Saturday, April 20, 2024
spot_img

Indonesia, Tapi Beda…

Kehidupan anak-anak pedalaman Papua jauh dari kata merdeka. Dalam segalanya mereka serba tertinggal; transportasi tak ada, listrik tak menyala, sekolah tidak buka. Jika di Pulau Jawa anak-anak sudah lancar berbahasa Inggris, maka di Papua, mereka masih belajar mengeja.

PERAHU kecil itu berjalan pelan. Amat pelan, barangkali bisa disusul dengan berlari-lari kecil saja. Dibuat dari sebatang pohon yang dipahat dengan kampak dan parang, sehingga membentuk lengkungan yang mirip belanga yang lonjong. Di dalamnya, dua buah dayung dan sebatang bambu untuk mendorongnya dari tepian. Perahu ini digerakkan dengan mesin kecil berkekuatan 5PK. Hanya mampu berpacu sekitar 5 kilometer per jam. Jika sedikit saja gelombang, maka kecepatannya akan dikurangi, atau resikonya, terbalik.

Rute yang dilalui perahu tersebut sangatlah ekstrem: rawa yang dipenuhi alang-alang. Lebar lorong di tengah rawa beragam. Mulai dari yang seukuran seperempat meter [sama dengan ukuran perahu], hingga ada yang lebih dari satu kilometer. Rawa-rawa itu menjurus ke kali besar, masyarakat menyebutnya Kali Bian, kali yang airnya berwarna coklat kehitaman. Dengan perahu seperti inilah, akses antar desa untuk masyarakat beraktifitas di pedalaman Distrik (kecamatan) Muting Merauke, Provinsi Papua, dilalui.

Ada sebuah keunikan dari rawa-rawa yang dikunjungi Cahyo Yuwono, Jumat, pada pekan pertama Februari 2015. Hujan masih rutin turun, setidaknya, dari empat hari di Merauke, hujan turun 2 kali. Nah, di kala hujan, rawa-rawa dipenuhi air. Perahu kecil yang biasa disebut keting-ting itu bisa ditambatkan hingga ke pinggiran jalan besar di dekat pusat kabupaten Muting. Namun, jika hujan tak turun beberapa hari saja, maka perahu harus ditambatkan di sungai. Jauhnya, lebih dari 10 kilometer, dan rawa itu bisa dilalui kenderaan bermotor. “Sangat ekstrem,” kata Cahyo.

“Agustus lalu kita pakai motor di rawa-rawa itu,” kenang Serti Timang, guru asal Toraja, yang mengajar di Kampung Boha, kampung di sebuah pulau yang jaraknya sekitar 3 jam dengan keting-ting. “Kalau kemarau debunya banyak, tapi jika hujan maka rawa pasti penuh dan kita pakai keting-ting.”

Dari distrik Muting, Cahyo menyeberang menjelang malam, saat langit mulai kemerah-merahan. Hanya tersisa tiga perahu dengan tujuan berbeda. Bersama dua orang –juga dari pulau Jawa–  Cahyo menyeberang dengan keting-ting yang dikemudikan Andra Jati Nugraha, relawan guru yang mengajar di Kampung Waan. Tujuan malam itu, Kampung Boha. Perjalanan diperkirakan sekitar 2 jam.

Saat malam, mendung mulai menggelayut. Langit gelap sepenuhnya. Angin bertiup kencang. Andra tak sepenuhnya menguasai rute perjalanan. Ia jelas tak dapat mengemudi seorang diri. Karenanya ia dipandu Faatih Rijalul Haq. Faatih memegang senter, mengarahkan ke beberapa sisi, mencari jalan yang tepat menuju Kampong Boha. Ada beberapa bekas belahan alang-alang yang dapat dilewati perahu. Bentuknya seperti persimpangan jalan. Beberapa kali perahu harus menembus ilalang serupa padi yang panjang.

Suasana semakin ekstrim. Perahu tersesat dua kali. Di tengah rawa yang gelap, mesin keting-ting ikut mati. Lalat-lalat kecil semakin banyak, mengerebuti cahaya senter. Untungnya, langit perlahan mulai cerah. Semakin cerah, saat perahu terdampar pas di tengah ilalang. Andra mulai mengayuh. Faatih menancapkan bambu ke tanah, mendorong perahu keluar dari ilalang. Sepertinya air tak terlalu dalam, sekitar 5 meter saja. Dua kali mesin keting-ting dihidupkan, tapi mati lagi. Perjalanan dilanjutkan dalam kesunyian. Perjalanan yang sebelumnya diperkirakan 2 jam molor hingga 3 jam lebih.

Andra dan Faatih memang tak sepenuhnya menguasai rute ke kampung jika malam hari. Maklum, dua mahasiswa asal Semarang ini baru enam bulan menetap di Distrik Muting. Mereka adalah mahasiswa tingkat akhir di Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang ditugaskan sebagai relawan guru oleh Pertamina Foundation untuk mengajar di Kampung Waan. Kampung Waan merupakan gundukan tanah yang membentuk pulau kecil yang dihuni sekitar 80 Kepala Keluarga. Sedangkan Cahyo, adalah dosen pembina yang menjenguk, memonitoring aktivitas mahasiswanya. Tak hanya Andra dan Faatih. Ada 13 mahasiswa Unnes lainnya yang mengabdi di Papua. Lima di Merauke dan 10 di Kabupeten Keerom, Jayapura.

Kampong Boha tampak di kejauhan dari sinar lampu yang remang. Muhammad Abdullah Amnan memberi kode. Senter dikedipkan beberapa kali. Di sana letak dermaga. Perahu menepi, kemudian ditambatkan.

Malam itu, di Boha, lampu hanya menerangi dua unit rumah guru, sekolah dan gereja. Listrik menyala dengan mesin diesel punyanya sekolah, yang hanya dihidupkan saat malam hingga jelang dinihari. Cahyo, yang datang bersama Andri menginap di salah satu rumah guru. Rumah panggung yang hanya ada satu kasur tipis. Mereka ikut ditemani Andra dan Faatih.

Daud, warga Boha mengatakan, ada tiga mesin diesel di kampong Boha. Diesel itu ditempatkan di RT 1, RT 2, dan satu unit milik sekolah. “Diesel kampung lagi tidak ada solar,” kata Daud tertawa.

Kampung Boha hanya punya satu sekolah yaitu SD YPPK Boha. Tak ada sekolah lanjutan. Tamat SD, hanya ada dua pilihan bagi anak Boha: keluar kampung untuk melanjutkan sekolah di Distrik, atau memilih ikut orang tua berburu dan mencari makan di hutan.. “Orang tua mereka masih kurang peduli akan pendidikan. Mereka lebih memilih mengajak anak berburu daripada menyuruh sekolah,” kata Amnan. Sudah menjadi kebiasaan, anak-anak pedalaman Papua mencari makan sendiri. Tak heran jika menemukan anak kelas 5 dan 6 SD masih belajar mengeja.

Amnan tak sendiri. Sudah sepekan ia ditemani oleh tiga guru kontrak Pemerintah Daerah Merauke, seorang guru lokal serta Elyas B Ndiken, dewan lingkungan gereja yang juga ikut mengajar. Dua guru yang berstatus pegawai negeri tak terlihat. Untuk menambal kekurangan guru, pemerintah menempatkan guru-guru yang dikontrak per tiga tahun di pedalaman Merauke. Sudah menjadi rahasia umum, jika di pedalaman Merauke, guru yang statusnya pegawai negeri hampir tidak pernah mengajar. Mereka bahkan tinggal di distrik (pusat kecamatan), membuka usaha lain. “Jarang ada guru yang sadar dan mau menetap di sini. Dulu bahkan saya mengajar sendiri saja,” kata Amnan.

Ketika dikirim akhir Agustus lalu, kata Amnan, semua anak-anak memang hampir sama sekali tak bisa membaca. “Mengenal huruf pun tidak. Sampai saat ini anak kelas 5 masih juga yang tidak bisa membaca sama sekali,” katanya. “Ketika saya ke sini, saya mulai membiasakan menyanyikan lagi Indonesia Raya tiap hari, mengajar membaca dan tata krama.”

Amnan menyebutkan, sangat berbeda mengajarkan anak-anak di kota dengan pedalaman Papua. “Mereka tidak bisa diajarkan dengan teori. Harus dengan praktek langsung. Mereka terbiasa dengan cara alam. Apapun yang dipelajari, harus segera dipraktekkan,” ujar Amnan.

Elyas menuturkan, kehadiran Amnan sangat dirasakan masyarakat. Apalagi, Amnan, kata Elyas, menjadi penggagas pendidikan usia dini di Boha. “Minta maaf pak ya, anak-anak di sini rata-rata tidak bisa membaca dan menulis. Menghitung saja yang sudah bisa. Pak Amnan yang banyak mengajarkan anak-anak membaca,” kata Elyas. “Masyarakat minta Pak Guru Amnan tinggal saja di Boha.”

Kondisi SD Boha tak terlalu buruk. Kelas-kelas memang masih semi permanen. Bangku-bangku panjang untuk anak-anak belajar. Hanya ada tiga kelas. Jadinya, kelas 1 dan 2 disatukan, begitu seterusnya kelas 3-4 dan 5-6. Jadinya, jika sendiri, maka Amnan akan mengajar bergantian untuk dua kelas di satu ruangan.

Anak SD Boha juga berseragam lengkap. Tapi hanya sebagian yang bersepatu. Mereka nyeker ke kelas, sambil mengapitkan buku di antara ketiak dan pensil pendek di daun telinga. Mirip orang dewasa menaruh kretek sebelum dihisap. [BERSAMBUNG] >> HALAMAN 12, 3, 4, 5 

MUHAMMAD HAMZAH HASBALLAH

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU