Friday, April 19, 2024
spot_img

Iqra dan Media Sosial

Iqra dan Media Sosial

Saiful Mahdi*

Belakangan, makin banyak teman yang memutuskan untuk berhenti membuka aplikasi media sosialnya. Sebagian berhenti  sementara, terutama saat Ramadhan dan libur panjang yang lalu.

Sebagian cenderung memilih media sosial tertentu ketimbang social media yang lain. Ada teman yang hanya membuka Whatsapp tapi telah menonaktifkan Facebook-nya. Sebagian mematikan yang lain dan hanya sekali-sekali membuka akun Facebook-nya.

Ada juga yang belakangan makin suka dengan Instagram, tapi sebagai private account sehingga tidak otomatis menerima permintaan follower. Padahal yang lain, apalagi pemula, sampai “membeli follower” karena jumlah  follower-nya yang sangat lamban naiknya. Akun Twitter sebagian kita makin jarang mengeluarkan cuitan. Padahal sebelumnya sempat punya beberapa akun berlambang burung kecil ini.

Sebagian besar pemilik akun Line, Whatsapp, dan Telegram makin selektif dalam memilih grup yang diikutinya.  Makin banyak yang left dari grup yang awalnya dibentuk dengan penuh semangat bersama teman-temannya. Hal ini terutama terjadi menjelang dan selama periode “Gerakan Bela Islam” yang ikut mewarnai Pilkada DKI Jakarta.

Pemilik akun Telegram ada yang mungkin was-was setelah pemerintah menutup sejumlah akun berbasis komputer yang ditengarai dipakai sebagai media komunikasi para teroris. Bahkan ada kemungkinan pemerintah akan menutup aplikasi Telegram secara penuh. Justru untuk alasan karena Telegram “lebih baik dalam menjadi privacy”.

Makin banyak pula yang keluar dari berbagai grup dan hanya menggunakan akun media sosial untuk komunikasi personal saja.  Tak jarang pula yang berhenti total dari penggunaan media sosial, dari semua aplikasi.

Saya, seperti mungkin sebagian para pembaca, termasuk yang mulai berpikir dan makin selektif dalam menggunakan media sosial. Hal ini terutama berlaku untuk akun Whatsapp, Line, dan Telegram dimana kita biasa masuk atau dimasukkan ke dalam berbagai grup. Mulai grup teman SD sampai teman kuliah di luar negeri; dari grup teman kantor hingga grup kelompok pengajian dan organisasi non-formal sampai klub hobi.

Kenapa? Kalau sampai berhenti di bulan Ramadhan, kan seolah-olah media sosial itu tidak mendukung ibadah kita? Apa demikian negatifnya sudah isi media sosial? Tapi kenapa popularitas dan penggunanya makin tinggi dan banyak? Pengguna Facebook mencapai 2 milyar di pertengahan tahun ini!

Membaca Mendalam

Ada teman yang memutuskan mengurangi dan, kadangkala, berhenti sementara dari membuka akun media sosialnya ketika dia ingin kembali menikmati membaca yang mendalam (deep-reading). Membaca satu atau beberapa buku secara serius memang makin menjadi kemewahan di era yang makin serba instan dan rapid ini.

Apakah ini berarti media sosial menghalangi kita dari membaca mendalam? Kalau ya, apakah media sosialnya atau isi medianya yang menghalangi kita untuk membaca mendalam? Bagi sebagian mungkin salah satu, bagi yang lain mungkin keduanya.

Ada banyak bacaan serius yang bisa diperoleh lewat media sosial, termasuk lewat link yang diberikan oleh cuitan di Twitter, misalnya.  World Economic Forum, sebagai contoh, punya akun Twitter yang sangat rajin bercuit. Cuitannya banyak berisi link ke bacaan yang lebih serius, dari artikel populer hingga artikel jurnal para penulis yang punya otoritas tinggi. Bahkan seringkali ada link ke website yang lebih serius dan buku elektronik.

Orang juga bisa berargumen bahwa lewat Facebook, Twitter, dan Instagram, seseorang bisa memastikan tak ketinggalan bacaan menarik dari penulis favoritnya pada laman Tirto, Kumparan, atau GeoTimes. Ketiga media ini jelas hadir dengan mengeksploitasi fitur bisnis pada media sosial.

Jangan-jangan ini adalah pertanda baliknya kerinduan pada “bacaan yang lebih dalam” selain sekedar “alternatif” dari media konvensional dan media arus utama (mainstream). Sebagian mungkin masih berpikir kenapa harus berlangganan versi online koran atau majalah terkemuka yang berbayar sementara kita bisa baca tulisan yang tak kalah menarik dan bagus di media online yang masih gratis.

Sepertinya titik keseimbangan baru penggunaan media sosial, terutama yang berbasis telepon pintar, sedang terbentuk. Kita tak mau bacaan yang terlalu serius seperti buku atau jurnal ilmiah yang berat untuk dibaca pada layar telepon genggam kita. Namun kita juga tak mau bacaan yang terlalu dangkal dan choppy, sepotong-sepotong, tak cukup tuntas, yang ditawarkan diskusi dalam media sosial.

Fenomena ini mungkin juga bisa kita pakai untuk menjelaskan kebosanan kita pada diskusi one-liner ala ABG pada Line, Whatsapp, atau Telegram. Ketika makin dewasa dan serius kelihatannya makin banyak yang meninggalkan grup yang berisi komentar yang hanya satu baris, one-liner,  bahkan seringkali satu kata, atau bahkan sebuah simbol emoticon saja!

Di lain pihak, bukan hanya remaja, kita yang sudah dewasa pun sering tak suka membaca tulisan serius, apalagi yang panjang dan mendalam pada telepon genggam kita. Mungkin karena ini, buku dan bacaan dalam bentuk hard-copy tak kan pernah tergantikan.

Iqra: pilih dan pilah

Tapi rasa bosan sampai neg dengan dunia media sosial bukan semata karena badai informasi yang harus kita terima. Untuk saya paling tidak, kualitas informasi yang buruk dalam berbagai media online dan aplikasi media sosial, terutama dalam grup-grup medsos, ikut mempengaruhi aktivitas membuka akun-akun media sosial yang pernah saya buka.

Sebagai penduduk era informasi, kita ingin mendapatkan sebanyak mungkin informasi. Media sosial dan media online adalah sumber informasi yang besar tapi sangat rapid, cepat bertubi-tubi. Kadangkala kita kewalahan dengan begitu banyak dan cepatnya informasi yang kita terima. Bisa-bisa sampai neg dan lelah dengan ragam informasi itu. Paling tidak fenomena ini membuat kita sering terjebak dengan informasi prematur dan tidak lengkap.

Walaupun kadang ikut terpancing untuk membuka dan membaca semuanya, pengalaman kita ber-medsos-ria bisa jadi telah ikut membentuk pola dan kebiasaan kita memilih dan memilah informasi yang kita terima dan baca. Ya, kita bisa lebih selektif dengan yang bisa kita baca.

Di lain sisi, populisme telah membuat informasi tertentu lebih sering tampil di layar atau dinding akun media sosial kita ketimbang informasi lainnya. Trending topic yang didasarkan pada jumlah click akan tampil lebih lama menyapa kita. Analytics yang berada di belakang aplikasi ternama telah memilihkan topik dan informasi yang sesuai dengan profil kita; sehingga bukan saja iklan, berita pun telah dipilihkan untuk kita. Kita akhirnya “dijebak” hanya membaca yang “kita suka” atau paling tidak yang paling “sering kita click” walaupun belum tentu kita baca.

Mungkin karena itu ada sebagian teman yang menjadi begitu anti-pati dengan yang mereka anggap media main-stream? Gara-gara aksi gerakan tertentu, sampai ada perang buzzer segala, yang posting-nya sering diakhiri dengan peringatan seperti “Jika Anda cinta bla bla bla….maka sebarkan berita ini!”, kita makin sering “dipaksa” untuk menerima informasi-informasi dari berbagai sumber di sekitar kita.

Tak heran, sampai ada artikel yang menganjurkan kita agar tak terlalu sering berdekatan dengan telepon pintar kita. Kita bisa jadi “bodoh”!

Bahkan ada yang sampai mengampanyekan gerakan tidak membaca atau menonton media mainstream tertentu. Sayangnya, media alternatif yang dikutip atau dianjurkan oleh mereka yang “anti media mainstream” isinya seringkali tidak berkualitas. Bahkan ada yang berisi hoax dan penuh ujaran kebencian.

Kebanyakan tulisannya tidak layak baca bukan hanya karena isinya yang sering merendahkan akal sehat, tapi karena cara penulisannya yang tak mengikuti aturan standar yang paling sederhana sekalipun.  Bagi mereka yang suka membaca, keterbacaan rendah karena salah kapitalisasi atau tanda baca saja bisa membuat neg dan tunu (sangat jengkel).

Dalam kaitan ini, perintah iqra (membaca) menjadi sangat relevan. Seorang muslim, misalnya, diajarkan tentang pentingnya kemampuan membaca “teks” dan “konteks”. Perhatian pada “teks” membuat seorang muslim mestinya teliti dalam melihat bacaannya. Pemahaman tentang kapitalisasi, tanda baca, diksi, idiom, dan kalimat efektif adalah ukurannya. Menulis dengan teliti adalah salah satu cara meningkatkan keterbacaan sebuah tulisan, termasuk tulisan populer.

Sementara untuk pemahaman “konteks” seorang muslim dituntun untuk memahami bacaan secara menyeluruh sekaligus terpadu, termasuk yang tak tersurat dalam bacaan yang dibacanya. Makanya dalam memahami Al-Quran dan Sunnah, misalnya, kita belajar konteks lewat “asbabun nuzul” (asal-muasal) nya. Itu hanya mungkin diperoleh dengan banyak membaca, memperluas wawasan, dan terbuka dengan semua bacaan , pemikiran, dan informasi. Agar kita tidak jumud. Agar kita tidak terjebak pada taqlid buta.

Inilah aspek penting dari literasi. Karena hanya dengan literasi kita bisa membangun peradaban. Rendahnya literasi di Indonesia adalah salah satu penyebab suburnya hoax di media sosial kita.

Jadi, bukan sumber bacaan sebenarnya yang harus dipilih dan dipilah. Tidak pula terlalu penting siapa yang menulis. Tapi yang jauh lebih penting adalah apa yang ditulis dan kualitas tulisannya!

Yuk Iqra’!

*Saiful Mahdi adalah staf pengajar di Program Studi Statistika FMIPA dan Peneliti pada PPISB Unsyiah dan ICAIOS. Isi tulisan adalah pandangan pribadi. Email: [email protected]

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU