Suparta Arz/Ekspedisi Indonesia Biru

SETELAH menyelesaikan lebih dari separuh putaran Nusantara, saya mendapati beberapa hal terkait pro-kontra pengeras suara (TOA) dari tempat ibadah, terutama masjid.

Pertama, adzan –bagaimana pun– adalah konsep panggilan dalam Islam. Sebagai panggilan, mustahil disampaikan dalam suara lirih atau memakai alarm sendiri-sendiri. Sebab yang dipanggil adalah jamaah. Umat. Publik. Barisan.

Ini seperti lonceng misa pagi atau kebaktian yang dibunyikan gereja di hari Minggu. Zaman dan teknologi boleh berkembang, tapi konsep dan filosofi pelaksanaan ibadah tak bisa disederhanakan dengan menyodorkan alternatif seperti “pasang saja alarm”.

Adzan subuh dan lonceng misa pagi, misalnya, sama-sama bisa membangunkan orang yang berdomisili dekat sumber suara, meski Anda bukan penganut agama yang dipanggil untuk ibadah. Alarm pagi saya selama di Merauke adalah lonceng gereja.

Praktik ini sudah berjalan ratusan tahun di Nusantara dan tidak pernah ada masalah.

Kedua, masalah baru muncul ketika pembangunan tempat ibadah makin pesat seiring jumlah penduduk dan kemampuan ekonomi masyarakat untuk membangunnya. Jarak antara satu masjid dan lainnya saling berdekatan karena tiap yayasan, aliran, kampung, organisasi, bahkan rumah tangga ‘berlomba’ membangun masjid.

Entah dengan motif keyakinan (bahwa di akhirat kelak mereka yang membangun masjid akan diganjar istana di taman surga) atau motif persaingan pengaruh sosial bahkan prestise organisasi atau aliran.

Contoh daerah dengan banyak masjid adalah NTB dan Tidore, di mana hampir tiap kelompok rumah memiliki masjid sendiri. Dan daerah dengan jarak gereja yang cukup rapat adalah Galela di Halmahera Utara.

Dalam kondisi seperti ini, suara adzan sebagai panggilan yang harus disampaikan dengan suara keras dan menjangkau umat sebanyak mungkin, mulai dipertanyakan relevansinya. Apakah cukup satu masjid dan terdengar hingga radius tertentu (dan masjid lain yang berada di radius itu sebagai ‘makmum’) atau setiap masjid yang ada di radius itu membuat adzan sendiri-sendiri?

Apakah mereka dipanggil untuk salat berjamaah dalam satu barisan shaf dan imam, atau masing-masing hanya dipanggil berbaris untuk imamnya sendiri-sendiri?

Dalam perspektif ini, banyak masjid justru memfragmentasi umat menjadi unit-unit kecil meski TOA-nya sama nyaring. (TOA doang gede, jamaahnya kecil).

Yang lebih memprihatinkan, tak jarang jumlah jamaah di tiap masjid hanya beberapa baris saja karena umat tersebar di banyak masjid, atau bahkan tidak salat di masjid. Bagi yang salat di rumah atau bahkan tidak salat, fungsi adzan dengan TOA lantas hanya menjadi alarm penanda waktu saja. Bukan panggilan beribadah dalam barisan.

Itu baru faktor adzan. Belum pengajian. Baik ‘live’ maupun kaset. Makin sering putar kaset keras-keras, makin patut dicurigai masjidnya sepi umat.

Maka ini seperti membayangkan dalam satu RT ada banyak gereja dan setiap gereja membunyikan loncengnya sendiri-sendiri, sembari yang muslim heran: satu gereja saja tidak penuh, kok sudah bangun yang lain. Begitu halnya dengan masjid.

Di kapal KM Tatamailau yang kami tumpangi dari Merauke ke Morotai selama lima hari, adzan dikumandangkan menjangkau seluruh bagian kapal dengan kapasitas 996 penumpang (dan tentu tak semua muslim). Tapi tidak terasa mengganggu meski kita dekat dengan sumber suara.

Kuncinya pada TOA yang banyak di setiap sudut tapi serentak (satu komando, satu barisan). Dengan banyak TOA, volume suara adzan cukup moderat dan nyaman didengar karena kekuatan suara tidak dibebankan pada satu-dua TOA yang terpusat (dan kerap terlalu mengganggu bagi orang/rumah terdekat).

Tapi saat salat, misalnya, TOA kapal tak lagi difungsikan dan hanya pengeras suara di lingkungan musala yang aktif. Menandakan bahwa fungsi adzan sebagai panggilan telah dilaksanakan, dan umat lain dapat menoleransi. Namun giliran masuk sesi ibadah, hanya para pelakunya saja yang bisa mendengar.

Begitu juga ketika malam takbiran. Saya hanya mendengar takbir lewat TOA kapal beberapa saat saja (sebagai syiar). Setelah itu takbiran bisa diikuti dan didengarkan di lingkungan musala.

Apakah sepenggal pengalaman di kapal ini bisa diterapkan dalam skala masyarakat yang lebih luas? []

DANDHY D. LAKSONO (@dandhy_laksono), jurnalis yang tengah melakukan liputan keliling Indonesia menggunakan sepeda motor.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.