Keluarga Septi Rangkuti. | Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

JAMALIAH memeluk erat tubuh Zahry ketika gelombang laut pertama menghantam Kota Meulaboh. Gempuran ombak hitam pekat tersebut menggulung ibu-anak ini. Jamaliah semakin mencengkram Zahry. Ia tak ingin berpisah dengan putra sulungnya itu. Beberapa kali mereka timbul tenggelam dalam pusaran ombak, yang dipenuhi puing bangunan. Mereka masih berpengangan.

Tiba-tiba, tubuh Zahry seperti ada yang menarik dari tangan ibunya. Terlepas. Jamaliah kembali digulung dalam pusaran ombak. Zahry berhasil mencapai atap sebuah rumah berlantai dua setelah ditarik beberapa warga, yang lebih dulu menyelamatkan diri. Zahry mencari ibunya, tapi tak ada di situ. Seorang pamannya yang kebetulan selamat di atap rumah itu menenangkan Zahry. Sementara sebelumnya, Jamaliah sudah terpisah dengan suaminya, Septi, dan kedua anak mereka: Arif dan Raudha.

“Saat digulung ombak itulah, saya terus berdoa kepada Allah. Kalau memang saat ini ajal saya, saya sudah siap. Saya juga bermohon agar diberikan umur panjang,” kata Jamaliah, sambil mengusap butiran air mata yang membasahi pipinya ketika mengisahkan kembali kejadian tragis dialaminya.

Ia kembali ditarik dalam pusaran air hitam, beberapa kali. Tiba-tiba, Jamaliah seperti punya kekuatan. Tumpukan puing bangunan di sekelilingnya terseret ombak. Tubuhnya, terangkat ke permukaan gelombang, menghantam dinding lantai dua sebuah rumah. Dengan sisa tenaga, ia pegang erat-erat bagian atap rumah itu sambil berusaha memanjat. Dua warga segera menariknya ke atap.

Ternyata di situ, ada Zahry yang lebih dulu ditolong warga. Jamaliah segera memeluk putra sulungnya. Ia tak bisa menahan tangis. Zahry ikut menangis. Sepupunya berusaha membujuk Jamaliah agar tetap tenang dan berdoa. “Dari atap rumah itu, saya melihat orang-orang, dan rumah-rumah hancur, diseret gelombang,” tutur Jamaliah.

Jamaliah berdiri di pantai Ujong Kareung, Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, hari Minggu (26 Oktober 2014). | Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM
Jamaliah berdiri di pantai Ujong Kareung, Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, hari Minggu (26 Oktober 2014). | Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

Sekitar pukul 16:30 Wib, air laut yang menggenangi Meulaboh surut sudah. Melihat warga lain turun dari atap, Jamaliah dan anaknya juga turun. Mereka menyusuri Jalan Nasional di antara puing dan sampah yang diseret tsunami. Keduanya menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan di jalan, tak ada yang peduli. Memegang tangan Zahry, dalam kebingungan Jamaliah terus berjalan, tanpa arah.

Pada saat bersamaan, Septi masih duduk di lantai dua toko. Dia trauma berat dan tetap duduk sendiri, padahal semua warga lain sudah turun. Seperti ada yang perintah, dia bangkit. Tak sengaja, pandangannya diarahkan ke Jalan Nasional yang penuh tumpukan sampah. Dia lihat mayat-mayat berserakan di jalan.

Tiba-tiba di antara orang-orang yang linglung berjalan, Septi melihat istri dan putra sulungnya. “Zahry, Zahry, ayah di sini,” teriaknya, dengan suara parau. Mendengar namanya dipanggil, Zahry dan Jamaliah mendongak kepala ke arah panggilan. Mereka segera naik ke lantai dua toko, tempat Septi berada. Ketiganya saling berangkulan, sambil menangis.

“Arif dan Raudha terlepas dari tangan saya setelah saya letakkan di papan,” kata Septi kepada istrinya saat Jamaliah bertanya dimana kedua anak mereka, yang dipegang suaminya. “Sudah, jangan tanya lagi. Kita doakan saja semoga mereka selamat.” Jamaliah pun terdiam. Mereka hanya bisa menangis lagi.

Akhirnya mereka bertiga turun dari lantai dua toko. Apalagi ada imbauan dari anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) melalui pengeras suara agar semua warga pergi Masjid Rundeng, yang dijadikan tempat penampungan darurat sementara. Di sini, personil TNI membagikan roti dan air mineral buat warga yang selamat dari bencana – termasuk Septi, Jamaliah, dan Zahry. Seorang teman Septi yang tinggal dekat Masjid Rundeng memberikan pakaian kepada mereka.

Tetapi, keluarga Septi hanya bertahan di masjid itu dua jam. Pasalnya, banyak warga memilih pergi ke tempat jauh dari pusat Kota Meulaboh, yang mulai gelap gulita. Mereka pun ikut-ikutan pergi. Melihat ada sebuah mobil pick up berhenti di depan masjid, ketiganya bersama warga lain berebut naik. “Yang terpenting waktu itu, jauh dari kota karena kami benar-benar takut. Apalagi gempa masih sering terjadi,” ujar Jamaliah.

Selama dalam perjalanan, Septi memilih diam. Jamaliah terus memikirkan dua anaknya. Dalam hati, ia berdoa agar kedua anaknya selamat. Zahry hanya memegang pergelangan tangan ayahnya. Dia juga diam. Suasana dalam mobil pick up senyap, tidak ada warga berbicara. Mereka seolah larut dalam pikiran masing-masing usai mengalami tragedi memilukan.

Mobil yang mengangkut mereka berhenti di Pesantren Abu Usman, Gunung Mas, Kecamatan Kaway XVI. Di situ, banyak warga berkumpul. Warga sekitar sibuk menyiapkan makanan untuk para korban yang selamat dari gelombang raya. Usai shalat, warga makan. Jelang tengah malam, Septi dan keluarganya tidur bersama warga lain dalam kelas, beralaskan lantai semen di pesantren itu. [BERSAMBUNG…]

NURDIN HASAN (@nh_nh_)

Baca Juga: Setelah 10 Tahun Terpisah [1]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.