Thursday, April 18, 2024
spot_img

Hari Tani dan Simbol-simbol Agama

Di lantai bursa ada yang disebut saham-saham syariah. Jika ada yang menganggap jual beli saham (modal) itu riba atau haram, maka label “syariah” mungkin dapat membuat hati tenang. Seperti saat Anda berususan dengan “bank syariah”.

Tak peduli apakah mereka benar-benar menerapkan prinsip “bagi risiko” seperti Beng Mawah yang saya jumpai di Aceh, atau sebenarnya hanya “bagi hasil” seperti bank konvensional dengan embel-embel “syariah”.

Saham-saham “halal” ini bahkan dikelompokkan secara khusus dalam Daftar Efek Syariah (DES) atau untuk 30 saham yang paling laris disebut Jakarta Islamic Index (JII).

Kriteria saham syariah tentu saja jauh lebih kompleks dari urusan “alkohol” dan “daging babi”. Perusahaan itu juga harus menjalankan produksi dan distribusi yang tidak terkait dengan perjudian dan jasa keuangan ribawi seperti bank dan lembaga pembiayaan konvensional. Ia bukan perusahaan jual beli risiko seperti asuransi, dan tidak melakukan transaksi-transaksi yang mengandung suap.

Karena itu, dari 338 perusahaan yang masuk Daftar Efek Syariah, misalnya, Anda hanya akan menemukan Asuransi Jiwa Syariah Jasa Mitra Abadi (JMAS) atau Bank BRI Syariah (BRIS), karena sebagai perusahaan yang berdiri sendiri, laporan keuangannya tak lagi tercampur dengan BRI konvensional.

Tapi jangan terkejut, jika dalam daftar saham “halal” itu justru bertabur perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan yang banyak berkonflik dengan petani dan masyarakat.

Misalnya, PT Semen Indonesia (SMGR) dan PT Indocement Tunggal Prakarsa (INTP). Kedua perusahaan ini telah dan akan menambang karst di pegunungan Kendeng dan memicu perlawanan para petani di Rembang dan Pati sejak 2006 hingga sekarang. Bahkan sejak 1993 bagi sebagian petani di Tuban.

Kriminalisasi terhadap petani telah dilakukan sepanjang konflik dengan kedua perusahaan ini, baik di Pati, Rembang, hingga Kendal. Mereka ditahan atas tuduhan penyerobotan tanah di atas lahan yang sebelumnya telah mereka kelola selama bergenerasi, seperti menimpa tiga petani Surokonto Wetan yang divonis 3 tahun penjara.

Tapi kedua saham semen “pribumi” dan “asing” ini tercatat sebagai 30 saham terlaris dalam Jakarta Islamic Index (JII).

Contoh lain saham “halal” adalah milik PT Merdeka Copper Gold yang memiliki kode perdagangan MDKA. Perusahaan tambang emas yang sebagian sahamnya dimiliki Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno ini berkonflik dengan warga dan petani di Tumpang Pitu, Banyuwangi.

Seorang warga bernama Budi Pego dikriminalisasi dengan dalih menyebarkan “ajaran komunisme” dan divonis 10 bulan penjara.

Sandiaga sendiri memiliki saham di Merdeka Copper melalui PT Saratoga Investagama Sedaya (SRTG) yang juga termasuk saham syariah.

Maka dalam kasus Tumpang Pitu di Banyuwangi, narasi ada “komunis” menolak perusahaan tambang PT Merdeka dan lembaga investasi “syariah” seperti PT Saratoga adalah narasi yang seksi untuk mendapat dukungan “umat” terhadap perusahaan tambang emas itu.

Apalagi belakangan Sandi dinobatkan sebagai “ulama” untuk melengkapi dan mengimbangi narasi politik identitas yang juga dimainkan kubu Joko Widodo yang memasang Ketua MUI Ma’ruf Amin.

MUI sendiri adalah lembaga yang sejak tahun 2001 turut memberikan stempel “halal” kepada berbagai produk pasar modal di Indonesia, termasuk saham syariah.

Hampir dipastikan, lembaga seperti MUI tak akan memasukkan pertimbangan etis kemanusiaan dan (apalagi) lingkungan ketika memutuskan “halal” dan “haram” sebuah emiten atau perusahaan yang menjual sahamnya di lantai bursa.

Padahal, dari 659 kejadian konflik tanah sepanjang 2017 saja, sebanyak 32 persen di antaranya (208 kasus) melibatkan industri perkebunan tanaman tunggal (monokultur), terutama kelapa sawit yang juga masuk dalam saham syariah seperti grup Wilmar, Indofood, London Sumatera, atau Providen.

Setelah perkebunan, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2017 properti adalah sektor berikutnya yang menyumbang konflik paling banyak dengan masyarakat (30 persen).

Tapi ini tak akan ada yang mengaitkan semua ini dengan moralitas dan etis dalam perdagangan saham. Sebab perusahaan properti seperti Agung Podomoro Land (APLN) yang mengancam kehidupan nelayan dengan proyek reklamasi Teluk Jakarta atau PT Jakarta International Hotel and Development yang anak perusahaan hendak menguruk Teluk Benoa di Bali, adalah emiten-emiten syariah yang sahamnya dinyatakan “halal” oleh MUI.

Sepanjang kedua perusahaan itu tidak berbisnis alkohol atau membungakan uang, tampaknya MUI atau Dewan Syariah Nasional tak akan mau pusing dengan urusan perusakan lingkungan atau peminggiran ekonomi kaum dhuafa.

Sama halnya dengan kelompok politik agama yang lebih sibuk dengan urusan “kriminalisasi ulama” yang tak lebih dari jargon politik dibanding kriminalisasi petani yang benar-benar ada, nyata, dan meluas di banyak tempat. Bahkan melibatkan pengusaha yang menjadi kawan koalisinya.

Sebenarnya gejala ini tak baru. Ketika mengkritik video Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mendukung industri monokultur kelapa sawit, saya telah mengaitkannya dengan agenda-agenda dakwah monoteisme seperti terjadi dari Mentawai hingga Papua.

Tahun 2011, misalnya, Front Pembela Islam (FPI) tiba-tiba ribut dan meminta pemerintah melarang kegiatan Greenpeace. Alasannya, karena organisasi pengkampanye lingkungan ini sering menyerang pemerintah dengan “data-data palsu” dan menjelek-jelekkan Indonesia di luar negeri. Alasan berikutnya karena Greenpeace internasional juga mendapat donasi dari uang lotere (judi).

Setiap organisasi tentu berhak menentukan standar moralitasnya. Bahkan ada perusahaan media yang tak menerima iklan rokok.

Tapi alasan seperti FPI ini tentu memancing bahan tertawaan karena diikuti oleh desakan agar organisasi lain ditutup, dan di saat yang bersamaan, ia menutup mata pada banyak praktik perusahaan yang merusak lingkungan, melanggar hak asasi manusia, dan meminggirkan masyarakat.

Jika benar setiap hasil uang judi harus ditutup atau disingkirkan, maka meminjam sindiran Gubernur DKI Ali Sadikin, “jangan lewat jalanan di Jakarta, karena jalan-jalan itu dibangun dari uang judi.”

Tahun-tahun itu, Greenpeace memang gencar mengkampanyekan kasus-kasus konflik dan perusakan lingkungan yang dilakukan industri kelapa sawit di Sumatera dan mendesak perusahaan-perusahaan besar seperti Unilever tidak membeli minyak sawit dari perusahaan-perusahaan bermasalah di Indonesia.

Suatu pagi di tahun 2013, Dompet Dhuafa mengundang berdiskusi tentang buku “Indonesia for Sale” yang pernah saya tulis 2009. Kami bicara bagaimana mempertahankan orang tetap sejahtera sejak di kampung halamannya, dan bukannya menunggu mereka menjadi miskin (dhuafa) untuk disantuni.

Gagasan yang mungkin tidak menarik minat donatur yang baru tergerak menyumbang jika melihat foto warga miskin dan penderitaannya.

Tapi ide ini tetap saya sampaikan karena lembaga yang dirintis para jurnalis pada 1993 ini sejatinya cukup terbuka dengan berbagai gagasan. Mereka menyalurkan bantuan modal untuk korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dampingan Kontras yang kerap dianggap sebagai “LSM kiri”.

Belakangan, mereka juga ikut membantu logistik petani Kendeng jika sedang berunjuk rasa ke Jakarta atau membiayai proyek-proyek pertanian di Tasikmalaya dan berbagai tempat.

Sejak peristiwa 1965, isu-isu petani dan konflik tanah kerap dianggap sebagai tema “kekiri-kirian”. Sementara Dompet Dhuafa memegang mandat para donatur yang mayoritas muslim. Sementara sebagian petani Kendeng justru penganut keyakinan “Sedulur Sikep” atau “Saminisme” yang mengosongkan kolom agama di KTP. Hal yang membuatnya dicap “kiri” di masa Orde Baru.

Mengotak-kotakkan sebuah permasalahan dari kacamata ideologi atau agama, tentu sebuah kesalahan berpikir yang fatal. Sebab pemberontakan petani Banten tahun 1926 melawan kolonial adalah kisah perlawanan para haji seperti Achmad Chatib atau Moehammad Madoen yang kemudian dibuang ke Boven Digoel.

Jika para ulama seperti ini masih hidup hari ini, barangkali merekalah yang akan menunjukkan apa itu “halal” dan “haram” secara substansi dalam sebuah praktik ekonomi. Bukan hanya simbol dan stempel “syariah”.

Mereka tidak akan memakai isu impor beras sebagai retorika politik untuk menyerang lawan politik –tapi lebih sibuk membela “ulama” daripada petani—namun benar-benar bergerak untuk ikut mewujudkan swasembada itu dengan advokasi-advokasi yang nyata.

Selamat Hari Tani.[]

Dandhy Dwi Laksono adalah pendiri ACEHKITA.COM.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU