Friday, March 29, 2024
spot_img

“Jangan-Jangan Saya (Juga) Gila”

Penampilannya tetap rapi walaupun kemeja batik bermotif bunga warna coklat yang dikenakannya terlihat semakin pudar. Peci lusuh hitam selalu setia melindungi kepalanya dan sandal jepit hitam bermerk Swallow selalu mengiringi setiap langkahnya. Hari ini, ia di pojokan warung kopi Cek Pan, sambil memandangi sajian yang telah tersaji. Sesekali terlihat berbicara dan tersenyum kepada teh setengah panas atau teh hangat dan kue lapis yang hendak disantapnya. Orang-orang melabelinya gila.

Sebelum mendapat gelar gila alias pungo, Bang Trom (demikian nama panggilannya), dulu adalah seorang kontraktor sukses. Ia sering mengerjakan proyek-proyek dari anggaran pemerintah untuk membangun sarana publik atau infrastruktur.

Bencana bermula saat ia tergoda untuk terjun ke dunia politik. Sekira sepuluh tahun lalu, Bang Trom mencalonkan diri menjadi kandidat bupati di kabupaten asal orang tuanya. Bukan tanpa alasan ia “bernafsu” menjadi bupati. Libido ini dihembuskan oleh orang sekelilingnya dengan cara membujuk dan meyakinkannya sebagai orang yang paling tepat memimpin kabupaten itu.

Faktor yang tak kalah penting adalah syahwat untuk bisa mengatur bahkan menguasai “mesin” uang mulai dari berbagai jenis tambang dan mineral, hutan, hingga isi perut laut, dengan cara berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan nasional dan internasional. Bahasa “pembangunannya” sering disebut mengundang investor.

Nyaris seluruh harta kekayaan Bang Trom dikonversi dalam bentuk kampanye, menyewa lembaga survey, membayar relawan hingga saksi serta sogok sana-sini dengan kode operasi “serangan fajar.” Menurut lembaga survey yang dibayar mahal itu, Bang Tom punya kans besar untuk menang, istilah keren mereka supaya ia percaya adalah elektabilitasnya tinggi.

Namun hasil akhir pilkada berkata lain. Ia mulai stress, depresi, dan berubah total. Hartanya ludes, hutang menumpuk, diperparah dengan istri minta cerai karena tak tahan lagi hidup bersama.

Demikian selintas kisah salah seorang pelanggan warkop Cek Pan, yang pagi itu sedang menyeruput teh kesukaannya. Selaku pemilik warung yang paham akan pelanggan, Cek Pan punya keahlian khusus untuk mengetahui selera para pelanggan dan menyimpan dalam database memorinya. Berbanding terbalik dengan Bang Tom yang sangat konsisten dengan teh, saya punya siklus ngopi yang tergantung periode waktu. Cek Pan punya rumus yang dia ceritakan kepada saya.

“Pola droe jeep kupi nakeuh diklasifikasikan dalam lhee boh watee.

“Tanggal muda. Arti jih, sepuluh hari bulan pertama selera droe adalah Sanger.”

Sanger adalah kopi dicampur susu atau krimer plus sedikit gula dan harganya lebih mahal dibandingkan kopi hitam biasa.

“Tanggal pertengahan. Siploh uroe teungoh buleuen, droe akan pesan kupi full.”

Kopi hitam ini harganya setengah dari sanger.

“Dan tanggal tua, hari-hari di akhir bulan kayak hari ini, selera droe yakni kupi pancong.”

Kopi pancong adalah kopi hitam biasa, yang membedakannya hanya kuantitas lebih sedikit dari kopi penuh dan pasti low price.

Melihat Bang Trom duduk sendiri, Cek Pan, seperti biasa mencoba menyapa sang customer. Saya tak mau ketinggalan, sambil membawa kopi pancong yang tinggal setengah, saya mendekati meja kedua pria itu.

Yang saya senangi diskusi dengan orang seperti Bang Trom adalah kami bisa berbicara apa saja dengan menggunakan imajinasi yang luar biasa. Mulai dari kondisi ekonomi dan politik tanah air, info selebriti, hingga prediksi skor Liga Eropa. Tak jarang kami juga membahas masalah agama, kuliner lezat, hingga trend anak muda selfie yang kerap memonyongkan mulut mereka. Pagi itu kami membahas tentang definisi gila. Entah siapa yang memulai. Saya mulai menyimak Bang Trom.

“Orang-orang sekarang makin aneh. Aleh pakon, jinoe ureung-ureung galak that kheun keu gob, pungo. Orang yang katanya waras suka sekali mengklaim orang lain itu gila.”

“Beda dikit aja udah dibilang gila. Beda cara berfikir aja sudah dituduh masuk ke dalam golongan sarap.”

“Kalian terlalu asik mengukur indeks kegilaan orang lain. Lagee hana buet laen.”

Bang Trom mulai mengkritisi orang seperti kami yang katanya normal.

Ia meneguk lagi teh setengah panas, lalu melanjutkan kalimatnya.

“Sebenarnya, kalian itu lebih gila dari orang gila seperti saya ini.”

“Lagi pula, apakah kalian yakin kalo kalian itu normal dan tidak gila? Karena saya yang kalian bilang gila justru berfikir sebenarnya kalianlah orang gila itu, bukan saya.”

“Apa bukti bahwa saya itu gila, selain karena pernah masuk rumah sakit jiwa? Itu kan Rumah Sakit Jiwa, bukan Rumah Sakit Gila.”

“Juga, apa bukti kalian itu tidak gila? Apa betul yang kalian kerjakan tiap hari itu tidak lebih gila dari orang kayak saya? Soe nyang leubeh pungo di antara geutanyoe nyoe?

Saya dan Cek Pan terdiam bak sedang dihujani pertanyaan oleh hakim agung.

“Definisi gila sekarang terbagi empat.”

“Pertama, gila harta. Kedua, gila wanita. Ketiga, gila tahta. Dan keempat, gila Pilkada.”

Gleekkk…, saya tersedak mendengar kategori keempat. Yang sudah lazim saya dengar adalah gila tiga jenis saja. Ah, biarlah, namanya saja orang gila, suka-suka dia membuat teori.

“Dan, ureung-ureung gampong peugah, lon termasok lam golongan lumboi peut, hahaha…

Saya dan Cek Pan juga tertawa mendengar Bang Trom tertawa senang, lalu mengakhiri “kuliah” pagi ini.

“Sumber dari kegilaan ini bermula dari sifat manusia yang serakah, atawa geureuda. Apa saja dibuatnya untuk memuaskan nafsunya. Nyoe keuh sumber bencana donya.”

Saya jadi ingat salah satu karya Joseph Stiglitz yang membahas tentang keserakahan atau greediness sebagai pemicu krisis ekonomi di dunia. Perusahaan-perusahan besar bangkrut, banyak orang kehilangan mata pencaharian, dan orang miskin menjadi semakin miskin. Saya rasa Bang Trom baru selesai membaca buku itu.

Diskusi pagi itu menyadarkan, jangan-jangan saya termasuk orang gila seperti argumen Bang Trom. Cek Pan lalu menggratiskan kopi dan teh untuk kami pelanggannya, karena ia bahagia.[]

Fahmi Yunus
Fahmi Yunushttp://ACEHKITA.com
Fahmi Yunus adalah periset komunikasi massa dan studi pembangunan.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU