Friday, March 29, 2024
spot_img

Kembali Ke Pangkuan ‘Istri Tua’

Pagi-pagi buta, Mak Ti, janda dua anak, pemilik bisnis dan penyalur telur ayam ke warung kopi mengeluh dan melapor ke Cek Pan bahwa sudah dua hari ini ayam di kandangnya “mandul”. Puluhan ayam kampung miliknya menolak untuk bertelur. Mereka stres!

Diduga, penyebabnya adalah karena sudah beberapa hari ini ada lima pesawat tempur milik negara mondar-mandir di atas kandang ayamnya, sambil mengeluarkan suara luar biasa bising, bergemuruh.

Agak aneh rasanya jika warkop di Aceh tidak menyediakan telur ayam kampung. Benar, harus ayam kampung, karena produk ayam ini katanya lebih berkhasiat dan alami. Biasanya telur ayam kampung diolah menjadi telur setengah matang dan telur/kopi kocok.

Untuk membuat telur kocok butuh keahlian khusus. Tanpa dimasak atau direbus, telur tersebut harus dikocok dengan waktu dan kecepatan tertentu untuk menghasilkan suatu tekstur yang diharapkan, tanpa bau amis, lalu dicampur kopi sesuai takaran.

Penggemar kopi kocok yakin akan khasiat minuman ini untuk meningkatkan stamina, istilahnya poding. Namun hari ini penggemarnya harus puasa karena ayam Mak Ti sedang libur bertelur.

Ternyata suasana tenang atau “kekuatan senyap” sungguh luar biasa dampaknya. Persis seperti pernyataan seorang pengamat hukum dan politik di Aceh yang sempat diulas di media, bahwa hasil mengejutkan dalam pilkada di Aceh disebabkan adanya silent power atau kekuatan senyap, yang mampu menggusur dominasi politik partai penguasa di Aceh. Terbukti real power sudah tidak lagi dominan dalam pilkada Aceh, paparnya. Dinamika telur ayam kampung dan kekuatan senyap menjadi tema utama perbincangan saya dengan Cek Pan pagi itu.

Berjuang secara diam-diam adalah salah satu cara orang Aceh yang kecewa dengan pemerintah saat ini.

“Contohnya, lihat saja angka kemiskinan dan kesenjangan tidak ada perubahan signifikan, jika dibandingkan dengan besarnya uang yang mengalir ke Aceh dan dikelola penguasa saat ini. Seharusnya dengan wewenang luas dan dana puluhan triliun rupiah, penguasa daerah bisa membuat orang Aceh hidup lebih makmur dan adil.”

“Fenomena kemiskinan dapat kita lihat dari ‘prestasi’ Aceh yang sering masuk kategori provinsi paling miskin di Indonesia. Laksana tikus yang mati di lumbung padi. Kesenjangan atau gap dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Yang kaya maken kaya, yang gasin teutap gasin.”

Lagee lagu Rhoma Irama, nyoe,” Cek Pan menyelutuk.

Saya tersenyum dan mengangguk tanda setuju.

Saya teringat pada salah satu karya Yasraf A. Piliang, dalam Transpolitika, yang mengaitkan berbagai peristiwa penjarahan yang sempat terjadi di beberapa kota di Indonesia, tatkala orang kecil melihat kemewahan dan ketidakadilan merajalela. Rangkaian peristiwa penjarahan dan kekerasan tersebut adalah cerminan dari betapa dalamnya kebencian (abomination) di kalangan rakyat kecil terhadap kemewahan yang ditampilkan tersebut.

“Penguasa dan orang-orang dalam lingkarannya yang menikmati uang negara mempertontonkan pertunjukan kemewahan kepada rakyat. Rumah mewah, gonta-ganti mobil, hingga fashion mahal membikin ngiler orang miskin, yang jelas-jelas tak berdaya untuk menjangkaunya. Orang- orang yang katanya berjuang untuk kesejahteraan, justru malah menampilkan kesombongan, keangkuhan, dan tak peduli pada si miskin.”

“Bek han meuganto-ganto moto, keuneuk bloe breueh siaree ngon eungkot masen mantong hek bak ta pikee.”

“Cara orang kecil melawan penguasa yang dianggap tidak amanah adalah dengan tidak memilihnya lagi pada pilkada ini. Tanyoe hana beudee untuk meuprang, tapi inilah salah satu cara masyarakat ‘menghukum’ penguasa yang abai pada janji-janjinya saat kampanye dulu.”

Saya menyeruput kopi pahit yang terasa makin nikmat menjelang tegukan terakhir, sambil menanyakan apa pendapat Cek Pan, yang bagi saya selalu menarik dan dinanti.

“Beutoi chit nyan. Menarik juga kita lihat bagaimana Irwandi Yusuf yang akan kembali memimpin Aceh. Lagee dipeugah bak di koran nyan. Menurot lon, jinoe rakyat ka sadar.”

“Seperti suami yang digoda wanita lain. Lima tahun lalu kita pernah meninggalkan istri tua, karena istri muda terlihat lebih cantik dan menjanjikan. Dulu Irwandi kita ‘ceraikan’, dan mayoritas orang Aceh memilih gubernur baru.”

“Uhuk…” saya sempat terbatuk saat menuntaskan tetes-tetes kopi terakhir mendengarkan kata “cerai” versi Cek Pan.

Dilee ta pikee inong muda jeut peugot tanyoe bahgia, rupajih salah. Istri muda itu lebih suka membelanjakan uang seenaknya tanpa perencanaan keuangan yang baik, bahkan mengganti perabot rumah dan kendaraan sesukanya. Dia boros, kita makin stress. Yang lebih parah, anak-anak ditelantarkan, tak diurus. Aneuk deuk, hana dipakoe. Istri muda lebih suka bersolek mempercantik diri ke salon, liburan dan belanja ke luar negeri. Semuanya untuk memuaskan nafsunya sendiri. Kita sudah salah pilih istri.”

Saya penasaran, dan bertanya, “Jadi ini bukan murni kesalahan penguasa?”

Mandum salah. Penguasa sebagai pemilik mandat untuk mengatur dan mengelola kekayaan Aceh ternyata tidak mampu menunaikan tugasnya untuk mensejahterakan rakyat. Sebaliknya, kita sendiri sebagai rakyat tidak cerdas dalam memilih pimpinan.”

Saya mulai paham maksud Cek Pan.

“Tapi, yang paling penting Aceh harus selalu damai. Bek lee meupakee keudroe-droe. Sudah capek kita hidup dalam konflik. Bek sampe gara-gara pilkada na lom su beudee. Jangan sampai ada korban lagi hanya gara-gara urusan pilkada.”

Saya tersenyum, lalu pamit setelah Cek Pan menghitung secangkir kopi dan dua bulukat (ketan) yang telah saya nikmati.[]

*Banda Aceh, 25 February 2017

Fahmi Yunus
Fahmi Yunushttp://ACEHKITA.com
Fahmi Yunus adalah periset komunikasi massa dan studi pembangunan.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU