Thursday, March 28, 2024
spot_img

Kisah Sahur Tanpa Dapur

INI CERITA lima tahun silam. Saya tiba di Geumgang University di bawah program ‘partnership’ untuk mengajar Bahasa Inggris sekaligus belajar budaya dan Bahasa Korea. Kampus ini letaknya di sekitar Gunung Gyeryong, di Provinsi Chungcheong bagian Selatan. Dikelilingi sawah dan gunung, sejauh mata memandang dimanjakan alam. Tempat ini jauh dari hiruk pikuk ramai ibukota. Hampir tiga jam dengan bis bila ke Seoul. Nonsan, kota agrikultur terkenal di Korea, merupakan kota terdekat dari lokasi kampus ini. Berjarak empat puluh menit menggunakan angkutan umum, melewati perkampungan sepi.

Universitas ini berdiri atas inisiatif para biksu dari Kuil Guinsa dengan sandangan dana yang kuat untuk mendirikan sebuah kampus independent. Menerapkan peraturan yang ketat bagi penghuni asrama-nya. Salah satunya dengan pemberlakuan jam malam pada jam 11.40 menit. Setiap malam setelah gaung teriakan pengawas menggema di koridor asrama, semua pintu kamar wajib dibuka dan pasangan penghuni kamar wajib menampilkan wajah di masing-masing pintu. Terkadang, kamar pun di cek jika-jika penghuni membawa barang ilegal, Seperti rice cooker misalnya. Setiap mahasiswa asing mendapatkan roommate orang Korea dan saya berbagi  kamar dengan salah seorang mahasiswi populer di kampus ini.

Di asrama putri, tidak ada dapur. Hanya sejenis pantry yang berisi sofa empuk, rak buku yang berisi majalah-majalah yang sudah kadaluarsa, TV, dispenser air minum dan microwave. Tempat yang pas untuk merebus mi instan tengah malam sambil cekikikan dengan teman-teman sepenanggungan yang juga insomnia.

Selain ketatnya jam malam,  jadwal buka kantin atau ruang makan asrama yang juga sangat disiplin. Di masa awal kuliah, saya sedikit linglung serasa masuk kecamp militer. Sarapan pagi dimulai jam tujuh pagi tepat. Resiko telat bangun tidak ada toleransi harus menunggu jam makan siang untuk bisa kembali mengisi  perut. Kantin hanya akan buka sesuai jadwal. Kelaparan di luar jadwal ‘shikdang (tempat makan)’ ini mesti di tanggung sendiri. Tak heran jika di pagi hari tempat ini penuh dengan penghuni asrama yang masih memakai piyama tanpa cuci muka dan polesan make-up. hari berganti minggu. Enam bulan sukses terlewati.

Hampir lebih dari tujuh tahun sampai sekarang ibadah puasa di negeri gingseng ini berada pada musim panas. Lima tahun yang lalu Ramadhan dilaksanakan tepat pada bulan Agustus. Mendekati awal bulan Agustus, persiapan Ramadhan1432 Hijriah kesendirian itu mulai terasa karena ternyata hanya saya muslim disini. Meskipun dilaptop sudah ter-instal adzan software darisitus islamicfinder yang juga menawarkan jadwal imsakiyah, namun sepertinya masih ada yang kurang. Persiapan sahur di asrama tanpa dapur. Sementara belanja kebutuhan hanya bisa dilakukan sepekan sekali mengikuti jawal bis kampus yang mengantar penghuni asrama seminggu sekali kekota Daejeon. Salah satu kota besar di Korea, yang terkenal sebagai kota Riset, Teknologi, dan Ilmu Pengetahuan.

Sehari menjelang pergantian bulan saya bergegas ke kantin menjumpai penanggung jawab jadwal makan saat makan siang. Saya menjelaskan tentang apa itu bulan puasa. Saya mendadak jadi dai ditengah hari bolong. Padahal Bahasa Korea saya waktu itu masih alif-ba-ta. Setelah mendengar penjelasan, dia memanggil seorang tukang masak lainnya. Ia tak mengerti kalau  jelas saya tidak butuh tukang masak karena hanya perlu mengisi Lunch box kosong ini dengan makanan sambil menunjuk dan membuka tutup wadah kosong itu. Mereka Cuma menggelengkan kepala saja dengan tambahan satu kata: andaeyeo (tidak bisa) sesuai peraturan yang ada.

Saya bingung Mereka pun sama bingungnya. Bagaimana lagi caranya menjelaskan kalau saya sangat perlu makan tengah malam nanti’, tanpa harus terdengar aneh bagi mereka kerena takut maag kambuh kalau Cuma sahur dengan mi instan. Saya ditonton beramai-ramai di kantin karena banyak yang penasaran. Ditengah kerumunan muncul Adam, Teman Tionghoa asal Malaysia ini sudah lancer bercakap Korea serta sangat mengerti apa itu Ramadhan, walau dia bukan seorang muslim. Berkat ‘Mas Adam’, saya berhasil bawa keluar makanan dengan ijin dan lolos sensor tanpa pork, Isinya nasi dengan sup rumput laut, teri telur puyuh, sepotong telur kukus khas Korea Gaeranjim, kimchi dan sekotak susu rasa strawberry  yang mesti saya titip simpan dikulkas tetangga kamar. Lebih banyak variasi menu dari yang saya harapkan di awal. Benar-benar sebuah perjuangan mendapatkan bekal sahur.

Sahur berikutnya selalu dilewati sendirian pada jam setengah tiga dini hari di pojokan ruang pantry. Terkadang cukup dengan sekotak kecil isi lembaran rumput laut kim yang renyah dan sekaleng tuna dan mayonnaise, yang diaduk dengan seporsi nasi instan yang siap disantap dalam hitungan tiga menit setelah diputar di dalam microwave. Rasanya mengalahkan menu di rumah makan restoran padang di Banda Aceh. Kesendirian saat sahur harus tetap terlewati sehingga pada hari Senin  ketika satu dua jam latihan Taekwondo saya tetap tampil lincah begitupun dengan kegiatan belajar yang ketat.  Setelahnya pun tetap masih bisa tarik suara berdendang ria di ruang karaoke ‘norebang’ bersama teman-teman, layaknya bintang rock‘ tua-tua keladi’.

Siang hari rasanya persis seperti musafir yang menggerek unta berjalan di tengah padang pasir yang didesiran angin panas. Ramadhan di Korea selalu jatuh pada puncak nya musim Panas. Meski temperature musim panas di Korea umumnya berkisar antara dua puluh lima dan tiga puluh derajat Celsius, tidak seberapa memang bila dibandingkan dengan Aceh yang bersuhu antara tiga puluh lima sampai empat puluh derajat terkadang, namun akibat tingkat kelembaban udara yang sangat humid, membuat kulit lengket bergetah. Jika pernah duduk manis sambil meng-awoet Meuseukat, pasti tahu yang saya maksud dengan ‘bergetah’ itu.

Tarawehpun diusahakan tidak ada yang tahu, kecuali teman sekamar yang suka mengabadikan saya dalam balutan mukena untuk dipamerkan keteman-teman dan ibunda-nya. Demikianlah rasanya menjadi ‘aneh’ sendirian. adakah rakan Aceh yang ingin merasakan puasa selama lebih dari tujuh belas jam dalam sehari? Cobalah uji nyali untuk merasakan sahur dan berpuasa di Korea Selatan. Dijamin kulit teman-teman bias langsung seputih ‘oppa’ Song Joong-ki, akibat dehidrasi ringan. []

FRIDA (AL-JAMALULAIL) PIGNY, Pendiri Natural Skincare di Korea, http://fridaskincare.com/id/

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU