LHOKSUKON | ACEHKITA.COM — Puluhan jurnalis dan pewarta foto media lokal dan internasional meliput imigran Rohingya dan Bangladesh di penampungan Gedung Olahraga Lhoksukon, Aceh Utara. Namun, kesulitan bahasa membuat wawancara terhambat. Bagaimana solusinya?

Sebanyak 573 imigran asal Rohingya (Myanmar) dan Bangladesh terdampar di perairan Seunuddon, Aceh Utara, Ahad (10/5/2015) lalu. Oleh Pemkab Aceh Utara dan Imigrasi kantor Lhokseumawe, mereka ditampung sementara di GOR Lhoksukon.

Di sini, mereka tidur beralaskan terpal di atas lantai lapangan badminton. Dinas Sosial Aceh Utara juga telah membangun dapur umum di samping GOR.

Terdamparnya imigran gelap etnis Rohingya dan Bangladesh ini mengundang perhatian media lokal, nasional, dan asing. Mereka mengirimkan para pewartanya ke Lhoksukon untuk memotret dari dekat kondisi para imigran.

Namun, bahasa menjadi hambatan komunikasi antara jurnalis dan para imigran. Pasalnya, banyak di antara mereka yang tidak bisa berbahasa Inggris. Hanya berbilang jari yang bisa cakap-cakap Inggris atau Melayu.

Mohamad Shorif dan Dus Mahmath, misalnya. Keduanya hanya mengerti sedikit bahasa Inggris. Mereka berbicara Inggris hanya pada sebatas memperkenalkan diri dalam: nama dan umur. Selebihnya, mereka lebih banyak berbahasa Burma.

Walhasil, para pewarta kebingungan, tidak mengerti sama sekali apa yang dibincangkan para imigran itu.

Nurdin Hasan, wartawan Kantor Berita AFP, terpaksa memperlihatkan mengeluarkan smartphone. Ia menunjukkan daftar pernyataan hasil terjemahanan Google Translate dalam bahasa Burma: nama, umur, alamat, dan kenapa meninggalkan kampung halaman, kepada Dus Mahmath.

Dus Mahmath membaca dengan seksama lalu menulisnya dalam aksara bahasa Burma. Nurdin Hasan kembali kelimpunan. “You’ve to write in English,” timpal pria yang akrab disapa NH.

Untung saja, Dus Mahmath bisa sedikit bahasa Inggris. Ia menjawab pertanyaan tersebut.

“Saya harus membuka Google Translate untuk bisa berkomunikasi dengan mereka,” ujar Chaideer Mahyuddin, fotografer AFP. “Tapi untung juga, saya akhirnya bisa belajar bahasa Burma sedikit dari mereka.”

Pengalaman serupa terjadi ketika acehkita.com mewawancarai Mohamad Sharif. Pria berusia 16 tahun tersebut sedikit lancar berbahasa Inggris. Namun, beberapa pertanyaan yang diajukan membuat Sharif kebingungan.

Lagi-lagi, acehkita.com mengandalkan Google Translate untuk mewawancarai Sharif. Jadilah, wawancara itu bercampur aduk: Inggris dan Google Translate.

Namun, ada imigran Rohingya yang tidak mengerti aksara Burma. “No Burma, no school,” ujar Muhammad Thoyyub, singkat. Kalau sudah begini, kami hanya bisa geleng-geleng kepala. []

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.