Jamaluddin, warga Doy, Ulee Kareng, menghitung wadah pembagian kuwah beulangong kepada warga pada perayaan maulid di desa itu. | FOTO: Radzie/ACEHKITA.COM

Kajeut jak cok kuwah bak meunasah (Sudah bisa mengambil kuah di meunasah).” Suara itu bergema melalu pengeras suara Masjid Tungkop. Hari Ahad siang medio Maret lalu, setiap kepala keluarga di desa itu bergegas membawa rantangan untuk mengambil kuwah beulangong yang sudah dimasak oleh para pemuda dan tertua gampong. Hari itu kenduri maulid tahunan digelar. Ada dua ekor lembu dan dua ekor kambing yang dimasak menjadi kuwah beulangong hasil meuripee.

Meuripee adalah iuran bersama yang dikumpulkan per kepala keluarga yang jumlahnya sudah ditentukan, namun jika ingin memberi lebih juga diperbolehkan. Uang itu biasanya digunakan untuk membeli daging atau memotong hewan ternak yang akan dimasak bersama-sama oleh para pemuda dan orang tua di meunasah. Setelah gulai daging atau kuwah beulangong masak,  per kepala kepala datang ke meunasah dengan membawa tempat dan membawa pulangnya ke rumah. Tradisi ini biasanya  dilakukan di desa-desa di kawasan Aceh Besar.

Selain itu biasanya perayaan maulid di daerah pesisir juga dimulai dengan menjemur kelapa yang telah dikukur hingga kering lalu digiling untuk menghasilkan u lheue yang nantinya akan dipakai untuk memasak berbagai masakan khas Aceh, seperti daging ayam dan daging sapi. Selain u lheue, rempah rempah lainnya juga ikut dijemur seperti aweuh (ketumbar) untuk dibuat aweuh teulheu, cabai merah untuk membuat bubuk cabai, aweuh maneh, lada, bungong lawang kleng, kayu manis, bungong lawang (cengkeh) dan lainnya.

Kenduri maulid memang rutin dilaksanakan di gampong-gampong selama kelahiran Nabi Muhammad Saw, terhitung dari Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil awal dan sepuluh hari di bulan Jumadil Akhir. “Mulanya ada musyawarah untuk membuat kesepakatan kapan kenduri dilaksanakan,” kisah Ibrahim Ismail, imam Masjid Tungkob Aceh Besar. “Setelah itu buat kesepakatan berapa ripee yang dikumpulkan untuk kenduri di meunasah,” tambahnya lagi.

“Kenduri maulid itu metode dakwah yang digunakan sudah cukup lama di Aceh dan masing-masing daerah itu berbeda tradisinya,” kata Badrudzzaman, ketua Majelis Adat Aceh (MAA). “Dulu dengan adanya maulid masyarakat bisa memacu semangat untuk berusaha lebih baik sehingga timbulnya motivasi ekonomi.”

Ada beberapa pendapat  tentang sejarah perayaan maulid dalam sejarah Islam. Awalnya maulid diperkenalkan oleh penguasa Dinasti Fatimiyah (909- 177M). Ada juga yang berpendapat terus dilakukan setelah Abu Said al Kokburi, gubernur Ibril pada masa Pemerintahan Salahuddin Al Ayubi (1138 – 1193 M). Namun pendapat yang paling terkenal mengatakan hal ini pertama kali dilakukan oleh Salahuddin Al Ayubi.

Salahuddin sendiri kala itu merupakan panglima perang tentara Islam saat terjadi perang salib gelombang ke tiga. Inisiatif ini diambil untuk membangkitkan semangat juang para tentara yang sudah kelelahan akibat perang panjang. Perayaan semacam ini memang tidak ada pada masa Nabi Muhammad.

 

Pembagian kuwah beulangong pada perayaan maulid di Desa Doy, Ulee Kareng, Banda Aceh. | FOTO: Radzie/ACEHKITA.COM
Pembagian kuwah beulangong pada perayaan maulid di Desa Doy, Ulee Kareng, Banda Aceh. | FOTO: Radzie/ACEHKITA.COM

“Maulid ini sangat efektif untuk menghidupkan kembali aktivitas keagamaan kita, di mana setelah kenduri malamnya akan diadakan ceramah agama,” ujar Badruzzaman. “

Sebuah riwayat menyebutkan, siapa saja yang mengigat hari kelahirann Nabi Muhammad dan berselawat kepadanya, akan diberikan syafaat di hari akhir nanti. “Itulah yang diambil oleh orang Aceh zaman dulu dalam membuat kenduri maulid” tambah Badruzzaman.

Selain ceramah di malam harinya, juga diadakan likee atau dikee yang biasanya diadakan setelah salat zuhur. Likee kadang kala mengundang orang dari desa lain. Tuan rumah juga mengundang tamu dari desa tetangga dalam satu kemukiman untuk menyantap kenduri maulid di meunasah atau masjid, beramai-ramai.

Mukim adalah gabungan beberapa desa yang ditandai dengan sebuah masjid. Dulu ukuran sebuah mukim ditentukan sampainya warga ke masjid untuk salat Jumat dengan berjalan kaki. Fungsi mukim yang dulu sempat hilang saat Orde Baru. Sekarang mulai dihidupkan lagi.

“Kenduri maulid itu salah satu rasa syukur atas rejeki yang ada jadi di sini dilakukan bersama-sama sehingga tidak ada yang diberatkan,” ujar Baddruzzaman Ismail. “Kerjalah itu yang diminta, kalau malas situ yang berat,” tambahnya lagi.

Selain di meunasah kenduri maulid juga biasanya dilakukan di rumah dengan mengundang kerabat dan teman teman. Di Aceh sendiri masing masing kabupaten memiliki cara perayaan maulid yang berbeda.

Misalnya, di Kecamatan Batee, Pidie, kenduri maulid dimulai pada pukul 12.00 WIB. Itu lah saat orang-orang datang ke meunasah untuk kenduri. Per kepala keluarga, biasanya membawa idang yang di dalamnya berisikan 35 bungkus nasi (bu kulah) dan lauknya. “Idang sange dibungkus dengan kain seuhab,” terang Khadijah, seorang warga Batee.

Di Batee juga ada kenduri di rumah. “Kalau ada kemudahan, terkadang ada juga yang menggunakan dalong besar,” ujar penjual garam dan tikar keliling itu.

Dalong adalah sejenis keranjang untuk membawa kenduri maulid ke meunasah. Dalong ini juga sering dipakai untuk membawa barang hantaran ketika pesta penikahan.

“Hidangan dibuat tinggi, kenduri dilaksanakan pada sore, dulunya tidak ada kenduri di rumah. Lalu malamnya ada ceramah. Tradisi ceramah ini mulai tahun 80, selalu semarak, ada zikir juga. Hidangannya daging kerbau, minimal membawa enam lapis,” kisah Nasir Budiman terkenang masa kecilnya menghabiskan maulid di Jeuram, Nagan Raya.

Di Aceh Selatan kendurinya dilaksanakan pada sore hari, makanan yang dibawa mirip bale yang sudah dihias yang di dalamnya sudah ada nasi ketan yang dimasak sebanyak  delapn are yang dihias dengan kembang loyang, keukarah dan seupet serta daging ayam yang diletakan di ujung.

“Ada sulu bayung, yaitu bunga dan ikan yang dihias dan dibuat hingga delapan tingkat dan di arak ke meunasah sore harinya,” Safrina, salah seorang ibu rumah tangga, asal Aceh Selatan.

Seiring perkembangan zaman, beberapa tradisi sudah mulai ditinggalkan. Misalnya, pada tahun 1980-an dulu, untuk memanggil orang ke meunasah dilakukan dengan cara peh tambo (beduk). Tapi itu hilang setelah adanya pengeras suara di meunasah-meunasah.

“Ketika masuk bulan Rabiul Awal, di masjid akan dipukul beduk tanda rapat maulid akan segera diadakan untuk menentukan tanggal dan siapa saja undangan yang akan datang ke kanduri gampong, mengundang semukim, serta jumlah ripee,” cerita Ibrahim Ismail lagi.

Pada hari H, warga akan membawa idang ke meunasah atau masjid. Di Aceh Besar, satu idang terdiri atas 15 bungkus nasi, daging dan telur di lapisan pertama, lalu disusul ikan, dan buah-buahan di lapisan ketiga. Untuk cuci mulut ini, biasanya disertakan jeruk bali, sawo, pisang, manga, lalu emping. Idangnya terbuat dari talam yang ditutup kain sange serta di atasnya ditutupi seuhap. Ada juga yang melengkapinya dengan air, semisal teh dan kopi, serta dessert lainnya: bulukat atau asoe kaya.

Maulid tak hanya dimaknai sebagai ritual keagamaan semata. Di sini, warga juga diajarkan untuk manajemen ekonomi. Pasalnya, orang akan menabung uang untuk keperluan kenduri maulid. Badruzzaman menyebutkan, orangtua Aceh dulu mempersiapkan maulid dengan telaten, jauh-jauh hari. Maulid dimaknai sebagai medium sosial antarmasyarakat.

Selain itu, maulid juga menjadi sarana berdakwah, menyampaikan risalah dan riwayat perjuangan Sang Baginda Nabi. “Maulid juga hiburan bagi orang dulu. Kalau sekarang hiburan kan sudah banyak. Maulid jadi tempat berkumpul orang kaya dan miskin, memakan makanan yang sama di satu tempat,” ujar Badruzzaman.

Namun, banyak kalangan menilai perayaan maulid nabi merupakan bid’ah, suatu perbuatan yang mesti ditinggalkan karena tidak ada pada masa Rasulullah. “Mereka yang mengatakan bid’ah yang buruk, tidak bisa memaknai ini. Bukankan ada hadits yang mengigatkan kita untuk banyak mengigat nabi,”sebut dosen Universitas Islam Negeri Ar-Raniry itu. “Kalau ada yang bilang ini bid’ah dhalalah (bid’ah buruk), suruh temui saya.”

***

“Nabi tanyoe tan meulempo, tiptip malam uroe, geuseumenget pih gob nyan tan, seupanjang uroe silama lama.” Lalei –lalei geutanyoe lalei, hana ta thei getanyoe ka tuha, oek ka puteh dum bak ulee, hana tateume com tika musala.” Allahu Allah – Allahu Rabbuna, Allahu Allah – Allahu Hasbuna.”

Itulah sepenggal bait likee maulid. Likee dilakukan berkelompok dan membaca syair bersama yang dipimpin oleh seorang syeh atau syahi. Likee ini sebagian besarnya diambil dari  kitab barzanji yang merupakan karya tulis seni sastra yang menuturkan tentang kehidupan Rasulullah dari kecil sampai wafat serta cerita sifat-sifat mulia dan peristiwa teladan.

Likee ini kalau di kenduri maulid di Aceh Besar, dibawakan oleh  kelompok pemuda gampong mukim lain. Kalau dulu dilakukan sebelum zuhur, tapi sekarang setelah zuhur dan kenduri di meunasah akan dimulai pukul 17.00 WIB.

“Sebenarnya likee maulid hanya ada ketika empat bulan perayaan maulid itu di Aceh, karena yang membuat likee maulid berbeda dengan likee pada umumnya adalah dengan adanya syair sejarah kelahiran Nabi Muhammad,” ujar Ibrahim.

Bulan maulid membawa berkah sendiri buat mahasiswa yang tinggal di perantauan.

“Kalau bulan maulid kami bisa menjadi lebih hemat, karena bisa makan siang yang sehat,” Kata Hambali salah seorang mahasiswa UIN Ar-Raniry.

“Kalau biasanya jarang makan siang karena nggak ada uang namun bulan ini adalah berkah bagi kami mahasiswa,” timpal Irvan, mahasiswa Universitas Syiah Kuala.

Tidak hanya itu bulan kenduri ini juga mengundang perhatian turis yang berkunjung ke Aceh. Jika dikelola dengan baik, ia akan menjadi obyek wisata religi khas Aceh.

“Minggu lalu keluarga saya datang kemari untuk berkunjung, dan kami diundang ke rumah salah satu siswa untuk makan di kenduri. Ini merupakan pengalaman yang luar biasa buat keluarga saya untuk mengenal budaya dan adat Aceh,” kisah Rhonda, warga Amerika yang mengajar Bahasa Inggris di Banda Aceh.

“Orang tua saya sangat menyukai makanan yang disuguhkan dan mereka akan selalu mengigat pengalaman ini dan mereka selalu mengatakan orang Aceh ramah-ramah,”  kenang Rhonda.

Sebelumnya, Rhonda merasa takut berada di Aceh. Apalagi daerah ini memberlakukan syariat Islam. Saat ia mengundang orangtuanya ke Aceh, mereka juga mengalami ketakutan serupa. Begitu pula saat ia meminta saran dari temannya ketika memperoleh undangan maulid. Sang teman menasehatinya untuk sebaiknya tidak menghadirinya.

“Namun kami cukup senang berada di tengah-tengah perayaan perayaan di Aceh,” tutur Rhonda.

Daniel, warga Amerika yang juga pengajar Bahasa Inggris, terheran-heran dengan pola perayaan tradisi di Aceh. Di Amerika, sebut Daniel, perayaan seperti ini biasanya dilakukan hanya mengundang keluarga dan orang terdekat.

“Di sini semua orang dapat merasakan kebahagiaan yang sama saat kenduri,” ujar Daniel dalam Bahasa Indonesia beraksen Inggris. “Saya sangat suka makanan Aceh terlebih di Amerika jarang ada makanan yang seperti ini. Saya rasa akan kangen kalau nanti pulang.”

Dinas Pariwisata Banda Aceh melihat ada potensi wisata pada bulan maulid. Dinas akan mengupayakan kenduri maulid ini menjadi objek wisata.

“Kita akan mencoba kerjasama dengan kampung-kampung, agar nantinya maulid ini bisa dijadikan salah satu bagian dari pada tur kebudayaan Aceh,” kata Fadhil, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banda Aceh. []

KHITHTHATI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.