Tuesday, April 23, 2024
spot_img

Ilusi di Republik Scooter

It’s not your Jogya anymore, Ba….” (Ini bukan Jogya seperti dulu lagi, Ayah), keluh anak saya saat diskusi lewat telpon di awal semester empatnya di perguruan tinggi utama negeri ini. Kami sedang berdiskusi tentang perlu tidaknya membeli “sepeda motor”. Anak saya berkesimpulan bahwa bapaknya masih hidup di masa silam saat Jogya adalah kota sejuta sepeda, seribu becak, dan ramah pejalan kaki. Saat kuliah di Surabaya tahun 80-an dulu, saya beberapa kali ke Jogya dan mengagumi banyaknya sepeda dan becak di kota itu.

Walaupun terus mengusung proposal pembelian sepeda motor, tahun pertama anak saya bertahan dengan berjalan kaki ke kampus karena masih tinggal di asrama mahasiswa. Saat saya berkunjung ke kampus itu bahkan kami sama-sama memanfaatkan fasilitas “sepeda kampus” yang gratis dan mendayungnya dengan nyaman di jalan-jalan kampus yang lengang karena pembatasan kenderaan bermotor. Sebuah terobosan kebijakan yang segar walaupun tidak “semewah” suasana kampus di luar negeri. Sayang, beberapa tahun lalu, kampus itu kembali membolehkan kenderaan bermotor berseliweran di dalamnya.

Ketika sang anak pindah ke kosan di luar kampus, kami menerbangkan sepedanya dari ujung Sumatera ke Yogya. Dia bertahan dengan sepeda. Tapi bukan tanpa keluhan, terutama di musim hujan. Tapi ternyata musim hujan bukanlah tantangan terbesar. Naik sepeda di Jogya jelas tidak senyaman yang dipikirkan bapaknya. Jelas jauh berbeda dengan Jogya yang kini “dikuasai” ribuan mobil dan ratusan ribu sepeda motor. Keselamatan jiwa bisa jadi taruhan. Akhirnya kami menyerah.

Ilusi Scooter

Negeri ini telah dikuasai scooter, karena itu layak kita sebut Republik Scooter. Tapi kekuasaan di “Republik Scooter” dibangun dari serangkaian “Ilusi Scooter”.

Ilusi pertama, yang kita gadang-gadang sebagai sepeda motor (motorbike) sebenarnya tak lebih dari aneka ragam bentuk scooter. Bentuk luarnya bisa dibuat terlihat demikian gagah, kokoh, dan sporty. Bahkan varian terbarunya dibuat demikian tebal menyerupai motor gede (moge) sehingga pengendaranya kelihatan tambah gagah. Tapi modifikasinya hanya pada bungkus. Itupun dengan bahan yang makin murah, umumnya berbasis plastik atau fiber. Padahal isi dalam dan mesinnya masih yang itu-itu saja.

Walaupun hanya ganti penampakan saja, harga sepeda motor makin mahal. Konsumen pun dipaksa membeli secara kredit atau leasing dengan harga berlipat. Praktek kartel membuat penjualan sepeda motor di Indonesia makin agresif dengan harga makin mahal. Pemegang dua merek sepeda motor di Indonesia sampai didenda besar oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena praktek kartelnya.

Perasaan gagah bisa membuat orang lebih beringas bahkan nekat, seperti fenomena seragam loreng yang dipakai milisia. Mungkin karena itu cara berkendara “sepeda motor” di Indonesia juga makin agresif. Jarak yang ditempuh juga makin jauh, bisa mencapai ribuan kilometer seperti saat mudik hari raya. Angka kecelakaan lalu lintas pun meningkat drastis. Kenderaan yang seharusnya dipakai untuk jarak dekat dan kebutuhan normal bahkan santai, justru dipakai jarak jauh dalam keadaan yang penuh tekanan dan bahaya. Kerugian jiwa dan harta makin besar.

Ilusi kedua, banyak yang beranggapan bahwa makin banyaknya scooter di Indonesia menunjukkan geliat ekonomi, bahkan dijadikan indikator pertumbuhan ekonomi nasional. Makanya para ekonom dan pengambil kebijakan akhir-akhir ini prihatin dengan menurunnya jumlah pembelian scooter!

Scooter jelas jauh lebih terjangkau daripada motor gede, moge, bahkan dari sepeda motor sebenarnya yang bermesin di atas 125cc. Hampir setiap rumah tangga di Indonesia kini mempunyai scooter. Dia dihitung sebagai aset penting, bahkan seringkali satu-satunya. Sebagian survei memasukkannya dalam penentuan kriteria keluarga sejahtera.

Tapi keterjangkauan harga scooter juga bukti agresifnya kredit konsumtif perbankan kita, predatorisnya lembaga leasing besar dan kecil yang menjangkau hingga ke pelosok desa, dan makin hedonisnya bangsa ini. Saat ini, dengan hanya 500 ribu rupiah Anda bisa bawa pulang scooter baru ke rumah! Apakah itu bisa dijadikan indikator geliat ekonomi? Mungkin ya, tapi jelas bukan sepenuhnya ekonomi produktif.

Ilusi ketiga, scooter dianggap solusi paling cepat, mudah, dan murah untuk masalah transportasi kita. Tapi ini sebenarnya tak lebih dari wujud malas berpikir dan bekerja keras. Alih-alih bekerja ekstra untuk menyediakan transportasi publik yang nyaman, terjangkau, dan meluas, kita menjadikan scooter sebagai solusinya. Akibatnya,  orang tua yang tak sempat antar-jemput anaknya ke sekolah seringkali menyerah dengan menyediakan “sepeda motor” walaupun mereka tahu anaknya belum cukup umur. Polisi dan Pemko/Pemkab justru abai dengan kelengkapan dan keselamatan lalu lintas karena sibuk dengan pemasukan dari makin banyak SIM dan STNK yang bisa dibuat. Lantas pemerintah kian malas untuk memikirkan transportasi publik untuk semua. Pemerintah yang membiarkan rakyatnya setiap hari menyabung nyawa di atas sebuah ilusi, sebuah “sepeda motor”.

Ilusi keempat, kota dan kabupaten yang masih masih lengang jalan-jalannya tak perlu memikirkan transportasi publik. Toh, warga semua bisa beraktivitas dengan sepeda motornya. Karena itu, pemerintah dan warga kota seperti ini masih berkilah “Ah, kita belum semacet Jakarta kok!” Sayangnya, kita sering abai bagaimana agresifnya kehadiran scooter ini. Bagaimana tiba-tiba kota kita menjadi demikian padat oleh scooter, mobil, dan kenderaan bermotor lainnya tanpa kita betul-betul sadari. Seperti Jogya yan dulu terkenal sebagai kota yang ramah pesepeda dan pejalan kaki, tapi kini demikian pongah dan tak kalah kasar dengan kota besar lainnya karena ribuan kenderaan bermotornya?

Banda Aceh Kota Scooter?

Menurut Banda Aceh Dalam Angka 2015, tahun 2014 saja terdapat 11.252 kenderaan bermotor (ranmor) baru yang didaftarkan pada Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh. Tak kurang dari 8,707 (77,4%) dari ranmor itu adalah “sepeda motor” aneka varian. Mungkin Anda juga bisa merasakan bagaimana intrusifnya pertumbuhan jumlah sepeda motor ini. Hampir tak ada hari tanpa kecelakaan yang melibatkan sepeda motor.

Menurut sumber data yang sama, Polresta Banda Aceh mencatat rata-rata 141 kecelakaan ranmor per tahun sepanjang 2012-2014. Dan kita tahu ini angka yang under-estimate karena banyaknya kasus yang tak dilaporkan dan tak tercatat pada kepolisian. Dalam kecelakaan itu, rata-rata 45 orang meninggal dunia per tahun, alias hampir 4 orang per bulan meninggal karena lakalantas di Banda Aceh saja. Mungkin angka ini terlihat kecil dan jauh karena belum mengenai kita dan atau keluarga kita?

Jika pertambahan rata-rata scooter di Banda Aceh sekitar 7.500 sd 9.000, sampai kapan kita akan tahan dengan masalah lalu lintas yang makin menyesakkan? Apa Jogya dan kota lain sejenisnya tak cukup menjadi pelajaran? Apakah kita harus menunggu sampai semua kota kita menjadi kota monster yang di dalamnya nyawa bisa sekonyong-konyong melayang?

*Saiful Mahdi, Dosen Statistika Universitas Syiah Kuala; Alumni Cornell University; Menulis “Kolom Fakhrurradzie Gade” setiap Kamis; Email: [email protected]  

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU