Thursday, March 28, 2024
spot_img

Jatuh Bangun Usaha Songket Siem (1)

“Teuk, Teuk“ bunyi alat pintal di hentak kecil. Bunyi itu terhenti sebentar.
“Piyoh (singgah)” bersahut suara milik Idariani dari dalam rumah yang belum sepenuhnya selesai itu.

Ida atau kak Da begitu nama pangilannya baru saja mulai menenun lagi selepas selesai panen padi, berkarung karung padi tergeletak di ruang tengah rumahnya. Ia baru saja pulang dari rumah Dahlia untuk mengambil keperluan untuk memenun songket.

Menenun dimulai dengan memasang benang pada teupeun atau alat untuk menenun tradisonal yang dibuat dari beberapa papan dan kemudian dirangkai sedemikan rupa. Memilah dan memasang benang membutuhkan banyak ketelitian karena pada saat itulah motif pada songket digambar.

Kak Da adalah murid dari pada almarhum Maryamu atau Nyakmu penenun tersohor dari Kampung Siem, dulu ia sering menenun di perkarangan rumah sang guru namun sekarang ia lebih sering membawanya pulang kerumah. “Kalau hanya buat songket uangnya tidak cukup, jadi saya juga kesawah dan menjadi menjaga anak-anak” Kisah Ida sambil terus memintal dengan mengerak kan kaki dan tangannya seirama.

Perempuan berusia 50 tahun ini menerima 450 ribu rupiah untuk sepasang kain songket jadi.
***
“Teugoh musem troen Blang, awaknya ka di peu woe urumoh, di peuget dirumoh droe maseng maseng (Sedang musim tanam padi, mereka sudah membawa pekerjaannya pulang kerumah untuk di kerjakan di sana)” Kata seorang laki-laki yang keluar dari belakang bilik kecil pembuat songket itu.
“Jak u rumoh kak Dah manteng, ikeu nyan rumoh gob nyan (Pergi saja ke rumah Kak Dah, rumahnya ada di depan sana)” Tambahnya berlalu pergi tanpa mempekenalkan diri.

Kak Dah yang disebutkan adalah Dahlia anak perempuan Nya’mu satu satunya yang kini meneruskan usaha yang di beri nama Songket Aceh gema beusare. Di kampong ini tidak ada yang asing dengan keluarga pembuat songket turun temurun ini.

Dahlia hari itu sedang menjaga cucu tidak datang untuk menenun, rumahnya memang hanya beberapa langkah dari tempat memintal itu.

“Cuma sabtu minggu manteng yang jeut kerja, uroe laen ka ta jaga cuco, mangun, ta peugleh rumoh (Cuma hari sabtu dan minggu saja sempat bekerja, hari lain harus menjaga cucu, memasak dan beres beres rumah)” Ungkap Dahlia sambil membuka pintu rumahnya.

Ia menambahkan walaupun begitu pembeli bisa datang kapan saja untuk membeli kain songket. Walaupun sudah jarang di temui orang Aceh yang sering memakai kain ini selain untuk acara adat tetapi tenun tradisional ini tidak kehilangan peminat. Di Aceh Besar terutama selain menjadi pakaian Adat kain songket merupakan barang Aseo Talam (Barang Hantaran) dari keluarga laki-laki kepada Perempuan di hari pernikahan.

Ija Seunalen (Pakaian ganti) ini di angap sebagai Ulee Ija atau Kain yang kedudukannya paling tinggi dibandingkan barang hantaran yang lain dan di anggap sebagai penghargaan itu perempuan itu sendiri. Barang yang dalam Asoe Talam ini diserahkan pada Antat Linto (Pesta di tempat Pengantin perempuan) dan akan di pakai oleh penganti perempuan dalam pesta antat Dara baroe (Pesta di tempat Penganti laki-laki).

Di ruang tamu rumah Dahlia bingkai foto memasang berbagai penghargaan dan hasil wawancara media dengan ibunya dulu masih terpasang. Foto yang paling usang memperlihatkan Nya’mu menerima penghargaan Upakarti di Istana Negara Negara Jakarta , 28 Desember 1991. Gambar itu memperlihatkan Presiden Seoharto Kala itu di dampingi Ibu Tien memberi penghargaan kepada Maryamu yang datang dengan memakai Kain Songket berwarna merah muda dan Songkok berwarna hitam (Penutup Kepala).

“Saat Ibu meninggal, memang sudah tak banyak lagi pekerja yang membuat Songket, sekarang tinggal empat orang dan mereka mengerjakan dirumah karena bisa di kerjakan sambilan mengerjakan yang lain,” cerita Dahlia.

“Ibu memang tidak secara khusus mewariskan ini, namun saya sejak dulu memang menenun bersama namun masih banyak yang saya tidak belajar dari ibu, Mak jeut peuget corak bak ija teuma kamao jino Cuma meutiru peu nyang gob jan peuruno (ibu bisa menciptakan motif pada kain sekarang kami hanya meniru apa yang pernah di buat oleh ibu dulu),” tambahnya lagi sambil mengeluarkan koleksi songket dari lemari.

Saat ini hanya Dahlialah dan dapat membuat motif dan ia akan datang ketempat warga yang menenun untuk memasangnya. Ada 50 lebih motif songket yang di ciptakan oleh ibunya. Motif motif ini dulunya pernah di bukukan oleh dinas perindustrian dalam bentuk buku pada tahun 1992. Di antara yang paling terkenal adalah motif Laa Ila Haillallah yang hanya di pasang pada Kupiah Meuketop (Topi penganti laki-laki atau juga lebih di kenal Topi Teuku Umar), Geulima Meupucok, Awan sion, Pocok Meuriya, Pinto Aceh, Kupula Meurante, pucok Aron dan lainnya. Kini semua motif itu di simpan dengan potongan kecil untuk memudahkan para pembeli memilih.

“Terkadang yang membeli tidak peduli dengan motif mereka lebih memilih warna,” ungkap nenek empat orang cucu ini. Dulu songket hanya berwarna khas Aceh yaitu Hitam, Mereh, Kuning dan Hijau namun sekarang ada beragam warna dari merah muda, Ungu sampai gradiasi campuran berbagai warna.

Kain Songket satu set yang terdiri dari selempang dan Sarung dihargai satu juta 400 ribu rupiah, Selain bahan bakunya yang yang mahal, proses membuatnya juga memakan waktu lama. “ untuk satu sarung saja biasanya siap dalam waktu 15 hari dan ini belum termasuk membuka benang dan memasangnya pada mesin pintal,” ungkapnya lagi.

Bahan untuk songket berupa Sutra dan benang emas mereka beli dari Bandung dan kemudian di kirim ke Medan itu membuat benang sutra yang di beli dengan harga yang tinggi. Dahulu usaha songket ini memiliki peternakan ulat Sutra sendiri dan untuk pewarnaan Nya’mu melakukannya dengan bahan alami yang dimasak di dekat romoh Aceh miliknya.

“Dulu Peternakan ulat itu ada di Lam Tamot Kecamatan Seulimum, Karena semua pekerjanya datang dari pulau Jawa dan ketika Konflik memanas mereka terpaksa pulang sehingga puluhan ulat itu mati tidak ada yang menjaga,” kisahnya.

Selain Peternakan ulat sutra, usaha songket ini juga memiliki showroom di Kampung Mulia Banda Aceh yang di kelola oleh anak laki-laki Nya’mu namun tempat itu hilang terbawa tsunami dan tidak memiliki gantinya hingga sekarang.

“Banyak yang datang mengajak bekerja sama namun hanya sebatas janji, padahal dulu ibu sangat yakin bahwa setelah damai akan banyak yang akan datang untuk belajar membuat songket tidak seperti dulu ketika konflik kami terkadang harus tiarap ketika memintal kain namun ternyata tidak ada murid ibu yang kembali, ada kemudian beralih profesi menjadi tukang bordir karena itu lebih cepat,” kenang sang Ibu.

Siem memang termasuk desa garis merah ketika Konflik dulu karena jaraknya yang dekat dengan gunung Glee Ineum, situasi yang memanas itu juga yang membuat banyak murid dari Maryamu yang pulang Kampung. Mereka datang dari berbagai daerah di seluruh Aceh. Maryamu sendiri dengan usaha songketnya sudah melakukan pameran sampai keluar negeri dan mendapat penghargaan dan mana Siem sendiri di kenal sebagai sentra pembuatan kain songket.

Beberapa Peninggalan Songket tua kini ada di tangan Dahlia sebagai pewaris terakhir di keluarga ini yang masih aktif membuat dan mengajar membuat songket.

“Ini merupakan buku kain songket, orang jaman dulu tidak bisa mengambar jadi mereka membuat buku motif dengan menenun,” cerita Dahlia sambil membuka kain yang konon sudah berumur 200 tahun itu. Kain merah tua berukuran 50×50 Cm yang memuat 25 motif ini sudah lapuk dan berlubang di bebarapa titik ini pernah di tawar puluhan juta.

“Ibu tidak pernah menjualnya, kalau saya ya jual saja kalau ada yang mau,” katanya lagi sambil bercanda.

Di antara peninggalan itu juga ada selendang Hitam Cut Nyak Dien kain hitam itu sudah berlubang di beberapa bagian dimakan usia. Tidak ada yang mengetahui riwayat kain ini karena Maryamu juga mewariskan dari Naimah sang ibu yang juga di wariskannya secara turun temurun. Di yakini kain ini merupakan motif kain selendang yang sering di pakai oleh Cut Nyak Dien.

Pahlawan wanita yang gemar memakai kain selendang berwarna hitam ini merupakan orang Aceh Besar.

Ia masih ingat dulu Christine Hakim sang Pemeran Cut Nyak Dien dalam Film Kolosal Tjoet Nja’ Dhien datang dan meminta untuk dibuatkan selendang Khusus seperti itu. Sang artis akan memakainya saat berlakon dalam film agar lebih menjiwais. Ia pun masih menyimpan dengan rapi foto kedatangan tamu istimewa itu.

Dahlia terus mengeluarkan kain kain tua dari lebari kacanya, kain itu hanya di simpan seadanya tampa perawatan khusus. “Nah yang ini celana wanita Aceh Jaman dulu, kan orang dulu suka memakai celana yang besar-besar seperti ini,” ungkap Dahlia lagi sambil membuka satu persatu kain tua di depannya.

Menurut Sejarah Catatan tentang tenun sutra Aceh yang Paling tua di temukan dalam kitap sung pada abad 10 atau 11 masehi di Pidie. Pada abad ke 16 karena produksi yang melimpah bahkan benang sutera yang ada sampai di ekspor ke India. Kain sutera di bentuk motif dari benang emas merupakan pengaruh dari persia. Pada abad ke 20 seorang etnologi mengumpulkan beragam kain songket Aceh yang sebagian nya sekarang masih tersimpan di Perpustakaan Leiden Belanda.
Kain Songket Aceh tidak memiliki motif mahluk hidup seperti manusia dan hewan karena dalam ajaran Islam pengambaran makhluk hidup itu di larang sehingga unsur alam seperi tumbuhan atau awanlah yang menjadi inspirasi.

“Saya memang belajar menenun dari Ibu dulu urusan yang lain saya tidak begitu peduli, saat ibu meninggal bahkan saya ingin menyerah saya menenun namun abang saya mengatakan kami harus sama sama membangun kembali usaha ini,” ungkap Dahlia lagi.

Ia mengakui tidak pernah tau makna dari kain motif yang di buat ibunya “ Sekarang rasanya menyesal rasanya dulu tidak pernah bertanya, orang lain yang mendokumentasikan pun tidak ada takutnya makin lama makin lupa orang tentang songket ini,” tambahnya.

“Anak saya tidak ada yang mau meneruskan usaha ini walaupun mereka bisa menenun, karena banyak pekerjaan lain yang lebih enak, karena membuat tenun memerlukan ketelitian dan kesadaran yang tinggi, ya mudah mudahan ada lagi yang datang untuk belajar seperti dulu sekarangkan sudah damai,” ungkap dia.

Dahlia pun mengungkapkan bahwa merekapun saat ini sudah tidak menghadiri pameran apapun karena kekurangan biaya. “saat ibu meninggal banyak yang datang berkabung namun orang juga cepat melupakan bagimana gigihnya ibu melestarikan peninggalan adat ini.”

Pagar itu tak berkunci, ilang tumbuh sembarang di halaman rumah trasisional Aceh itu, bangunan putih lusuh disampingnya tidak memperdengarkan lagi suara perempuan – perempuan yang sibuk menenun, hanya beberapa alat tenun tradisional yang sebagain telah berjaring laba laba hanya satu yang masih tertutup benang yang sudah hampir selesai di tenun berwarna merah jambu. Romoh Teupeuen (Tenun) yang di buat oleh dinas perindustrian Aceh itu Kosong.

Beberapa tahun silam tempat itu ramai dengan suara Teuk teuk teuk suara alat memintal yang digerakan dengan kaki dan tangan itu, sebagian sibuk melepas benang dan halamannya lebih asri, namun hal itu berubah drastis telah Nya’Mu pangilan akrab almarhum Maryamu yang meninggal pada februari 2009. Kolong rumah adat tempat nenek 15 orang cucu ini sering bersantai dan menerima tamu kini sunyi. Di banyak tempat rumah itu lapuk di tinggal oleh penghuninya.

RUMAH Aceh di Jalan Tgk Glee Ineum lorong abu lampisang no 16 itu masih sepi walaupun damai telah datang namun para murid yang belajar menenun kain tradisional Aceh itu tak pernah kembali seperti harapan guru si pemilik rumah itu sampai ia meninggal. [Bersambung]

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU