AFP

SAMA seperti 10 tahun lalu, mungkin tak ada media nasional bahkan internasional yang tidak memberitakan tentang peringatan 10 tahun tsunami Aceh. Bahkan beberapa media nasional dan internasional baik media cetak dan elektronik sudah menerjunkan para jurnalis dan kru pemberitaannya untuk meliput serta memberitakan segala hal tentang 1 dekade bencana alam terbesar di Indonesia pada era modern. Pemberitaannya beragam, mulai dari kisah- kisah human interest tentang mereka yang selamat dari gelombang, kesaksian para korban, data kerusakan, pembangunan pasca bencana, hingga berita tentang kesiapan berbagai pemerintah daerah, kelompok dan komunitas dalam memperingati salah satu bencana alam terbesar di dunia ini.

Di sini saya tidak ingin mengulas secara khusus tentang cerita- cerita dan pengalaman 10 tahun lalu, saya ingin melihat bagaimana fenomena bencana lain selain tsunami.

Selain kerugian besar yang ditimbulkan oleh tsunami 26 Desember 2004, ada banyak pembelajaran dan hikmah penting dari bencana itu. Jika sebelum 2004, penanggulangan bencana alam masih bersifat responsif, artinya jika ada bencana baru pemerintah sibuk bekerja. Tsunami Aceh membuat pemerintah sadar bahwa masalah bencana bukan hanya saat terjadi bencana, atau emergency, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana mengurangi risiko bencana jauh- jauh hari sebelum bencana terjadi. Karena sejak saat itu kita baru paham ternyata negara yang kaya akan sumber daya alam ini juga kaya oleh beragam jenis bencana alam, mulai banjir, longsor, gempa, tsunami, gunung meletus, hingga bencana non-alam, seperti konflik sosial. Tsunami 2004 dianggap menjadi pembelajaran terpenting dan sebagai embrio lahirnya kebijakan tentang kebencanaan seperti Undang- Undang No.24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam undang- undang ini penanggulangan bencana mulai mengusung paradigma baru. Penyelenggaraan penanggulanan bencana bukan hanya saat terjadi bencana tapi juga merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Selain itu diatur pula tentang kegiatan pencegahan bencana yang merupakan serangkaian kegiatan untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman bencana. Selain melahirkan produk kebijakan baru, tsunami 2004 juga “melahirkan” lembaga baru dengan paradigma berbeda dalam penanggulangan bencana yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk tingkat nasional. Aceh juga kini memiliki Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) pada tingkat provinsi, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di kabupaten dan kota.

Bencana 2004 juga seakan menjadi “pengantar” bagi bencana- bencana lain di Indonesia atau Aceh. Tahun 2005 gempa skala besar juga meluluhlantakkan Nias, Sumatera Utara, diikuti dengan gempa Padang, tsunami Pangandaran, dan Mentawai, hingga gunung meletus Merapi, dan Sinabung yang masih hingga kini, dan tentunya masih banyak lagi. Khusus untuk Aceh, gempa dan longsor di Tangse, dan gempa Aceh Tengah dan Bener Meriah tahun lalu.

Dalam kurun waktu 2 bulan ini, Aceh lagi- lagi diserang lagi oleh banjir dan longsor di beberapa kabupaten. Bahkan saat tulisan ini ditulis, beberapa wilayah di kabupaten seperti di Aceh Selatan, Pidie, Aceh Utara, Aceh Utara hingga Aceh Tamiang masih dilanda banjir parah. Menurut data yang dirilis oleh BNPB pada tanggal 24/12 lalu, jumlah pengungsi mencapai 120.996 jiwa, akibat dari banjir dengan ketinggian 50 hingga 400 cm itu. Tentunya jumlah pengungsi yang mencapai 120 ribu jiwa lebih itu adalah angka yang sangat besar, dan perlu penanganan yang sangat serius.

Ironinya adalah banyak kejadian bencana tidak dibarengi oleh meningkatnya kapasitas pemerintah daerah, dalam hal ini BPBA dan BPBD dalam manajemen penanggulangan bencana. Saya masih ingat saat terjadi banjir dan longsor bulan November lalu, para peliput berita tidak bisa mendapatkan secara cepat data yang akurat tentang korban dan kerugian yang ditimbulkan. Seorang kawan jurnalis berkeluh-kesah tentang susahnya mereka mencari narasumber dari pihak otoritas kebencanaan yang mampu menyediakan data- data dan informasi penting tentang bencana tersebut.

Potensi terjadinya banjir dan longsor yang sebenarnya telah jauh- jau hari diingatkan oleh lembaga seperti BMKG maupun BNPB. Tapi sepertinya pemerintah daerah tidak menganggap serius potensi bencana yang dikeluarkan lembaga tersebut. Lebih jauh dari itu, dengan kondisi hutan yang makin memprihatinkan, bahkan pemerintah Aceh sudah tahu telah terjadi kerusakan hutan yang mencapai 23.000 hektare setiap tahun. Tapi, kerusakan hutan ini seakan hanya untuk sekadar diketahui saja, tanpa ada upaya- upaya serius untuk mencegahnya. Beberapa bukti menyebutkan bahwa kerusakan hutan berpengaruh positif terhadap potensi banjir dan longsor di beberapa daerah.

Catatan lain, saat simulasi peringatan dini tsunami dua bulan lalu, tepatnya 26/12/2014, di mana ada banyak kritik yang muncul disaat simulasi tersebut. Seperti kurangnya melibatkan unsur masyarakat, minimnya koordinasi dan yang lebih parah adalah sirine tsunami yang “ditunggu-tunggu” itu justru tidak terdengar. Padahal pemerintah sudah melakukan sosialisasi secara masif agar masyarakat tidak panik jika terdengar sirine tsunami, karena sifatnya ujicoba. Tapi, saya pribadi justru “panik” karena tidak mendengar sirine tersebut, padahal jarak saya hanya sekitar 1 kilometer dari lokasi.

Saya akhirnya berkesimpulan bahwa manajemen penanggulangan bencana di Aceh kini mundur beberapa langkah. Orang lain boleh saja membantah pernyataan saya ini, melihat betapa masifnya pemerintah Aceh melakukan acara seremoni peringatan 10 tahun tsunami. Tapi bagi saya, peringatan 10 tahun tsunami itu hanya sebatas peringatan saja, karena kita saksikan betapa kocar-kacirnya pemerintah menanggulangi bencana lain seperti banjir dan longsor. Kita memang memperingati tsunami, tapi kita lupa ada bencana- bencana lain yang tak kalah dahsyatnya seperti gempa, banjir hingga longsor. Kita hanya memperingati bencana tsunami dengan huruf “t” kecil, bukan dengan “T” besar. Tsunami dengan “T” besar bagi saya adalah bencana- bencana lain yang selalu mengintai Aceh, dan bagaimana menanggulangi bencana- bencana tersebut baik dengan pencegahan, mitigasi, dan upaya- upaya penyadaran publik tentang potensinya.

Jika ini dibiarkan saya takut kita akan menyaksikan bencana- bencana yang akan terjadi di kemudian hari tidak mampu ditanggulangi secara komprehensif dan serius. Walaupun kita mengingat tsunami setiap tahunnya namun kita tidak pernah bisa mengambil hikmahnya secara utuh. []

FAHMI YUNUS (@fahmiyunus), Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar- Raniry, Banda Aceh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.