rata-rata, ditambah berbagai jenis ikan sehat dan montok, pada acara Penas, saya tak percaya jikalau petani dan nelayan kita masih banyak yang hidup miskin.

Data statistik sejak puluhan tahun sering memaparkan angka kemiskinan paling tinggi berada di wilayah perdesaan, yang notabene mayoritas dihuni para petani dan nelayan. Penas atau Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) adalah ajang berskala nasional yang dihadiri puluhan ribu peserta dari seluruh wilayah di Indonesia.

Hasil pertanian, perkebunan dan perikanan siap panen salah satu andalan dan yang membuat Penas berbeda dengan pameran-pameran lainnya. Untuk menghadirkan tanaman berkualitas tinggi itu, panitia juga sudah sejak beberapa bulan lalu sudah menggarap hektaran tanah menjadi layaknya kawasan pertanian yang subur. Hadir di antara tanaman tersebut membuat saya merasa seakan-akan bukan sedang di Kota Banda Aceh.

“Bahkan beberapa sayuran dan buah-buahan tidak pernah saya lihat sebelumnya. Pisang na, jambee na, eungkot pih na, mandum na.

Cek Pan sepakat dengan saya tentang tanaman di Penas. Beberapa hari lalu, kami bersama menyempatkan diri menyusuri tanaman demi tanaman yang memancing selera siapapun yang melihat.

Sama seperti halnya dengan kekayaan alam Aceh. Melihat potensi sumber daya alam seperti hutan, hasil tambang, hingga laut, rasanya tak mungkin mendapati Aceh sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Selain hasil sumber daya alam yang sangat kaya, Aceh juga dibanjiri dana yang dikelola pemerintah baik melalui anggaran rutin tahunan maupun sumber lain seperti dana otsus. Puluhan trilyun dana mengalir ke Aceh, namun tidak secara signifikan memperbaiki kondisi perekonomian.

“Bukan hanya angka kemiskinan yang tinggi, jumlah pengangguran di tempat kita juga di atas rata-rata nasional.”

Cek Pan geleng-geleng kepala, sambil menyajikan sepiring kue-kue basah yang masih segar. Saya comot sepotong boh rom-rom (onde-onde), sambil melirik sebuah pesan WA yang masuk dari ponsel saya.

Saya kaget setelah menyaksikan sebuah tautan berita video. Gula merah isi boh rom-rom yang ingin saya nikmati secara lembut dan pelan mau tak mau muncrat tak karuan seakan ikut berpartisipasi bersama keterkejutan saya. Saya serahkan ponsel saya dengan harapan bisa berbagi kaget dengan Cek Pan.

Berita tersebut menampilkan para warga atau para pengunjung Penas yang sedang melakukan panen paksa tanaman seperti sayur dan buah-buahan. Beberapa media menamai aksi warga itu sebagai penjarahan. Tak hanya tanaman, kolam ikan juga menjadi sasaran warga yang sudah siap berbasah-basah. Cabe, tomat, labu dan sayuran berpindah tempat dari batangnya ke wadah plastik yang sudah disiapkan. Petugas yang jumlahnya tak sebanding juga tak mampu menahan aksi warga tersebut. Beberapa warga terlihat santai saja ketika ada kamera yang mengarah padanya.

“Oh, berita nyan, sudah tau saya.”

Ternyata saya kalah update. Walau tak memiliki ponsel pintar, Cek Pan sebenarnya sangat melek informasi dan memiliki akses yang cepat. Maklum, sebagai pemilik warkop ia setiap saat bertemu dengan berbagai macam orang dan melalui para pengunjung itulah ia kerap mendapatkan informasi kekinian.

“Jika itu disebut menjarah, sebenarnya penguasa atau pemerintah juga sudah lama menjarah kita dan itu sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu.”

Dua kali saya terkejut. Pertama dikarenakan berita, kedua oleh pernyataan Cek Pan yang berkesimpulan bahwa pemerintah juga sudah menjarah rakyat.

Cek Pan punya alasan kuat untuk berkata seperti itu, misalnya untuk pengelolaan hutan. Penguasa, sejak era Orde Baru hingga saat ini membuat regulasi dengan memberikan izin kepada pihak swasta yang punya hubungan erat dengan mereka. Bahkan pemerintah daerah juga ikut meramaikan aksi seperti ini dengan mengikutsertakan para pengusaha atau cukong serta dibekingi oleh oknum dari institusi militer atau aparat keamanan.

Pengelolaan hutan yang identik dengan penebangan hutan juga sering menabrak hukum negara bahkan hukum adat setempat. Konsekuensi penjarahan hutan atau sering kita dengar dengan istilah illegal logging ini berkontribusi terhadap semakin maraknya bencana alam seperti banjir, longsor, hingga kekeringan. Pastinya, yang paling dirugikan dari penjarahan ini adalah manusia atau makhluk hidup lain seperti hewan yang hidup di wilayah tersebut.

Tidak cukup menjarah hasil hutan, praktik korupsi dan penyelewengan uang milik rakyat yang disalurkan melalui anggaran negara dan daerah juga kerap terjadi antara penguasa dan orang-orang di parlemen. Dua institusi, eksekutif dan legislatif, ini semakin “kompak” menjarah uang negara. Ratusan milyar atau triliunan rupiah uang negara dikorupsi. Anggaran pengeluaran dan belanja daerah dibagi untuk orang dekatnya, proyek-proyek publik dikerjakan asal jadi. Seharusnya uang sebesar itu mampu mengurangi jumlah orang miskin atau meningkatkan jumlah tenaga kerja di Aceh.

“Jadi, siapa sebenarnya yang penjarah?”

Walaupun Cek Pan tidak membenarkan aksi yang dilakukan oleh warga tersebut, tapi baginya itu adalah bentuk protes masyarakat terhadap praktik-praktik yang ditontonkan oleh penguasa daerah dalam mengelola uang negara yang tidak berhasil menyejahterakan mereka. Masyarakat protes karena pemerintah yang membiarkan, permisif bahkan ikut melindungi praktik-praktik penyelewengan yang terjadi.

“Penjarahan tanaman di event Penas layaknya rekonstruksi dan visualiasi oleh warga terhadap aksi penjarahan yang lebih masif yang telah dan sedang dipraktekkan oleh penguasa dan kroninya.”

Seharusnya pemerintah daerah mampu memberikan contoh dan teladan kepada rakyatnya dengan bekerja secara amanah, jujur dan profesional. Jika pemerintah abai terhadap tanggungjawabnya dan lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan, maka jangan salahkan jika kemudian rakyat juga berbuat serupa.

Sampai saat ini saya masih sepakat dengan Cek Pan tentang relasi antara pemerintah dan rakyatnya. Dan saya juga masih penasaran dengan boh rom-rom yang sempat “bocor” tadi. Untung masih ada satu di atas meja, lalu saya mengambilnya dan bilang ke Cek Pan,

“Mungkin sama dengan peribahasa lama, guru kencing berdiri, maka murid kencing sambil ber-“selfie”

Kali ini Cek Pan yang terlihat agak terkejut.

Fahmi Yunus adalah pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry, peneliti pada ICAIOS dan CENTRIEFP, Banda Aceh. E-mail: [email protected]

Fahmi Yunus
Fahmi Yunushttp://ACEHKITA.com
Fahmi Yunus adalah periset komunikasi massa dan studi pembangunan.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU