Fotografer senior harian Serambi Indonesia, Bedu Saini, duduk di antara foto warga yang sedang menyelamatkan diri ketika terjadi tsunami di Banda Aceh pada 26 Desember 2004. | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

DARI atas jembatan Pante Pirak, pria berusia 53 tahun itu memotret atraksi pasukan Raiders TNI Kodam Iskandar Muda menyelamatkan sandera. Ia menjepret latihan di sungai (krueng) Aceh itu dalam berbagai angle.

Dari atas jembatan itu pula, 10 tahun lalu, Bedu Saini, begitu nama pria tadi, memotret bencana dahsyat yang menghujam Aceh. Ia memotret dua lelaki berjibaku menyelamatkan bayi yang diseret arus sungai di antara tumpukan sampah dan mayat. Saat itu, Ahad, 26 Desember 2004, Krueng Aceh dipenuhi sampah dan serakan mayat yang diseret gelombang tsunami.

Tsunami yang menghancurkan 800 kilometer garis pantai di pesisir Aceh muncul setelah gempa berkekuatan 9,1 pada skala Richter. Saat bumi berguncang, Bedu –demikian ia akrab disapa– tengah berada di rumah bersama istri, tiga anak, dan ibu kandungnya.

Naluri jurnalistik membawa Bedu untuk memotret dampak yang ditimbulkan gempa. Sang istri, Khalidah, tak kuasa membendung niatan Bedu. Mengendarai sepeda motor, Bedu menuju pusat kota. Dari rumahnya di Desa Lambaro Skep, pusat kota bisa dijangkau dalam waktu 10 menit. Ia memotret sebuah pusat swalayan ambrol diguncang gempa.

Setelah mengabadikan reruntuhan bangunan, lelaki kurus itu melihat kepanikan warga, beberapa di antara mereka berteriak “air naik”. Tak berapa lama, ia melihat warga berkejaran dengan air di Simpang Lima.

Bukannya menyelamatkan diri, Bedu malah terus memotret warga yang panik dikejar air. “Saya memotret orang-orang panik berlarian di depan saya,” kata fotografer Serambi Indonesia itu, “padahal air menuju ke arah saya.”

Bedu lantas naik ke tempat yang lebih tinggi, untuk mendapatkan gambar orang-orang dikejar ie beuna.

Bedu Saini saat menjalankan tugas jurnalistik. | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM
Bedu Saini saat menjalankan tugas jurnalistik. | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

Usai memotret kepanikan Simpang Lima, Bedu menuju Jembatan Pante Pirak –yang dibangun di atas Krueng Aceh yang membelah Kota Banda Aceh– terpaut hanya 100 meter dari Bundaran Simpang Lima.

Dari atas Jembatan Pante Pirak ini, Bedu menjepret orang-orang dihanyutkan derasnya air sungai bercampur gelombang tsunami. Mayat-mayat itu berada di antara puing-puing kayu. Bedu juga membidik dua lelaki menyelamatkan bayi dari seretan arus sungai.

Di kala menjalankan tugas jurnalistiknya itu, pikiran Bedu menerawang, memikirkan istri, anak, dan ibunya di rumah. Tingginya gelombang tsunami membuat Bedu pasrah. Ia hanya berdoa agar Tuhan menyelamatkan orang-orang tercinta. Bedu terus memotret.

Siang hari, air yang menghantam permukiman penduduk hingga lima kilometer dari bibir pantai, mulai surut. Kondisi ini dimanfaatkan Bedu untuk kembali ke rumah. Mengendarai motor, Bedu menuju Lambaro Skep. Sayangnya, jalan yang dilalui Bedu penuh dengan tumpukan kayu, sampah, dan mayat.

Tak bisa dilalui, Bedu mencari jalur alternatif. Ia memacu motor melalui Jalan Teungku Daud Beureu-eh, menuju rumah via Lampriet. Sayangnya, jalan menuju rumahnya juga dipenuhi sampah. Bedu akhirnya memutuskan memarkirkan motor di trotoar jalan di depan Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, Lampriet.

Khawatir kameranya basah, Bedu meletakkannya di lantai dua sebuah toko. Ia pun mengarungi air sepinggang untuk mencapai rumah.

Bedu terpana mendapati rumah hancur dan tidak mendapati orang-orang yang dicintainya. Ia mencari-cari keberadaan mereka. Kabar baik, ia mendapat informasi dari seorang warga bahwa istrinya selamat di lantai dua rumah tetangga. Bedu bergegas menuju rumah itu.

Di sana, Bedu menemukan istri dan seorang anak perempuannya. Sayangnya, ia tidak menemukan putri sulung yang berusia enam tahun dan putra bungsu yang masih empat bulan, serta ibunya di lokasi itu.

“Mereka tidak selamat, Bang,” ujar Khalidah, sembari menangis.

Meski beberapa hari mencari, Bedu tak kunjung menemukan anak dan ibunya. Mayatnya pun tak pernah ditemukan.

***

Bedu Saini saat menjalankan tugas jurnalistik. | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM
Bedu Saini saat menjalankan tugas jurnalistik. | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

Bedu Saini mengawali karir di Serambi Indonesia sebagai tenaga kebersihan (cleaning service). Setelah tiga tahun, dia dipindahkan ke bagian laboratorium foto. Tugasnya, mencuci foto dari film. Saban hari, selama hampir tujuh tahun, ia bergelut di kamar gelap. Di sinilah, Bedu belajar fotografi.

Tahun 2000 menjadi tonggak perubahan karir Bedu. Saat itu, Serambi membuka lowongan kerja bagi para jurnalis. Bedu memberanikan diri melamar. Ia menemui Erwiyan Syafri, redaktur pelaksana harian itu, dan mengutarakan niat untuk menjadi fotografer.

“Saya minta syarat, kalau tidak lulus jangan dipecat,” kenang Bedu.

Erwiyan memberikan Bedu kesempatan dan menjalani serangkaian tes. Melalui seleksi ketat, Bedu diterima sebagai salah seorang pewarta foto di Serambi. Masalah muncul. Menjadi fotografer, tapi Bedu tidak memiliki kamera. Beruntung, seorang kawan meminjamkan kamera untuk lelaki itu –sebelum kemudian ia dibekali kamera kantor.

Meski terbilang baru lulus, Bedu gesit. Ia terus “berburu” foto dari pelbagai sudut kota, selain kondisi politik Aceh yang tengah memanas yang ditingkahi aksi unjukrasa mahasiswa dan konflik bersenjata Gerakan Aceh Merdeka dan TNI/Polri. Saban hari, foto karya Bedu Saini menghiasi halaman koran grup Kompas-Gramedia itu.

Konflik Aceh menempa Bedu dengan pengalaman dan kesan tak ternilai. Perah pada suatu hari di tahun 2003, Bedu meliput pengepungan rumah yang dihuni gerilyawan GAM di Lambhuk.

Rumah berlantai dua digempur puluhan personel TNI selama hampir lima jam. Meski mengerahkan panser dan mengepung dari segala penjuru, sang gerilyawan berhasil meloloskan diri.

“Saya paling ingat waktu meliput pengepungan rumah di Lambhuk itu,” kenang Bedu.

Tempaan pengalaman ini pula yang membuat Bedu nekat mengabadikan detik-detik tsunami mengepung kota Banda Aceh.

***

14 Januari 2005. Kantor baru Serambi Indonesia di pertokoan Beurawe mendadak heboh. Penyebabnya, seseorang mengantarkan kamera Bedu ke ruang redaksi Serambi. Kamera itu tadinya diletakkan di atas lantai dua sebuah toko di Lampriet. Bedu sempat mengira kamera tersebut raib. Pasalnya, setelah mencari-cari kamera itu tak lagi berada di tempatnya. Bedu pasrah. Apalagi, tsunami juga menghancurkan kantor dan mesin cetak Serambi di Desa Baet, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar.

Halaman Utama Serambi Indonesia edisi 15 Januari 2005 memuat parade foto kedahsyatan tsunami yang berhasil direkam Bedu. Tiga hari kemudian, foto-foto tersebut juga dimuat sejumlah media nasional dan internasional. Mata dunia pun tertuju ke Aceh.

“Waktu itu saya mengira kamera sudah hilang diambil orang,” ujar Bedu.

Desember 2012, ketika peringatan sewindu tsunami Aceh, Bedu menggelar pameran foto hasil jepretannya. Sebanyak 34 foto hitam putih tentang detik-detik terjadinya tsunami, proses evakuasi, suasana pengungsian, fase tanggap darurat, hingga awal kebangkitan rakyat Aceh pascabencana dipamerkan selama seminggu.

Pameran itu bertajuk “A Day to Remember”. Ini adalah upaya Bedu untuk mengingat dan mengenang tragedi terburuk di abad ini yang telah merenggut orang-orang terkasihnya bersama 170 ribu korban meninggal lainnya.

“Ini untuk menghormati penyintas dan rasa hormat yang mendalam kepada dunia, jurnalis, dan pekerja kemanusiaan yang membantu kita di Aceh,” ujar Bedu. []

NURDIN HASAN (@nh_nh_)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.