Thursday, April 25, 2024
spot_img

Jatuh Bangun Usaha Songket Siem (Tamat)

Dua tahun kemudian pada pergelaran Aceh Fashion Parade yang digelar di Banda Aceh pertengahan Mei tahun 2017, Azhar terlihat sibuk mengatur kain songket, ia menggambil beberapa patung pajangan namun ia bingung untuk menatanya agar terlihat indah. Ia mengisi stand khusus untuk mempromosikan kain tradisonal ini kepada para pengunjung. Setelah memcoba mereka-reka akhirnya ia meminta panitia untuk memasangnya. “Saya belum punya keahlian,” katanya sambil tersenyum. [Baca: Jatuh Bangun Usaha Songket Siem (1)]

“Kain ini dari ibu Dahlia yang songket dari sutra, sebenarnya sudah ada yang memesan dan harus segara saya kirim ke Jakarta tapi saya tunda dulu untuk bagian promosi disini selain itu ada juga yang berbahan benang katun dari pengrajin yang lain juga” Ungkapnya sambil promosi. Sudah dua tahun belakangan ini Azhar dan teman-temannya yang tergabung dalam I love Songket Aceh giat mempromosi dan mendorong agar generasi muda lebih mengenal warisan indatu ini. Mahasiswa magister manajemen Unsyiah ini giat mengikuti berbagai kegiatan bahkan aktif memberikan berbagai informasi di media sosial terkait songket.

Komunitas yang resmi berdiri pada September 2015 ini terbentuk atas kepedulian terhadap kerajinan tenun aceh yang sudah mulai ditinggalkan oleh generasi muda. “ zaman dulu ini merupakan salah satu hasil karya masterpice tapi karena kurangnya minat dan informasi maka perlahan kain ini mulai ditinggalkan” ceritanya. Azhar Ilyas tidak bekerja sendiri tapi ia turut menggandeng banyak pihak lainnya yang juga peduli. “Ada ibu laila Abdul Jalil, Yelly Sustrarina dan juga bang Hijrah Saputra yang juga sangat banyak membantu,” tambahnya lagi.

“Masih ada beberapa pengrajin songket laiinya yang dulu sempat berguru pada Nyakmu di desa Siem seperti usaha songket yang dirintis oleh ibu Jasmani dan Rosmalizar di gampong Mireuk Taman”Ungkap Azhar lagi. “kalau ibu Jasmani memiliki beberapa orang yang bekerja bersamanya sedangkan kak Ros bekerja sendiri hasil produksi mereka adalah songket benang katun karena kalau yang benang sutera masih dipengang oleh kak Dahlia tapi kalau penasaran dengan alat tenun songket ini juga bisa datang ke ruang pameran tetap museum Aceh, ada disana,” sambungnya lagi.

***
Barbara Leigh, Seorang peneliti dari Australia dalam bukunya yang berjudul Hans Of Time The Crafts Of Aceh memaparkan bahwa sutera sudah ditenun berabad lamanya, ulatnya dibudidayakan dan sutera tersebut dipintal hingga beberapa tahun setelah perang dunia ke 2. Barbara sendiri melakukan berbagai penelitian terhadap seni kerajinan Aceh hingga kedaerah pelosok dan berbincang dengan banyak pengrajin kala mendampingi suaminya bertugas sebagai pengajar di kampus Unyiah. Ia mulai menulis buku ini pada tahun 1978 dan selesai dalam waktu delapan tahun.

Cacatan paling tua tentang tenun sutera ini ditemukan pada kitab Sung pada abat ke-10 dan ke-11 yang menyebutkan bahwa sutera dalam jumlah besar kala itu turut dikirimkan dalam muatan besar kesejumlah wilayah di India. Sutera yang diproduksi di Aceh terkenal dengan kualitas yang baik sehingga memiliki harga yang lebih tinggi di pasaran. Menjelang abad ke 19 dituliskan bahwa produksi sutera sudah tersebar hingga ke pesisir barat walaupun produksi Pidie dan Aceh Besar menjadi pusat ketenarannya. selama abad 16 dan 17 bahan ini menjadi barang dagang utama yang diangkut melalui lautan menuju Gujarat sebagai penukar terhadap kain dari Cambay dan barang dagangan lain seharga 100,000 dukat.

Kala itu walaupun memproduksi langsung Sutera dan katun namun masyarakat Aceh lebih menyukai pakaian impor untuk dioakai sehari hari. Menurut catatan pembukuan keuntungan yang dibuat oleh VOC pada tahun 1680 tentang perdagangan kain chindos yang langsung di datangkan dari India dirancang khusus untuk masyarakat Aceh. Bentuk yang paling disukai saat itu adalah selendang yang banyak dipakai oleh keluarga terkemuka dan uga dijadikan warisan turun temurun beberapa keluarga.

Desain yang dipergunakan oleh penenun Aceh berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya begitu pula dengan teknik ikatnya. Kalau dibagian indonesia lainnya benang sutera yang diikat adalah benang pakannya namun disini yang diikat adalah benang lungsi. Walaupun dipengaruhi oleh budaya India dan Persia namun satu yang pasti songket di Aceh tidak menggunakan motif hewan pada kain songket yang ada.

Menurut John Ang seorang dosen textil dari Taiwan mengatakan bahwa dari kain songket ini juga terbaca karakter masyarakat Aceh. “Dibandingkan dengan kain tenun palembang atau daerah lain di Indonesia warna songket aceh itu konstan dan memilik beberapa variasi.”

“Palembang misalnya tergambar kemegahan dan kemewahan dalam kainnya yang berwarna keemasan, sedangkan Aceh mempunyai banyak motif yang rumit namun tetap bersahaja dan begitupula dalam pemilihan kain yang berwarna lebih netral seperti hitam, merah, kuning dan hijau walaupun sekarang banyak kombinasi warna laiinya,” tambah dosen sekaligus kolektor kain ini.

“Kesabaran dan kesederhanaan masyrakat Aceh terlihat dan banyak kerajinan mereka terutama pada songket itu terlihat dengan jelas” tambahnya lagi. John Ang memborong beberapa kain songket termasuk juga celana bermotif songket dan ikat kepala. “Padahal produk ini sangat keren dan kualitasnnya sangat bagus namun disayangkan sekali produksinya sangat kecil,” sambungnya lagi.

***
Siang itu Jasmani, Suami dan seorang pengrajin lainnya sedang mengerjakan kain songket pesanan dihalaman rumahnya desa Mireuk Taman. Biasanya ada empat pengrajing yang bekerja di empat alat pemintal yang dipasang sendiri olehnya. Menurut perempuan berkacamata ini kurangnya minat generasi muda terhadap usaha menenun inilah yang menjadi pangkal kurangnya produksi.

“Kalau ada pesanan ya kita kerjakan sedangkan yang jadi stok buat cuntoh paling ada sepasang atau dua pasang karena membuat songket juga perlu modal yang besar,” ungkap salah satu murit Nyak Mu ini. “kalau generasi sekarangkan senang yang praktis jadi karen itu mungkin minatnya kurang, membuat songket ini perlu ketelitian dan ketekunan, belum lagi belajar memasang motif itu yang paling sulit dari semua proses,” tambahnya sambil membetulan letak kacamata.

Jasmani Daud memulai profesinya sebagai seorang penenun mulai tahun 1984 dibawah bimbingan langsung sang guru ia menjadi murit yang produktif bahkan pernah ikut mempromosikan songket hingga ke negeri tulip, Belanda. Even itu adalah salah satu upaya pengembangan industri kerajinan Aceh dengan dilakukanya promosi pada festival budaya tong tong pada tahun 1984. Tak hanya Jasmani yang produktif membuat songket, Parliansyah sang suami juga tergerak melestarikan hasil kebudayaan satu ini dan dengan ketekunannya, ia juga berhasil menjadi penenun yang baik.

Dengan empat pengrajin yang dimilikinya usaha songket Jasmani bisa menghasilkan 2 hingga 3 pasang kain sari seorang pengrajin setiap bulannya jika pesanan lancar. Bertahun mengeluti usaha ini dan mengalami pasang surut dan produksi tidak menyurutkan niat ibu satu anak ini untuk terus melestarikan warisan indatu.

“Semua orang bilang peduli sama kekayaan dan warisan budaya namun kalau ingin mengatakan ini budaya kita, warisan kita ya jangan hanya lihat-lihat saja tanpa upaya,” ungkapnya di Akhir wawancara.

Setelah azan dhuhur berkumandang para pengrajin dihalaman rumah itu pulang untuk beristirahat begitu pula dengan Jasmani yang harus segera menyiapkan santap siang untuk keluarganya. Namun alat tenun Parliansyah masih berbunyi seirama dengan gerakan kaki dan tangannya. Mereka masih harus menyelesaikan beberapa pesanan kain hingga akhir minggu ini. [Tamat]

Previous article
Next article

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU