Ekspedisi Indonesia Biru

Ekspedisi Indonesia Biru
Ekspedisi Indonesia Biru

SAMARINDA — Karena kapal Pelni, KM Doloronda baru singgah di pelabuhan Bitung (Sulawesi Utara) tanggal 13 Oktober 2015, kami terpaksa kembali 1.100 km ke Sulawesi Tengah untuk mencari kapal yang bisa membawa kami menyeberang ke Kalimantan lewat Selat Makassar.

Kapal kayu pengangkut sayur dan ternak dari pelabuhan Wani (Donggala) mau mengangkut dua motor kami dengan pilihan Berau, Samarinda, atau Balikpapan. Ongkosnya pun hanya 150 ribu per motor dengan risiko perjalanan ditanggung sendiri. Dan masih harus mengurus surat jalan dari polisi setempat. Tapi mereka menolak mengangkut orang karena dilarang pihak berwenang.

“Izinnya hanya kapal barang. Tidak boleh angkut penumpang. Apalagi kalau ada apa-apa di laut, kami sering dituntut oleh keluarga korban,” terang Rusli, salah seorang pemilik kapal.

Kapal kayu pengangkut kopra juga siap menyeberangkan kami ke Berau (Kaltim) tapi perjalannya dua hari dua malam. Padahal ada kapal Ferry (ASDP) yang akan berangkat dua hari lagi ke Balikpapan dari pelabuhan Taipa (Palu) dengan waktu tempuh 18 jam. Sedangkan Berau jaraknya masih 1.000 km lagi ke Samarinda, kota tujuan kami.

Akhirnya kami putuskan memakai jasa Ferry dan menunggu dua hari di Palu. Sebelumnya, kami tanya ongkos ke petugas pelabuhan, dan dijawab: “385 ribu rupiah per motor, sudah termasuk orang.”

Pada harinya, harga di tiket resmi Ferry KMP Madani tertera 318 ribu rupiah per orang. Ditambah 23 ribu untuk makan dua kali. Semua tertera di karcis. Jadi totalnya 341 ribu rupiah.

EIB
EIB

Namun alih-alih membayar 385 ribu seperti kata petugas dua hari sebelumnya, kami justru harus membayar 455 ribu per motor/orang atau berdua totalnya 910 ribu rupiah. Tentu saja kami terlonjak.

Petugas pelabuhan tampaknya memungut jasa pengurusan surat jalan yang dikeluarkan kepolisian setempat, meski tanpa tanda terima. Dan surat jalan, secara teori, mestinya gratis karena merupakan bagian dari pelayanan Polri yang sudah dibiayai dari pajak publik. Bila pun ada biaya, juga tidak ada tanda terima.

Maka terdapat selisih 114 ribu rupiah dari nominal yang tertera di karcis. Calon penumpang moda transportasi yang hanya sepekan dua kali ini, tak punya pilihan selain tunduk pada “hukum pelabuhan”.

Surat Keterangan Ijin Jalan yang dikeluarkan Polsek Palu Utara sendiri adalah barang baru bagi kami. Dalam perjalanan antar-pulau sejak Januari 2015 dan telah melintasi selusinan pelabuhan, baru kali ini kami berurusan dengan yang namanya “Surat Keterangan Ijin Jalan”.

Apa relevansi surat jalan ketika ada dokumen kendaraan yang sudah kuat seperti STNK atau bahkan BPKB bila perlu?

Lebih aneh lagi ketika tiba di pelabuhan Kariangau, Balikpapan, 24 jam kemudian, tak ada satu pun petugas atau polisi yang memverifikasi motor dan surat jalan kami. Turun dari kapal tak ada apa-apa dan langsung bisa ngeloyor keluar pelabuhan.

Kami hanya bisa saling pandang menyesali uang 228 ribu yang melayang untuk “Surat Jalan”. Uang sebesar ini bisa untuk hidup satu hari dengan tiga kali makan.

Hukum rimba kerap kami temui di pelabuhan. Seperti pelabuhan Ende yang tak memiliki penghubung dermaga untuk motor, tapi kapal Ferry-nya menjual tiket untuk motor. Akibatnya kami harus tunduk pada para juragan buruh angkut yang mematok tarif 100 ribu rupiah per motor untuk mengangkat dari perut kapal ke dermaga yang jaraknya hanya satu meter itu.

Itu belum termasuk aneka tarif yang lebih besar dari yang tertera di tiket resmi seperti yang kami alami di pelabuhan Aimere (Flores). []

EIB | DANDHY | SUPARTA

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.