Wednesday, April 17, 2024
spot_img

Ketika Pucuk-pucuk Doa Melayat

Mendung sedikit menggantung di atas langit Ulee Lheue Banda Aceh. Siang itu, bakda Zuhur, 26 Desember 2016, Hasbi (50) merupakan salah satu dari ratusan pelayat yang membanjiri kuburan massal Ulee Lheue.

Di sebuah sudut kuburan dekat pohon angsana, lelaki berpeci itu larut dalam doa. Matanya tampak berkaca-kaca. Sementara bibirnya tak pernah berhenti melafalkan yasinan yang ada di tangannya.

Beberapa lembar daun angsana luruh menerpa tubuhnya. Namun Hasbi masih bergeming. Pun ketika suara anak-anak yang bertetiak dan berlarian di jalanan seluas empat meter yang membelah kedua sisi kuburan massal Ulee Lheu. Ada sekitar 14.264 jasad korban tsunami yang disemayamkan di sana. Sebagian besar dari jasad-jasad tersebut tak diketahui identitasnya. Sebab saat itu memang tidak memungkinkan untuk mengidentifikasi jasad para korban meninggal yang begitu besar jumlahnya.

Para relawan yang datang dari penjuru Indoensia dan dunia, hanya bisa mencari dan mengumpulkan jasad para korban meninggal. Sementara tenaga medis disibukkan oleh penaganan korban luka-luka. Sebagian daratan Banda Aceh, dan belahan Aceh lainnya juga porak-poranda. Pilu menyeruak. Tangisan tumpah pada sanak dan kerabat yang kehilangan orang-orang tercinta.

“Saya bahkan tidak tahu, apakah jasad abang laki-laki saya ini, serta istri dan ketiga anaknya ada di kuburan massal ini atau tidak. Hampir saban tahun saya ke mari untuk mengirimkan doa kepada mereka,” lirih Hasbi kepada acehkita.com.

Hasbi berasal dari Tapak Tuan, Aceh selatan. Sehari sebelum peringaatan 12 tahun tsunami, ia bersama sejumlah anggota keluarga lainnya telah tiba di Banda Aceh. “Rencananya nanti sore kami juga akan mengunjungi kuburan massal di Lambaro. Abang saya bersama istri dan ketiga anaknya itu, hanya perlu doa dari kita yang masih hidup. Semoga Allah menampatkan arwah mereka di tempat yang layak,” harap Hasbi yang ditemani salah seorang adik laki-lakinya.

Lalu Hasbi mengisahkan kronologis peristiwa maha dahsyat tersebut. Pada pagi kelabu itu, Sulaiman—abang Hasbi yang tinggal di kawasan Ulee Lheu, seperti warga lainnya, setelah gempa berkukuatan 8,9 SR melanda, Ridwan pergi ke tepi laut untuk melihat-lihat situasi. Namun selang beberapa menit kemudian, air bah setinggi pucuk pohon kelapa, datang menerjang apa saja.

“Rumah abang saya itu hanya berjarak 500 meter dari tepai laut. Sedangkan di rumah, selain istri dan tiga anak mereka, ada satu orang keponakan kami yang selamat dari tsunami, namanya Sanusi. Dari dialah kami tahu cerita yang menimpa keluarga abang saya itu,” kisahnya sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya.

Sayangnya, Sanusi hari itu tidak hadir di ke Banda Aceh. Karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di Aceh Selatan. Hanya saja, Hasbi menitip pesan, agar pemerintah tetap memelihara dan merawat semua kuburan massal yang ada di Banda Aceh dan Aceh Besar, seperti Ulee Lheu, Lambaro, Siron, dan Lampu’uk.

“Agar generasi Aceh selanjutnya paham dan mengerti, bahwa di tanoh indatu ini, pernah terjadi gempa dantsunami yang sangat dahsyat dengan menelan korban ratusan ribu jiwa. Begitu juga dengan situs-situs tsunami, agar tetap dipertahankan keberadaannya!” ingat Hasbi. “Agar kita tidak menjadi bangsa yang pelupa.”

Sementara di sudut komplek kuburan massal Ulee Lheu lainnya, di sebuah bangunan yang setengah jadi, tengah di helat sebuah acara diskusi kajian ilmiah kebencanaan. Semoga semua momentum itu bukan hanya sekadar mengisi ritual peringatan tsunami saja yang berulang setahun sekali. Namun yang lebih penting dari semua itu adalah arti dan makna dari pelajaran yang pernah kita petik dari geulumbang raya pada 2004 yang menyapa Aceh. []

HALIM MUBARY

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU